Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 37 - 37. Diberi Kesempatan

Chapter 37 - 37. Diberi Kesempatan

37. Diberi Kesempatan

[Nufus, ayo makan-makan. Lami habis lamaran tadi siang.]

Netraku membulat membaca pesan dari Naya. Aku baru saja sampai rumah Ramdan tadi siang tapi sorenya Naya langsung chat aku. Padahal aku yakin Naya baru sampai rumah.

Aku segera mengetik balasan sembari melangkah menuju sofa ruang tengah. Sepertinya Lulu dan Ramdan tidak ada di rumah. Apa mereka mampir ke suatu tempat tanpa memberitahuku?

Ah, sudahlah. Mereka berhak bermesra-mesraan tanpa seorang pengganggu. Lulu pasti mendambakan momen saat berduaan dengan Ramdan. ya, Biarkanlah mereka bersenang-senang dan aku akan bersenang-senang sendiri.

[Boleh tuh. Apa Mba Naya gak capek habis pulang dari rumahku?]

TING!

[Engga dong. Tenagaku 'kan banyak. Mau ke sana sendiri apa gue jemput?]

[Sendiri aja. Ntar bolak-balik malah tambah capek. Jangan lupa istirahat, Mba. Diganti juga perbannya.]

[Lo juga jangan lupa istirahat. Baru keluar dari rumah sakit lo, inget. Ntar gue bawain makanan hasil morotin duit Lami.]

[Wkwk. Boleh juga idenya.]

Aku beranjak bangkit. Lebih baik aku mandi habis itu baru istirahat. Kubawa semua barang-barang yang Naya taruh di dekat pintu rumah ke kamar. Sebagian yang bersih kutaruh di lemari pakaian, sementara yang kotor aku masukkan ke mesin cuci.

Meski badanku masih lemas digunakan beraktivitas, setidaknya aku harus bergerak agar tubuhku berkeringat. Cucian baju belum dicuci padahal hari sudah sore. Tidak banyak, mungkin baju ganti. Sekalian saja kucuci karena ada mesin cuci. Aku tidak suka melihat tumpukan barang kotor.

Piring juga masih ada yang belum dicuci. Ditaruh di wastafel begitu saja, lalu ditinggal pergi. Beruntung dari balik tutup saji masih ada makanan. Sehabis mandi kuputuskan untuk makan, cuci piring kotor, angkat jemuran, kemudian menjemur pakaian yang baru dicuci.

Oke, tugas hari ini cukup banyak. Semangat, Nufus!

***

Selepas Maghrib, aku mendapat notif chat lagi. Kali ini dari Lami. Ia minta aku datang sebelum jam 7 malam ke cafe terdekat. Lokasi sudah dishare, aku tinggal berangkat saja.

Segera kuberanjak dari kasur untuk memilih pakaian mana yang mau aku kenakan. Pilihanku jatuh pada knets bergaris warna cream yang kupadu dengan kemeja panjang warna senada. Untuk bawahan aku pakai celana kulot panjang bersabuk warna putih beserta sabuk senada. Kerudung pashmina warna milo menjadi pelengkap.

Setelah siap, kuraih tas jinjing warna putih bertali rantai. Ponsel, uang, dan tetek bengeknya aku masukkan ke dalam untuk isi-isi. Masker duckbill putih tak lupa kubawa untuk kupakai menggunakan konektor.

Aku keluar kamar selepas memoles wajah dengan sedikit make up. Hanya sedikit demi menyamarkan pori-pori wajahku beserta mata panda. Kebanyakan penulis pasti memiliki mata panda sebab bergadang mengerjakan naskah. Terlebih jika mendekati deadline. Jari tangan auto aktif menari di atas papan keyboard.

Sendal selop warna putih kuambil dari rak. Memakainya, lalu keluar dari rumah. Pesan untuk Ramdan sudah kukirim barusan, memberitahunya jika malam ini aku keluar bersama teman-temanku untuk merayakan lamaran Lami. Biarkan saja jika pulang nanti aku mendapat omelan lagi. Yang penting aku sudah ijin. Toh, ia juga keluar bersama Lulu malam ini.

Karena tidak ada motor, aku men-stop taksi yang melintas. Kendaraan roda empat itu melaju membelah jalan raya setelah aku membagikan lokasi padanya.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di restoran yang dimaksud. Bertepatan dengan itu, ponselku berdering. Ramdan membalas pesanku, ternyata ia melarangku untuk pergi karena mereka akan pulang.

Telat, Mas. Aku sudah sampai sini. Lebih baik tidak kubalas. Aku simpan kembali ponsel itu ke dalam tas kemudian melangkah masuk.

"Nufus!"

Lami memanggilku seraya melambai. Aku bergegas mendekati meja berisikan 4 orang yang kukenal. Ada Arqom, Lami, Naya, dan tentunya Riyan. Mereka berkumpul seperti waktu double date tempo lalu. Aku duduk di samping Naya.

"Udah lama?" tanyaku basa-basi diiringi senyum. Lami dan Naya kompak menggeleng.

Tangan Lami aktif membalikkan daging panggang di hadapan mereka. Naya memesan minuman untuk mereka berlima. Arqam sibuk bermain ponsel sesekali mengkritik cara membalikkan daging versi Lami. Sementara Riyan menata beberapa makanan dan piring kosong di meja. Daripada aku tidak melakukan apa-apa, aku berinisiatif untuk membantu Riyan menata meja.

"Hey! Hey! Pasien dilarang membantu. Lo duduk aja, Nu," cegah Lami ketika tanganku baru mengambil sendok. Ia mendudukanku yang baru hendak membantu ini.

"Aku udah keluar dari rumah sakit, ya. Lagian cuma natain sendok doang masa gak boleh," cibirku terlampau kesal. Lami tetap menggeleng, kukuh dengan ucapannya tadi. Bahuku merosot.

"Nurut aja, Nu gak ada ruginya kok," ujar Arqom diangguki Riiyan. Akhirnya aku nurut meski rasanya tidak enak. Makan sudah dibayarin, makanan pun disiapin. Benar-benar seperti ratu.

"Muka lo seger bener, Nu. Pasti pulang tadi langsung tidur," ucap Naya yang baru saja datang membawa 5 botol ke meja kami. Aku membantunya menata minuman tersebut.

Aku menggeleng. "Aku baru aja istirahat setelah nyuci baju, nyuci piring, dan lain-lain. Dikira pekerjaan rumah selesai kalau aku gak ada." Aku mencibir setelahnya. Naya duduk di sebelah Lami di kursi paling ujung disusul aku.

Lami tampak terkejut mendengar penurutanku barusan. "Serius lo? Selama numpang di rumah kalian, Lulu ngapain aja?" Aku mengangkat kedua bahuku.

"Ya gitu. Dia ngelakuin kebiasaannya, aku juga gitu. Kadang kita bagi tugas."

"Enak gak hidup bareng gitu?" Aku menggeleng. Tentu saja tidak. Enak saja!

"Enggalah. Makan ati terus." Naya dan Lami kompak tertawa sementara Arqom dan Riyan masih setia bungkam. Arqom sudah tau rumah tanggaku tapi memilih untuk diam tak berkomentar. Sedang Riyan memang tidak tahu apa-apa. Kemungkinan Lami tidak menceritakan rumah tanggaku padanya. Tapi syukurlah kalau begitu.

"Ngobrolnya nanti lagi. Mending makan dulu sebelum dingin." Ucapan Riyan berhasil membuat napsu makan kami meningkat. Semua mengangkat sumpit tinggi-tinggi, tak terkecuali aku.

"Selamat makan!"

Samgyeopsal versi Indonesia memang enak. Aku belum pernah makan yang versi Korea. Meski sekarang aku berada di restoran makanan Korea, aku 'kan belum tau rasa asli Samgyeopsal Korea.

"Eh, Ar gue ada kabar baik," ucap Naya di sela-sela makannya. Arqom mendongak, tampak tertarik dengan ucapan wanita itu barusan.

"Nufus bakal nulis di platform Zua-zua."

"UHUK!"

Aku menyodorkan segelas air putih milikku ke arah Arqom. Memangnya itu berita yang bisa dibanggakan? Lihat! Arqom sampai tersedak mendengarnya dari mulut Naya.

Ia mengambil minumku dan menegaknya hingga tandas. "Serius, Nu?" Meski awalnya ragu, aku memutuskan untuk mengangguk.

Senyum di wajah Arqom merekah. "Bagus dong. Perusahaanku jadi lebih dikenal lagi. Gue bakal bikin lo jadi penulis yang berkualitas. Tenang aja, lo gak bakal rugi kerja sama gue." Kami tertawa mendengar celutukan Arqom.

"Makasih. Lami sama Mba Naya juga bakal bantu aku meriksa naskah. Kamu fokus kerja aja. Kerjaanmu pasti banyak." Arqom mengangguk setuju sembari mengunyah.

"Gue serahin penulis baru ke kalian buat dibimbing. Terserah lo mau dibimbing sama Naya apa sama Lami. Mau dua-duanya juga boleh. Nanti kalau gue tertarik, bakal gue pertimbangin buat ditawarin ke Zumba Produser."

Mataku terbelalak tak percaya. "Serius?"

"Dua rius malah. Tinggal lo pegang ucapan gue." Aku mengangguk setuju.

Kesempatan emas ada di hadapanku. Arqom benar-benar mempercayaiku dan berniat membantuku untuk bisa jadi penulis terkenal. Kapan lagi aku bisa dapat tawaran sebesar ini? Aku tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja.

"Aku bakal rilis novelku di platform Zua-zua secepatnya." Arqom tersenyum senang.

"Gue tunggu karya lo."

***

"Udah Mas bilang jangan pergi kenapa tetep pergi?"

Baru juga menginjakkan kaki sampai ambang pintu suara Ramdan langsung menggelegar. Aku melepas sendal untuk ditaruh ke rak. Pertanyaan Ramdan belum kujawab sebab aku sendiri masih ribet. Tas belum kutaruh, jilbab belum kulepas, masker juga belum kubuang.

"Suamimu nanya lho kenapa dicuekin?" Aku merotasikan bola mata kesal kemudian berbalik. Ramdan bertanya lagi saat aku hendak melewatinya. Terpaksa aku berbalik badan dan menatap wajahnya datar.

"Aku mau bersih-bersih dulu, Mas. Gak lihat apa aku habis keluar? Masih musim covid, lho. Aku gak mau orang rumah kenapa-napa kalau semisal aku bawa virus ke sini." Aku melanjutkan langkah yang tertunda tanpa mempedulikan wajah kesal suamiku. Kan bisa dijawab nanti. Tidak sabaran sekali.

Ramdan tak bertanya lagi. Mungkin tau jika aku lelah dan juga kesal akibat kejadian tadi siang. Harusnya ia lebih berhati-hati. Tapi apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur.

Kulihat ia kembali duduk di sofa. Aku masuk ke kamar utama dan mendapati Lulu sedang duduk di kursi rias sembari menyisir rambutnya. Melihat pantulan diriku ada di dalam cermin, kepala wanita itu menoleh ke arahku. Tersenyum canggung sebab ketahuan berada di kamar ini. Aku membalas senyumnya meski enggan.

"Lanjutin aja. Aku cuma mau naruh barang doang. Oh iya, aku tidur di ruang tamu boleh? Kamu tidur di sini sama Ramdan. Omar juga. Lagi pengin sendiri dulu," ucapku sekalian meminta ijin. Lulu tampak berpikir, tapi tak lama setelah itu ia mengangguk setuju.

"Nanti aku bawa bantal sama selimut dulu." Aku buru-buru menggeleng.

"Aku pakai bantal sana aja. Kamu tinggal tidur doang." Aku membungkuk sekali hendak melanjutkan aktivitasku yang tertunda.

"Aku mau mandi dulu."

***