38. Makan Malam Perusahaan
"Mama udah bilang berkali-kali. Jangan nutup telepon sembara—"
Qonita menjeda ucapannya. Tunggu! Ia tidak salah masuk ruangan, kan? Pasalnya bukan Arqom yang ada di ruangan ini melainkan Naya, teman yang Nufus kenalkan padanya tempo lalu.
"—ngan," sambungnya.
Naya tersenyum canggung kepada Qonita, bergegas bangkit dan memberinya hormat. Qonita berdeham sekali, melangkah masuk selepas bodyguardnya menutup pintu. Ia duduk di sofa dengan gaya anggun.
"Anak saya mana?" tanyanya tak suka berbasa-basi. Naya duduk di kursinya setelah memutar benda itu agar menghadap ke arah ibunda Arqom.
"Lagi keluar sebentar, Tante. Ketemu klien. Saya disuruh nunggu sebentar, mau nyerahin berkas yang harus ditandatangani sama pak Arqom." Qonita mengangguk paham lantas berpaling melihat dekorasi ruangan anaknya. Tidak ingin bertanya lagi.
Tapi Naya yang terbiasa cerewet sana-sini mendadak gatal mulutnya. Ingin sekali mengajak calon mertuanya berbincang tapi bingung dengan topik apa. Naya hanya bisa menahannya sampai Qonita angkat bicara lagi.
"Kapan dia kembali?" tanya Qonita akhirnya. Wajah murung Naya berubah menjadi ceria.
"Sekitar tiga menit lagi. Pak Arqom sudah keluar hampir lima belas menit."
"Jadi kamu udah nunggu anak saya sejak tadi?" Naya mengangguk malu-malu.
CEKLEK!
"Mana berkasnya, Nay?"
"Balik juga kamu."
Arqom terkejut melihat Qonita ada di ruangannya. Membungkuk sopan kemudian pergi ke kursinya. Ia biasa bicara dengan mamanya dengan jarak jauh meski terkadang wanita itu suka memarahinya.
"Mama di sini lho, Ar. Kenapa kamu malah duduk di sana?" tanya Qonita kesal. Baru juga dibilang.
Arqam mengambil berkas dari tangan Naya tanpa menyuruh wanita itu untuk kembali ke mejanya. Naya yang tidak paham kondisi membuat Qonita sedikit kesal. Apa ada karyawan yang menetap di ruangan bosnya setelah urusannya selesai? Sepertinya tidak ada.
Pria itu mendongak, menatap ibunya. "Mama kenapa di sini? Aku lagi sibuk, Ma makanya telepon dari Mama aku tutup tadi," jawabnya jujur. Qonita berdecih tak percaya sembari merotasikan bola matanya.
"Alasan kamu. Bilang aja mau ngehindarin makan malam perusahaan." Akhirnya Qonita membeberkan rencananya di hadapan Naya. Biarlah. Semoga mulut wanita itu tidak ember.
Arqam menaruh berkasnya dengan kasar. "Mama udah tau kenapa masih maksa aku?"
"Mama cuma pengin kamu hadir di sana. Papa kamu bakal ngenalin kamu ke rekan kerjanya."
"Apa itu penting?"
"Tentu."
"Bukannya aku bakal jadi incaran rekan kerja papa itu? Secara, mereka tau kalau aku penerus satu-satunya di keluarga Mama. Pernah gak Mama mikir bakal ada yang nyakitin aku?"
Qonita bersedekap, lalu mengangguk. "Tentu saja pernah. Mama gak sebodoh yang kamu kira."
"Sejak kapan aku anggap Mama bodoh?"
"Terus ucapanmu barusan itu apa?"
"Mama kurang luas pikirannya. Aku cuma ngasih tau. Mama tersinggung?"
"Ck! Dasar anak nakal!" Qonita beranjak bangkit dari tempatnya, berjalan menghampiri anaknya membawa selembar kertas. Disodorkannya amplop merah muda ke hadapan Arqom.
"Kamu harus datang. Mama gak terima alasan apapun. Jangan lupa bawa pasangan. Mama pergi sekarang."
Ia meletakkan amplop itu sebab Arqom enggan menerimanya. Setelah memastikan Qonita pergi dari ruangannya, barulah pria itu melihat isi dari amplop itu. Diam-diam Naya memperhatikannya.
"Membosankan." Arqom langsung melempar amplop itu tanpa membaca sampai tuntas. Naya yang tidak ingin memperburuk mood Arqom memilih untuk bangkit secara perlahan.
"Saya keluar dulu, Pak. Masih ada kerjaan yang harus diurus. Apa berkasnya sudah ditanda tangani?" tanya Naya sopan. Arqom melihat berkas yang semula ia singkirkan kemudian menandatanginya dengan cepat.
"Maaf. Anda pasti dengar ucapan mama saya tadi." Naya mengangguk makluk sembari menipiskan bibirnya. Arqom menyodorkan berkas yang sudah ditandatangani olehnya ke hadapan Naya. Wanita itu membungkuk sekali.
"Bukan masalah besar, Pak. Kalau gitu, saya pamit." Saat hendak berbalik, Arqom mencekal pergelangan tangannya. Naya kembali menolehkan kepalanya dengan wajah bingung.
Arqom tampak ragu mengutarakan pemikirannya. Tapi setelah memantapkan pilihan, matanya menyorot tajam ke arah wanita itu.
"Jadi partnerku malam ini. Anda bersedia?"
Naya mengukir senyum terbaik. Tanpa pikir panjang, ia mengangguk setuju.
"Ya, saya bersedia."
***
[Gue seneng banget malam ini.]
Aku terkekeh mendengar pekikan nyaring dari seberang. Naya meneleponku barusan, curhat betapa senangnya ia menjadi partner makan malam perusahaan ayahnya Arqom. Itu suatu kehormatan. Hanya orang-orang tertentu yang bisa hadir di sana. Aku sendiri belum pernah ikut acara seperti itu. Sekadar melihatnya dari luar gedung karena dipenuhi bodyguard.
"Tau. Udah dandan belum? Nanti telat dimarahin Arqom."
[Bisa aja lo. Gue lagi nyatok rambut. Tinggal pake lipstick habis itu berangkat.]
"Yakin, Mba? Udah ganti baju emang?" Aku kenal betul tabiat Naya. Katanya sudah siap nyatanya masih harus ini-itu. Belum lagi kalau barang yang ingin ia pakai malah menghilang. Ia harus mencarinya sampai dapat.
[Iya itu termasuk. Gue lupa, saking senengnya.]
"Jangan terlalu seneng, Mba. Ntar malah banyak yang lupa. Seneng boleh tapi jangan berlebihan."
[Gak bisa, Nu. Udah mendarah daging.]
Aku tertawa mendengar celutukannya. Kuraih sebungkus camilan pedas berbentuk bulat dari atas meja. Ngomong-ngomong sekarang aku lagi duduk santai di depan tivi. Berbaring di atas sofa dengan laptop menyala ke arahku.
Barusan aku nulis cerita. Karena buntu, aku memilih untuk istirahat dan memikirkan alur selanjutnya. Butuh waktu lama untuk menyusun outline. Aku sudah tidak punya stok cerita lama untuk diterbitkan ke platform lain. Semuanya sudah dikontrak.
[Udah dulu ya, Nu. Nanti gue telepon lagi.]
Aku mengangguk meski Naya tidak melihatku. "Selamat bersenang-senang, Mba."
TUUT!
Panggilan terputus. Kutaruh ponsel di samping laptopku masih dengan mata memandang layar televisi.
Tiba-tiba Ramdan datang, menyerobot tempat yang seharusnya untuk bertengger kakiku yang sedang ditekuk. Aku memandangnya sekilas. Jelas sekali suamiku ingin berbaikan denganku tapi aku selalu menghindar.
Lagipula apa yang akan berubah dalam sekejap? Ayahku sudah meminta surat cerai kami ke pengadilan. Hanya tinggal menunggu diproses. Setelah itu kami berdua akan dipanggil untuk memutuskan ikatan ini secara sah di mata agama.
Aku tak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan rumah tangga ini. Di sisi lain aku masih memiliki rasa kepada suamiku, tapi mulai terkikis karena ulahnya sendiri. Di sisi lain, aku mendapat dukungan dari orang terdekatku untuk melepaskan diri dari Ramdan karena usiaku masih muda. Aku juga punya mimpi yang belum sempat kukejar. Entah mana yang benar, aku akan mengikuti apa kata hatiku saja.
"Nufus, Mas minta dong makanannya," ucap Ramdan mulai melancarkan aksinya. Aku menyodorkan camilan ke arahnya namun tak kunjung diambil.
"Suapin." Aku menghela napas panjang. Kutarik kembali camilan itu, mengambil beberapa butir kemudian kusodorkan ke arah Ramdan. Ramdan menerimanya dengan senang hati.
"Lagi." Ia bersiap membuka mulutnya namun segera kutatap sinis.
"Makan sendiri aja, Mas. Aku udah kenyang." Kuserahkan cemilan itu pada suamiku tapi ia malah mencekal tanganku. Aku baru saja mau beranjak dari sofa.
"Apa gak bisa diperbaiki lagi, Nu?" tanya Ramdan memelas. Aku mengangkat kedua bahuku. Sebenarnya aku juga udah pasrah mau dibawa ke mana rumah tangga ini. Kuserahkan semuanya pada Tuhan.
"Kalau bapakku udah ikut andil, aku gak bisa berbuat banyak, Mas. Banyakin berdoa. Keputusan akhir yang kita ambil berarti itu yang terbaik untuk kita." Aku mengempaskan tangan Ramdan secara pelan.
Wajah Ramdan kian putus asa. Hubungan kami pun tidak sebaik dulu.
Daripada berlama-lama di sini, aku segera membereskan laptop beserta barang-barangku yang lain. Saat hendak pergi, Ramdan menarik tanganku. Sesuatu menyentuh bibirku lembut cukup lama.
"Aku mau minta jatah."
Aku membulatkan mata tak percaya mendengar Ramdan berkata demikian.
***