33. Jengukin Calon Mantu
"Nu, itu truk gede banget kok ada nama lo di sana?"
Aku terkejut mendengar penuturan Lami barusan. Saat ini, ia sedang memandang keluarjendela, melihat orang berlalu lalang dari atas. Tapi kali ini ada yang aneh.
Aku dan Naya segera mendekat ke arahnya, memandang keluar karena penasaran. Jantungku hampir lepas melihat namaku benar-benar terpampang di sana sesuai perkataan Lami barusan.
Sebuah truk bertuliskan "Semoga Cepat Sembuh, Nufus" berhenti di parkiran rumah sakit. Hampir tidak dibolehkan masuk sebab mengundang perhatian sekitar. Namun, beberapa lembar uang merah yang tersodor berhasil membungkam mulut satpam. Dia membolehkan mobil sport warna biru tua memasuki parkiran rumah sakit disusul truk besar itu.
Siapa yang membawa rombongan sebesar itu hanya untuk menjengukku? Tapi tunggu. Jangan geer dulu. Barangkali itu Nufus lain, bukan aku. Segera kutepis perasaan kalut yang berhasil memporak-porandakan isi hatiku.
Bagaimana jika itu Ramdan?
SRET!
Pintu kamar inapku terbuka. Tampak sosok wanita glamour yang sangat kukenal tersenyum ke arahku sembari merentangkan kedua tangannya. Aku berjingkrak senang dan reflek memeluk tubuhnya.
"Mama Qonita."
Dua hari yang lalu, aku dan ibunda Arqom sepakat memanggil beliau dengan sebutan 'Mama' sama seperti anaknya. Dipanggil 'Ibu' rasanya beda. Qonita lebih nyaman jika kupanggil 'Mama.'
Wanita itu membalas pelukanku tak kalah erat. Bahkan ia sampai menggoyangkan tubuh kami ke kanan dan ke kiri saking senangnya berjumpa kembali. Barulah setelahnya pelukan kami terlepas.
"Mama apa kabar? Kok gak ngabarin aku kalau mau ke sini?" tanyaku ramah. Qonita justru menjawil hidungku.
"Harusnya Mama yang tanya keadaan kamu, ini malah sebaliknya. Kamu gak apa-apa, kan?" Ia membolak-balikkan tubuhku, memastikan tidak ada yang luka. Tapi sayangnya, Qonita melihat keningku yang ditempeli kasa. Untung ia datang hari ini, bukan kemarin saat kepalaku dibalut perban.
"Aku udah baikan, Ma. Oh iya, kenalin." Aku menoleh ke belakang, menyuruh Lami dan Naya mendekat. "Mereka sahabatku, Ma. Yang ini namanya Lami." Aku menunjuk Lami yang langsung dibalas lambaian oleh wanita itu. Qonita tersenyum, lalu mengangguk.
"Kalau yang ini Naya. Aku manggilnya Mba Naya karena umurnya lebih tua dariku." Naya memukul lenganku sebab menyangkutpautkan umur. Qonita tertawa mendengar ucapanku barusan. Lantas, tangannya yang berhias cincin dan gelang terulur ke arah mereka.
"Nama saya Qonita Dewi. Panggil aja Mama Qonita. Saya ibunda Arqom, calon mertua dari Nufus."
Baik aku, Naya, maupun Lami sama-sama terkejut mendengar penuturan Qonita.
***
"Akhir bulan ini saya tunggu minimal 80 episode kamu unggah di platform kami. Editor akan meninjau naskah kamu. Kalau tidak ada kesalahan apapun, kita lanjut bicarakan kontrak kamu."
Wanita bernama Yolla mengangguk paham dengan penjelasan Arqom. Beberapa helai rambut yang jatuh ke pipi kirinya ia sibak ke belakang, memperlihatkan anting sebesar gelang berwarna emas. Sayangnya, Aqrom tak sempat melihatnya sebab manik matanya terlanjut melihat jadwal hari ini di tangannya.
Mereka sedang meeting di ruang meeting milik Zumba Produser. Di dalamnya masih terbagi menjadi beberapa bagian termasuk penerbit Zua-zua.
Mulai dari orang yang bekerja di bidang editor, layout, desain cover, dan bidang lainnya berkumpul dalam sesi meeting kali ini. Naskah milik Yolla akan diangkat menjadi film oleh Zumba Produser. Yolla baru saja menandatangani kontrak dengan pihak Zumba.
Dalam waktu dekat, begitu Yolla menyelesaikan novelnya, pihak Zumba akan mengadakan meeting kedua terkait dengan tokoh yang memerankan cerita novel milik Yolla.
Proses tak sampai di situ. Masih ada meeting bersama para tokoh, pembacaan naskah, barulah syuting dimulai.
Yolla mengangkat tangannya, membuat atensi sekitar tertuju padanya.
"Editor saya itu Naya atau Lami? Kemarin saya bertemu dengan wanita bernama Lami, tapi di halaman penulis tertulis Naya. Jadi yang benar mana?"
Arqom mendongak, menyerahkan berkas ke arah asistennya yang langsung diterima baik oleh sang empu. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja, menatap lurus ke arah Yolla.
"Naya. Karena dia sedang sakit maka digantikan oleh rekannya, Lami. Kamu bisa minta tolong ke mereka berdua." Yolla mengangguk paham kemudian merapikan berkas miliknya.
"Ada yang mau ditanyakan lagi?"
"Tidak."
"Meeting saya cukupkan." Seluruh peserta meeting beranjak bangkit begitu Arqom berdiri. Tangannya terulur ke arah Yolla.
"Sampai bertemu meeting selanjutnya Minggu depan." Yolla meraih tangan Arqom lantas mengangguk.
"Kerja bagus." Asisten Arqom bersorak seraya memberi mereka tepuk tangan. Anggota lain ikut bertepuk tangan karena meeting hari ini berjalan lancar. Arqom tersenyum melihat itu.
"Apa jadwal selanjutnya?" tannya Arqom berbisik ke arah asistennya. Mereka membubarkan diri secara mandiri. Asisten Arqom yang berjenis kelamin laki-laki turut mengikuti ke mana bosnya melangkahkan kaki.
Dia buru-buru membuka lembaran di tangannya. "Tidak ada, Bos. Lanjut jam 1 siang kita ada rapat dengan pihak Zumba terkait naskah Yolla." Arqom mengangguk paham.
"Siapkan mobil untukku. Aku akan berkunjung ke rumah sakit sebentar." Asisten Arqom mengangguk patuh kemudian pergi dari hadapannya.
***
Naya terlihat tak nyaman berada di sampingku. Berulang kali ia menggeserkan pantatnya ke arah Lami, mencari posisi nyaman. Sementara bawahan Qonita terus berjejer rapi untuk menata beragam buah tangan yang ia bawa untukku.
Sejak Qonita mengklaimku sebagai calon menantunya, raut wajah Naya tiba-tiba berubah. Aku tau, Naya pasti menyimpan rasa terhadap Arqom melihat keakraban keduanya sebelum aku masuk ke kehidupan mereka. Bodohnya aku malah diam seakan menerima gelar yang Qonita beri untukku.
Aku merasa bersalah pada Naya karena menghancurkan hatinya dalam sekejap. Tapi aku tidak bisa menyela ucapan Qonita tadi. Meski berusaha menganggapnya lelucon agar mereka tertawa, tetap saja keadaan tak bisa dikembalikan seperti semula.
"Mama gak bawa semuanya ke sini. Takut gak muat. Yang lain biar diangkut ke rumahmu sekalian," celoteh Qonita sembari menunjuk beberapa barang menggunakan kipas lipat miliknya. Aku tersenyum canggung seraya mengangguk.
"Makasih banyak, Ma. Padahal Mama gak perlu repot-repot bawain ini segala. Ini terlalu banyak buat aku. Mending kita bagi ke pasien lain, gimana?" tawarku diangguki oleh Qonita.
"Ide bagus." Atensinya beralih ke arah bawahannya. "Sudah cukup. Sisanya tolong bantu bagikan ke seluruh pasien di rumah sakit ini. Pastikan semuanya dapat tak terkecuali wali pasien. Paham?"
"Paham, Nyonya."
"Segera laksanakan!"
Mereka lantas membubarkan diri, membuatku mengembuskan napas lega. Kedatangan mereka membuatku sesak. Pasti pasien lain yang melihat kedatangan Qonita ke kamarku sedang menggunjingkan kami.
Kulihat Naya tengah berbisik kepada Lami. Mereka berdua mengacuhkanku. Ah, jadi begini rasanya ketika aku asik mengobrol dengan Qonita tampak mengajak mereka berdua. Aku merasa di antara kita seperti ada benteng tak kasat mata yang tumbuh dalam waktu cepat.
"Mba Naya, perbannya diganti dulu. Biar aku panggilin suster buat ganti perban Mba," ucapku mengingatkan Naya. Namun, wanita itu malah membalasku dengan tatapan datar. Sikapnya tak sehangat dulu lagi.
Maafkan aku, Mba Nay, batinku menyesal.
Naya berdeham sekali kemudian berpaling. "Biar aku sendiri aja. Bentar lagi kita pulang kok. Iya gak, Lam?" Ia menyenggol lengan Lami yang langsung dihadiahi anggukan cepat penuh keraguan.
Aku hanya bisa tersenyum masam. "Ya udah. Semoga cepet sembuh ya, Mba. Makasih udah nengok dan jagain aku." Naya mengibaskan tangannya di udara.
"Kayak sama siapa aja kamu. Kita pulang sekarang aja kali ya. Tante Qonita, saya titip Nufus ya, Tante." Qonita yang sedang melamun sontak mendongak, mengangguk paham seraya mempersilakan mereka berdua keluar. Naya segera menarik tangan Lami untuk keluar dari ruanganku.
Seketika, aku merasa menjadi teman yang buruk bagi mereka. Aku sudah curiga, kedatangan Qonita ke sini pasti membuat mereka tidak nyaman dan benar saja. Hal ini tidak bisa kucegah sebab tak memiliki wewenang untuk menghentikan Qonita beserta pasukannya. Yang kulakukan hanya berdoa, berharap agar pertengkaran kita tak berlangsung lama.
Sungguh, aku ingin berlari ke arah mereka dan meminta maaf yang sebesar-besarnya.
***