Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 32 - 32. Sisi Lain Omar

Chapter 32 - 32. Sisi Lain Omar

32. Sisi Lain Omar

Sejak semalam, Nufus tidak bisa dihubungi sama sekali. Ramdan tak bisa tidur nyenyak memikirkan keadaan isteri mudanya. Ini kedua kalinya Nufus pergi tanpa meminta ijin darinya. Sebenarnya apa yang membuat wanita itu sampai mengambil langkah demikian?

Ramdan tak habis pikir. Apa gara-gara perkara ia yang belum bisa memutuskan di mana hatinya akan berlabuh, Nufus memilih pergi dari rumah? Tapi barang-barang pribadinya masih di rumah, bahkan sendal yang biasa dipakai pun ada di rak. Ramdan hapal barang pribadi istrinya.

Apa Nufus diculik? Ramdan menggeleng cepat. Tidak mungkin. Barang di rumahnya juga tidak ada yang hilang. Apa Nufus berniat minggat tanpa membawa apapun dari rumah mereka?

Memorinya dipaksa mengulang kejadian tadi sore selepas ia mendobrak pintu kamar mandi samping dapur.

[Flashback]

"Nufus!"

Ramdan melihat sekeliling. Tidak ada Nufus di sini. Ubin lantai kamar mandi ini mengering, mungkin karena seharian tidak dipakai. Tapi ketika Ramdan masuk lebih dalam untuk mengecek keadaan sekitar, netranya mendapati bercak darah di samping toilet duduk.

Ia terus membayangkan hal buruk terjadi pada Nufus, terlebih ada bercak darah yang tertinggal di dalam kamar mandi. Berarti ini tempat persinggahan terakhirnya, tapi mengapa isterinya tidak ada di sini?

Kamu sebenarnya ke mana, sih, Nu? batinnya lantas mengacak rambutnya frustrasi.

[Off]

"Kamu belum berangkat kerja, Mas?"

Ramdan mendongak. Rupanya Lulu. Ia berharap jika Nufuslah yang bertanya tadi. Sayang, harapannya hanya sekadar angan-angan. Nufus benar-benar pergi.

"Mana bisa aku fokus kerja sementara keadaan Nufus masih belum kuketahui?" jawabnya sedikit malas. Ia menyendokkan nasi beserta lauk buatan Lulu yang sama sekali tidak menggugah selera makannya. Hambar. Baru sehari ditinggal Nufus ia sudah menderita, bagaimana jika nanti ia lebih memilih hidup bersama Lulu?

Membayangkannya pun Ramdan tak sanggup.

"Kan bisa dicari lagi nanti. Keperluanmu udah aku siapin. Sini! Aku bantu pakaiin dasi."

Ramdan tak memberontak ketika Lulu menarik kursi agar badan mereka saling berhadap-hadapan. Dulu, saat Lulu membantunya memasang dasi, Ramdan akan menggombalinya hingga pipi chubbynya merona. Tapi kali ini sekadar untuk berbicara pun rasanya enggan. Seperti masih rasa padahal harusnya tidak demikian.

"Kamu beda, Mas sama yang dulu. Lebih pendiem sekarang. Apa gara-gara aku pergi kamu jadi berubah gini?" tanya Lulu membuka topik obrolan. Ramdan justru lebih tertarik melihat hal lain daripada bersitatap dengan isterinya.

"Mungkin cuma perasaanmu aja. Aku ngerasa biasa-biasa aja." Lulu ber-oh-ria sembari menganggukkan kepalanya. Selesai mengikat dasi, perhatiannya berpindah ke Omar yang sedang melahap makanan dengan khidmat.

"Omar mau ngapain habis ini?" Kepala bocah itu mendongak, berbinar menatap mamanya.

"Belajar, Ma. Dari kemarin Omar cuma main, nanti ketinggalan pelajaran." Lulu mengusap puncak kepala anaknya penuh kasih sayang.

"Pinter. Anak Mama makin nurut. Nanti Mama beliin ice cream lagi."

"Asik!! Makasih, Ma."

Omar langsung membuka buku tebal hadiah ulang tahunnya yang ke-4. Itu bukan buku baru. Buku usang milik Lulu sewaktu belajar di bangku SMP. Berisi pelajaran seputar alam dan seisinya mulai dari bangku dasar hingga menengah atas. Sangat lengkap.

Tidak ada paksaan dari Lulu. Ini murni niat Omar ingin belajar di usianya yang masih dini. Bicaranya sudah lancar. Ia tidak cedal satu huruf pun. Walau masih tahap belajar menulis, Omar sudah bisa membaca sedikit-sedikit. Lulu rutin mengajarinya belajar di awal usianya yang keempat tahun. Lama kelamaan, Omar mulai menunjukkan minatnya terhadap buku. Lulu berharap anaknya tumbuh menjadi pemuda yang cerdas.

Aktivitas Omar berhasil menyita perhatian Ramdan. Pria itu tampak tertarik melihat anaknya belajar padahal usianya masih belia.

"Kamu belajar, Mar? Belajar apa?" tanya Ramdan mulai penasaran. Diam-diam, Lulu tersenyum melihat reaksi suaminya.

Omar mendongak, mengangkat buku miliknya agar sang ayah dapat membaca judul buku apa yang tengah ia pelajari. Kening Ramdan sampai berkerut membaca deret judul yang ditulis dengan font kecil.

Ilmu Pengetahuan Alam.

"Itu 'kan bukunya orang dewasa. Harusnya kamu baca buku buat anak-anak." Ramdan terpaksa merebut buku itu dari tangan Omar. Ia tidak mau anaknya dipaksa belajar sesuatu sebelum waktunya. Lagipula Lulu ada-ada aja.

Omar tak suka bukunya diambil paksa meski oleh ayahnya sendiri. "Balikin, Yah! Omar mau belajar." Ramdan menggeleng tak setuju. Ia beranjak bangkit, berjalan menuju kamar kosong yang digunakan sebagai gudang sementara.

Lulu dan Omar saling bersitatap, tidak mengerti mengapa Ramdan tiba-tiba pergi begitu saja.

"Kamu harusnya belajar ini."

Ramdan kembali lagi rupanya. Kali ini tidak membawa buku tadi melainkan menggantinya dengan buku baca tulis khas anak-anak PAUD. Disodorkannya buku tipis itu ke arah Omar namun tak kunjung diterima. Malahan Omar menunjukkan ekspresi kesal yang jarang ia tampilkan ke orang lain, bahkan ibunya sendiri.

"Buat apa aku belajar baca tulis lagi? Aku gak sebodoh yang Ayah kira!" Omar mengambil buku dari Ramdan kemudian melemparnya ke sembarang arah. Ia benar-benar marah.

Lulu terkejut bukan main mendengar penuturan anaknya, begitupun Ramdan.

"Omar!" tegur Lulu, lalu menyenggol bahu anaknya sekali. "Gak sopan sama Ayahmu. Cepat minta maaf!" Omar menggeleng tegas. Tangannya bersedekap di depan dada, menatap sengit ke arah Ramdan.

"Aku gak suka orang lain anggap aku bodoh. Aku pintar, Ma, Yah. Jangan suruh aku ngulang belajar dari awal. Aku pengin belajar buku orang dewasa."

Omar beranjak bangkit, pergi ke kamar yang Ramdan masuki tadi untuk mengambil bukunya. Begitu dapat, ia keluar sembari mendekap erat benda tersebut. Bahkan ia berani memberi tatapan sinis untuk ayahnya. Hanya Nufus yang ia beri tatapan demikian, namun Ramdan harus ikut serta sebab berani menganggu waktu belajarnya.

Lulu menatap punggung anaknya yang mulai menjauh. Pasti pergi ke tempat yang sepi untuk melanjutkan belajarnya. Lulu tak bisa mencegah anaknya tumbuh dewasa sebelum waktunya. Ia pikir, tidak ada salahnya Omar melakukan apapun yang ia inginkan. Sepertinya selama ini ia salah.

Ramdan duduk kemudian memijit pelipisnya yang berdenyut.

"Sejak kapan Omar kayak gitu?" tanyanya. Lulu sedikit linglung ditanya demikian.

"Maksudnya?"

"Sejak kapan Omar gila belajar kayak gini?" Wanita itu tampak berpikir.

"Baru-baru ini ketika usianya masuk 4 tahun. Kalau udah 5 tahun, dia minta sekolah SD."

Ramdan mendelik ke arah Lulu. "Emang boleh?" Lulu mengembuskan napas panjang, lalu mengedikkan kedua bahunya tak tahu.

"Gak boleh sebenernya. Aturan masuk SD sekarang 'kan minimal 7 tahun. Anak seusia Omar lagi aktif-aktifnya bermain. Paling aku masukin PAUD sama TK buat nunda masuk ke SD." Ramdan mengangguk setuju. Memang sebaiknya begitu. Ia tidak mau Omar tumbuh seperti dirinya dulu.

Jangan jadi seperti Ayah, Nak, gumam Ramdan dengan mata terpejam.

"Lulu, cepat bersiap! Hari ini aku mau ngajak kamu ke suatu tempat."

***

"Apa?! Calon mantu Mama sakit?"

Arqom membungam mulut Qonita sebab mamanya berteriak terlalu kencang. Padahal Arqom hanya memberitahunya perihal Nufus yang kini masuk rumah sakit. Barusan Naya mengabarinya lewat telepon, meminta ijin untuk berangkat ke kantor agak siangan untuk mengurus kepulangan Nufus hari ini.

"Mama kenapa nyebutnya calon mantu, sih?! Siapa yang bilang Nufus itu calon mantu Mama? Ada-ada aja deh. Orang Nufus udah punya suami juga," jawab Arqom dibalas dengan cibiran kesal oleh sang mama.

"Suka-suka Mama dong! Lagian, Nufusnya aja gak keberatan." Ia berlenggak-lenggok setelah melepaskan diri dari anaknya.

"Pasti gara-gara kemarin. Nufus, sih gak bilang kalau ada yang sakit. Mama jadi ngerasa bersalah gini, kan," ucap Qonita khawatir. Untuk pertama kalinya, Arqom melihat mamanya mengkhawatirkan orang lain selain keluarganya.

Arqom tersenyum, memberinya gelengan kecil agar ibunya tenang. "Nufus sakit bukan karena Mama. Kemarin katanya dia jatuh di kamar mandi. Untung Naya sama Lami ke sana nolongin Nufus. Dibawa deh ke rumah sakit."

Qonita menarik sudut bibirnya sedikit. "Untung bukan karena hal kemarin. Tapi Mama tetep gak bisa berhenti khawatir. Pelayan!"

"Iya, Nyonya."

Sepuluh pelayan berderet rapi di hadapan Qonita dalam sekejap. Wanita itu berdeham sekali, menegakkan punggungnya agak tetap terlihat anggun.

"Siapkan buah tangan untuk orang sakit. Bawa yang banyak, kalau perlu satu truk sekalian. Saya tunggu setengah jam harus sudah ada di depan rumah saya."

"Baik, Nyonya."

Mereka segera berpencar menyiapkan segala kebutuhan yang diperintah oleh Qonita. Sementara wanita itu tak berhenti membuat seisi rumah heboh. Mulai dari menyuruh tuk siapkan gaun, perhiasan, sepatu, tukang make up, beserta tetek bengeknya. Arqom hanya bisa geleng-geleng kepala tanpa berniat menghentikan aksi ibunya.

Biarlah. Toh niat ibunya baik ingin menjenguk Nufus juga. Sebaiknya ia bersiap untuk pergi ke rumah sakit yang dimaksud Naya.

DRRT! DRRT!

Arqom mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia baru saja menanggalkan kemejanya, menyisakan tubuh sixpack hasil kerja kelasnya selama ini. Yolla memanggil. Untuk apa penulis itu meneleponnya sepagi ini?

Tanpa berpikir lama lagi, Arqom segera mengangkatnya sembari berjalan menuju jendela kamar.

"Halo."

***