25. Ungkapan Hati Lulu
Aroma ayam goreng kecap menguar hingga keluar rumah melalui ventilasi kecil yang dipasang tepat di atas kompor. Gesekan antara wajan dan spatula terus terdengar, menulikan keadaan sekitar yang semakin sunyi semenjak anaknya tidur di kamar.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Ke mana aja suaminya pergi? Katanya sudah ketemu dengan isteri keduanya, hanya tinggal menjemputnya pulang. Apa jarak antara rumah sakit dengan rumahnya terlampau jauh hingga memakan waktu dua jam lamanya?
Pikiran buruk mulai menghantuinya. Lulu bergegas mematikan kompor, memindahkan ayam goreng kecap buatannya ke mangkuk kemudian ia letakkan di atas meja makan. Hidangan kesukaan Ramdan sudah tersaji. Tinggal menunggu suaminya pulang.
"Lho, udah pulang kok gak ngucap salam," tegurnya melihat Ramdan datang dengan wajah lesu. Badannya lembek seperti tidak ada gairah hidup. Astaga baru ditinggal sebentar sudah begitu keadaannya.
Ramdan mendongak. Bahkan ia sampai membawa sepatunya ke dalam rumah tanpa melepasnya di depan pintu saking tidak fokusnya. Lantas pria itu berbalik, kembali ke pintu utama untuk menaruh sepatunya di sana.
"Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaaikumussalam."
Lulu tersenyum sumringah. Ia melepas celemek, lalu digantung ke pinggir kulkas. Betapa senangnya melihat Ramdan kembali seorang diri tanpa membawa Nufus pulang serta. Ada dua opsi yang melayang-layang di otaknya. Satu, Ramdan marah dan Nufus memberontak berujung tak jadi pulang. Dua, Ramdan tidak berhasil menemukan Lulu di rumah sakit.
Ah, apapun itu tidaklah penting sekarang. Perasaan Lulu berbunga-bunga sebab mereka tinggal serumah bertiga tanpa seorang pengganggu.
"Kok lesu gitu, Mas mukanya? Pasti laper, kan? Aku masakin ayam goreng kecap kesukaanmu. Cepat ganti baju terus mandi habis itu makan. Aku tunggu di sini ya, Mas," ucap Lulu riang. Tangannya dengan cekatan mengambil nasi untuk suaminya. Ramdan menatap gerak-geriknya tanpa minat.
"Nanti aja. Mas lagi pengin sendiri dulu." Hal yang selalu Nufus ucapkan akhir-akhir ini melintas di otaknya. Ia tak bisa berpikir jernih sepulang dari rumah sakit tanpa isteri keduanya. Daripada menyakiti hati isteri pertamanya juga, lebih baik ia pergi ke kamar untuk mengurung diri sesuai dengan perintah Naya.
Senyum di wajah Lulu mendadak pudar saat Ramdan lebih memilih berjalan ke kamar daripada memakan masakannya. Padahal ia sudah membayangkan adegan romantis ketika dua insan berkumpul di meja makan. Saling suap-menyuapi penuh kebahagiaan ditambah celotehan buah hati yang sudah lama mereka harapkan.
Sayang, itu semua hanya angan-angan Lulu belaka yang kini terempas. Ia menatap nanar makanan yang tersaji di hadapannya. Pasti ada yang tidak beres sampai-sampai Ramdan mencuekinya seperti sekarang. Apa jangan-jangan Nufus mengadu yang tidak-tidak kepada suami mereka?
Tidak bisa dibiarkan.
Ia mengambil tudung saji untuk menutup makanannya. Segera ia susul suaminya ke kamar agar kegundahan hatinya tercerahkan. Lulu tidak mau rumah tangganya kembali berantakan karena kehadiran Nufus.
"Mas kita perlu bicara."
Ramdan menoleh bertepatan dengan kancing bajunya yang berhasil dibuka. Belum diijinkan masuk, Lulu sudah menyelonong ke dalam menghampirinya. Pria itu melanjutkan acara ganti bajunya sembari menunggu isteri pertamanya berbicara.
"Mas!"
"Sebentar, Lu. Mas lagi ganti baju. Kamu duduk dulu di kasur," sela Ramdan jengkel. Kedatangan Lulu hanya menambah suasana hatinya kian memburuk. Ia ingin mengusir isterinya keluar tapi tidak tega.
Akhirnya Lulu duduk di kasur sesuai instruksi suaminya. Entah mengapa ia jadi tidak sabaran begini. Padahal ia tau suaminya sedang tidak ingin diganggu.
"Mau ngomong apa?"
Ramdan duduk di samping Lulu tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Wanita itu terlihat kesal.
"Mas kenapa pulang sendiri? Nufus gak mau pulang sama kamu?"
Ramdan merotasikan bola matanya kesal. "Biar aku tanya dulu ke diri kamu yang sekarang. Kamu beneran peduli sama Nufus?"
"Kok kamu ngomong gitu, Mas?"
"Coba kamu jujur sama Mas sekarang. Selama kamu tinggal di rumah ini, kamu betah gak berbagi suami bareng Nufus?"
Lulu mendengus kesal. Mengapa jadi dirinya yang diinterogasi begini?
"Sekarang kamu baru mau tau alasanku berbuat kayak gini?"
Ramdan mengernyit bingung. "Maksud kamu?"
"Aku pikir Nufus udah jelasin sebagian ke kamu." Netra mereka bersirobok. "Denger ya, Mas. Gak ada isteri yang pengin dimadu. Aku bertingkah kayak gini sebab aku cemburu kamu lebih mentingin Nufus dibanding aku. Padahal di sini aku yang lebih dulu menjalin hubungan denganmu, Mas."
"Ini bukan tentang siapa yang ngejalin hubungan denganku terlebih dahulu, Lu. Tuhan maha membolak-balikkan hati manusia. Cinta hanya butuh permisi untuk mempersilakan penghuni lain masuk dan menetap di dalamnya."
Ramdan berpaling ke arah lain. "Di sini aku udah jatuh cinta sama Nufus. Di sisi lain, kamu juga menempati ruang spesial di hatiku. Kalau disuruh memilih kamu atau Nufus, aku gak bisa ngelepasin salah satu dari kalian."
BUG!
"Egois kamu, Mas! Mau sampai kapan kamu mainin hati aku?"
Sorot mata Ramdan kian layu. Pukulan Lulu tidak sebanding dengan rasa sakitnya mengingat kejadian di rumah sakit tadi. Adegan ketika ia menampar Nufus di hadapan orang lain membuatnya menyesal. Ramdan mungkin akan kehilangan Nufus, maka dari itu ia ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Lulu. Meski belum bisa memilih kepada siapa hatinya menetap, Ramdan akan mengusahakan yang terbaik untuk keduanya.
"Lalu, kamu menyuruhku untuk bercerai dengan Nufus begitu?"
Lulu berhenti memukul dada bidang Ramdan. Air mata kian membanjiri pipi mulusnya, merembes ke jilbab.
"Apa harus dengan menahan dua-duanya di sisimu, Mas? Apa satu aja gak cukup buat kamu, iya?"
Ramdan mengacak rambutnya frustrasi. Rumah tangganya semakin rumit. Entah bermula dari mana dulu, intinya Ramdan ingin segera menyelesaikannya.
"Bukan gak cukup, Lu. Aku cuma belum tahu di mana tempat berlabuh hatiku selanjutnya."
Lulu menggeram kesal. "Kalau kamu lebih milih Lulu, oke. Ceraikan aku dan hak asuh Omar akan tetap ada di tanganku. Aku akan pergi dari kehidupanmu seperti dulu dan bertingkah seolah-olah kita gak pernah ketemu lagi." Ia pun bangkit.
Ramdan buru-buru menahan Lulu agar tidak pergi dari sini. Ditariknya tangan sang istri hingga jatuh ke pelukannya. Mendekap tubuh Lulu dari belakang seraya memejamkan mata. Wanita itupun tak kuasa menolak.
"Aku merindukanmu, Lulu. Kumohon jangan pergi lagi dari hidupku. Aku ingin kita hidup bersama dengan Omar," ucap Ramdan sedikit terisak.
"Pilihan ada di tanganmu, Mas. Kamu harus melepaskan salah satu di antara kami agar tidak ada hati yang tersakiti karena ulahmu. Ingat. Jangan egois!"
Ramdan mengangguk di sela-sela menghirup aroma vanila dari tengkuk sang isteri. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Tanpa pikir panjang, ia membanting tubuh Lulu ke atas kasur. Mata sayunya berubah menjadi kilat penuh hawa napsu. Lulu sempat memberontak namun tenaganya tak sebanding dengan milik Ramdan.
Lagipula ia juga mendambakan sentuhan demi sentuhan yang Ramdan berikan. Malam itu menjadi malam yang menyenangkan bagi mereka berdua.
***