26. Keserempet Kesalahan
Arqom membanting secarik kertas di hadapannya. Lagi. Orang tuanya menyuruh pria itu untuk menghadiri acara kencan buta dengan gadis pilihan mereka. Bukan sekali dua kali mereka lancang mencampuri urusan asmaranya. Arqom tidak suka dipaksa untuk berkencan dengan gadis yang sama sekali tidak ia cintai.
Ada banyak gadis-gadis muda bersolek yang rela melakukan apapun untuk memuaskan dirinya. Apalagi kalau bukan diiming-iming harta. Arqom terlahir dari keluarga yang sangat-sangat berkecukupan. Papanya seorang CEO di perusahaan games yang sedang naik daun. Ibunya bekerja di rumah sakit bagian Fisioterapi. Mereka hanya dikaruniai seorang anak, yaitu Arqom. Oleh karena itu, harta waris mereka hanya untuk anak semata wayangnya.
Bagi Arqom, pernikahan bukan hal main-main. Arqom tak berniat pacaran sebab dilarang oleh agamanya. Lagipula ia sedang menyukai wanita lain saat ini meski belum diutarakan kepada orang tuanya. Jika mereka tau, Arqom dapat memastikan jika wanita itu harus dikenalkan kepada kedua orang tuanya secepat mungkin. Mereka yang akan memutuskan dengan siapa Arqom patut bersanding.
Nufus.
Saat pertama kali bertemu, Arqom langsung jatuh cinta padanya. Kebanyakan orang pasti tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi hal itu benar-benar terjadi pada Arqom. Pria yang dikenal anti dengan perempuan tiba-tiba menyukai seorang wanita yang sudah beristri. Apa kata orang nanti. Lebih baik Arqom memendam perasaannya seorang diri.
TOK! TOK! TOK!
"Masuk."
Seorang wanita berpakaian minim masuk. Setelan kemeja putih ketat dengan kancing atas terbuka dan rok hitam tak kalah ketat melenggok anggun di hadapan Arqom. Bukannya terpana pria itu justru sakit mata. Kepalanya berdenyut melihat karyawannya memakai baju seenak jidat.
Dia tersenyum ke arah Arqam yang setia menunduk sembari memijat pelipisnya.
"Ini berkas yang Bapak minta."
"Taruh di sini. Terima kasih."
Wanita itu menaruh berkas dalam map ke hadapan Arqom. Bukannya pergi, dia malah membungkukkan badannya ke arah Arqom. Saat kepalanya mendongak, netranya langsung menjumpai buah dada milik wanita itu. Ia segera berpaling.
Dia tersenyum licik. "Bapak tidak apa-apa? Sepertinya kepala Bapak pusing. Biar saya bantu pijat." Tangannya terulur ke arah Arqom.
Arqom menatap sinis ke arah karyawatinya, memundurkan kursi putar, dan menyenderkan punggung lebarnya di sana. Jari tangannya saling bertaut di atas perut. Lancang sekali bawahannya ingin memijat kepalanya.
"Di mana sopan santun Anda?" tanya Arqom sarkas. Nyali wanita itu langsung menciut. Dia segera menurunkan tangannya yang terambang di udara kemudian menunduk.
"Maafkan saya, Pak."
"Keluar!"
"Baik, Pak."
"Bukan dari ruangan saya, tapi dari perusahaan saya."
Kepala wanita itu mendongak, menatap tak percaya ke arah atasannya.
"Maksud Bapak?"
"Saya yakin Anda pintar, Nona. Anda saya pecat. Silakan kemasi barang-barang Anda kemudian keluar dari perusahaan saya."
Dia menggebrak meja di antara mereka, tak terima jika Arqom tiba-tiba memecatnya dengan alasan tidak sopan. Sepele sekali. Padahal tidak ada aturan dilarang menggoda atasan.
"Apa salah saya, Pak?"
"Perlu saya sebutkan?" Wanita itu mengangguk.
"Satu, sopan santun harus dijunjung tinggi entah kepada senior, sebaya, atau junior. Dua, karyawan tidak boleh ikut campur urusan saya. Tiga, tidak diperbolehkan memakai sembarang pakaian ke kantor, apalagi jika sampai membentuk lekuk tubuh. Anda ke sini untuk bekerja, bukan untuk memuaskan napsu laki-laki. Untuk apa memamerkan tubuh Anda ke sembarang pria? Saya tidak ingin mendapat laporan tindak pelecehan seksual seperti yang sudah-sudah." Arqom mengangkat tangannya, mengusir wanita itu secara langsung.
"Tapi, Pak—"
"Gaji Anda akan ditransfer ke rekening. Silakan angkat kaki sendiri sebelum diseret oleh satpam."
Wajahnya berubah pias. Ingin membantah tapi tak kuasa. Akhirnya dia pergi sembari mengentak-entakkan kakinya kesal. Pintu pun ditutup sangat keras, membuat Arqom yang berada di dalam ruangan geleng-geleng kepala.
Benar-benar tidak sopan, batinnya puas memecat karyawati itu.
Baru saja hendak melihat berkas dari wanita tadi, ponselnya berdering. Ia segera mengangkatnya begitu melihat nama papanya terpampang di sana.
"Halo, Pa."
[Nanti malam pulang ke rumah. Papa tunggu keberhasilan acara kencan butamu. Kali ini kamu pasti suka.]
"Aku udah besar, Yah bisa cari pasanganku sendiri. Papa sama mama gak perlu khawatir tiap waktu ngadain kencan buta buat aku."
[Buktinya kamu belum punya isteri sampai sekarang. Papa sama mama udah pengin gendong cucu.]
"Sabar, Pa. Aku belum nemu yang cocok. Ada, sih yang nyantol di hati tapi udah punya suami."
[Beneran? Nanti malam Papa tunggu di rumah. Biar Papa kasih trik buat rebut cewek yang kamu suka.]
Arqom memijat pelipisnya lagi. Tak habis pikir dengan jalan ayahnya ini.
"Maksud Papa aku harus jadi pebinor gitu?"
[Bahasamu pebinor. Jodoh itu di tangan Tuhan, Ar. Bisa aja si cewek gak betah berumah tangga sama suaminya yang sekarang. Kamu harus siap siaga jadi pawang cewek yang kamu suka itu.]
"Kenapa aku harus gitu? Sesat ajaran Papa ah. Aku aduin mama, lho."
[Eits, jangan salah. Gini-gini Papa dulu banyak yang suka. Pokoknya kamu pulang dulu, kita bicarain ini matang-matang sekalian nyusun rencana. Urusan kencan buta bisa Papa cancel kalau kamu nurut sama Papa.]
"Beneran lho, Pa. Janji?"
[Emang kamu pernah lihat Papa ingkar janji? Udahlah, Papa tutup sekarang. Jam 7 harus udah di rumah. Awas kalo telat.]
"Iya, Pa nanti aku ke sana."
TUUT!
Arqom mengempaskan tubuhnya ke kursi. Ponsel dalam genggamannya ia lempar ke sembarang arah, menimbulkan bunyi retakan di sudut ruangan. Mungkin membentur tembok.
Gampang beli lagi, pikirnya kemudian memejamkan mata.
***
"Udah, Nu. Jangan nangis lagi. Lo gak pantes nangisin cowok yang udah nampar lo. Bisa aja si Ramdan lagi seneng-seneng sama isteri pertamanya," ucap Lami kian memanas-manasi.
Aku masih sesenggukan meski Naya dan Lami berulang kali menenangkanku. Membujukku dengan beraneka macam makanan namun aku sama sekali tidak tertarik. Aku hanya masih tidak menyangka jika Ramdan benar-benar menamparku tadi.
Jam menunjukkan pukul 6 sore. Sudah waktunya Maghrib. Lebih baik aku wudhu sekarang habis itu pulang. Tak mungkin aku ke rumah orang tuaku sesore ini apalagi mataku sembab habis nangis. Mama bakal tanya macam-macam ke aku.
Kuhapus air mataku kasar, lalu mendongak. "Aku mau sholat dulu terus pulang. Aku gak bisa terus-terusan menghindar dari mas Ramdan. Masalah ini harus aku selesaiin secepat mungkin." Aku pun bangkit diikuti Lami.
"Gue anter balik, ya?" Naya setuju dengan tawaran Lami, tapi tidak denganku. Kutepis tangan Lami yang bertengger di lenganku, lalu tersenyum.
"Aku pulang sendiri aja. Kamu jagain Mba Naya aja sampai mas Widi datang. Kayaknya ada kerjaan mendadak jadi belum bisa ke sini tepat waktu." Tatapanku beralih ke arah Naya yang menatapku iba. Jujur aku benci diberi tatapan seperti itu.
"Gue takut lo kenapa-napa, Nu. Nurut sama kita atau lo gak gue bolehin pulang," ancam Naya tapi tak sampai membuatku gentar.
"Aku mau cari udara segar sekalian. Kalau ada apa-apa aku pasti bakal kabarin kalian. Kalian gak perlu khawatirin aku lagi."
Meski tak rela, Lami dan Naya akhirnya mengijinkanku pergi. Aku bergegas keluar dari ruangan Naya seraya membenarkan letak tali tas yang merosot dari bahuku.
Sepanjang berjalan menyusuri koridor, pikiranku justru kacau. Mushola sampai kulewati tanpa sadar hingga tungkai kakiku sampai di parkiran. Aku baru sadar sesampainya di sana, celingak-celinguk
seperti orang linglung, lalu berjalan lagi.
Aku terus berjalan tanpa arah tujuan sampai kakiku terasa pegal seperti dulu. Terus berjalan sejauh mungkin mengikuti insting. Sampai tak sadar aku hampir tertabrak mobil yang melaju kencang ke arahku. Beruntung kesadaranku kembali sesaat sebelum aku jatuh ke trotoar. Wanita pengendara mobil yang tadi meneriakiku sekaligus memberi klakson keluar dari kendaraannya, berjalan tergesa-gesa ke arahku.
"Maaf, Mba. Mba gak apa-apa?"
Aku mendongak, memasang senyum seolah-olah aku baik-baik saja, lalu mengangguk. "Gak apa-apa kok, Bu. Maaf gak lihat jalan tadi."
Kami kompak melihat luka di sikutku. Meski pakai pakaian panjang, ada darah yang menempel di sana. Terlebih pakaianku berwarna putih. Wanita itu tampak sedikit panik.
"Saya bawa ke rumah sakit, ya? Kayaknya parah." Aku menggeleng tak setuju.
"Cuma lecet, Bu. Beneran gak apa-apa."
"Mending Mba ikut saya ke rumah. Saya gak tenang kalau pergi ninggalin Mba dalam keaadaan kayak gini. Ijinin saya menebus kesalahan saya tadi."
Awalnya aku ragu hendak menerima pertolongan wanita yang sama sekali tidak kukenal. Dari wajahnya terlihat baik.
Entah dapat dorongan darimana, aku mengangguki ajakannya barusan.
***