Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 27 - 27. Mansion Calon Mertua

Chapter 27 - 27. Mansion Calon Mertua

27. Mansion Calon Mertua

Mansion mewah tingkat dua tampak menakjubkan dilihat dari jalan dekat. Kesiur angin sesekali terdengar, berembus pelan menggoyangkan akar dan dedaunan hingga masuk ke ventilasi rumah. Berulang kali mulutku berdecak takjub melihat keindahan di depan mata.

Kulangkahkan kaki mengikuti wanita yang menabrakku tadi masuk ke dalam mansion itu sesudah menyerahkan kunci kepada satpam. Gerbang emas kembali ditutup sedangkan mobil yang terparkir sembarang arah segera dibawa ke dalam bagasi belakang rumah melewatiku.

"Woah ...."

Cahaya putih yang memancar terpantul benda-benda yang terbuat dari logam sebagai penghias ruangan. Temboknya berwarna silver, ada juga yang berwarna putih menyesuaikan tiap ruang. Pandanganku mengedar, melihat dekorasi milik wanita itu dengan seksama.

"Sepertinya kamu suka berada di rumah saya. Duduklah. Akan saya ambilkan minum sekalian kotak P3K untukmu." Dia tersenyum, lalu pergi dari hadapanku tanpa bisa kucegah.

Aku menipiskan bibir, menggosokkan telapak tangan dengan rok yang kukenakan tuk menghapus keringat dingin di tangan. Barulah setelahnya aku duduk di sofa yang terlihat mahal dan juga estetik. Warnanya abu-abu kehitaman. Permukaannya halus dan empuk. Sungguh, sofa impian.

Tanganku ini memang mudah berkeringat. Orang bilang itu ciri-ciri pengidap paru-paru basah. Aku belum pernah periksa ke dokter sebab tidak ada uang, tapi semoga saja tidak. Hanya aku yang tau.

Dua pelayan datang membawa kotak P3K dan nampan berisi minuman bergelas kaki juga baskom. Aku sedikit terkejut sebab ini pertama kalinya aku dilayani oleh pembantu langsung, meski bukan pembantuku. Rasanya risih, tapi di sisi lain aku senang sebab diperlakukan bagai putri.

"Silakan diminum, Nona. Kalau butuh sesuatu bisa bilang ke saya." Wanita berkulit sawo matang kemudian membungkuk hormat padaku.

Aku tersenyum ke arah mereka. "Makasih, Mba." Sedangkan wanita berkulit kuning langsat bersimpuh di sebelah kakiku selepas menaruh baskom di sampingnya.

"Ini kotak P3K-nya, Nona. Ijinkan saya mengobati luka Anda." Aku terkejut bukan main.

Begini rasanya diperlakukan seperti seorang putri, batinku teramat bahagia. Aku mengangguk patuh, daripada lukaku tidak diobati, lalu infeksi.

Segera kugulung kemeja putih bagian kanan hingga mencapai siku. Hanya luka ringan dan sedikit meninggalkan jejak kemerahan. Dengan telaten, wanita berkulit kuning langsat itu membasahi handuk kecil, memerasnya, kemudian ditempel berulang kali ke lukaku.

"Padahal aku bisa sendiri, Mba," ucapku sopan. Pembantu itu justru tertawa.

"Sudah sepatutnya kami melayani Anda sebagai tamu nyonya kami." Temannya yang berdiri mendekap nampan mengangguki ucapannya. Aku tak sadar jika minuman bergelas kaki itu sudah dipindahkan ke atas meja.

"Makasih banyak ya, Mba. Duh, jadi ngrepotin." Aku tersenyum canggung sesekali meringis perih.

"Engga sama sekali."

Pembantu berkulit sawo matang ikut bersimpuh di dekatku, menaruh nampan di ubin lantai untuk diisi baskom dan handuk kecil kemudian dia bangkit lagi. Giliran ditetesi obat merah lukaku.

"Sshtt!"

Selesai menumpuk lukaku dengan obat merah, langkah terakhir membalut lukaku dengan kasa dan ditempeli plester kecil agar tidak lepas. Kuturunkan gulungan lengan kemeja bersamaan dengan mereka yang berlalu ke belakang.

"Sudah diobatin?"

Aku mendongak, tersenyum melihat siapa yang datang—sang pemilik rumah sekaligus wanita yang tidak sengaja menyerempetku.

"Sudah, Bu. Terima kasih banyak. Saya jadi ngrepotin." Dia menggeleng tak setuju.

"Lagi. Udah berapa kali kamu bilang gitu ke saya?" Kami tertawa mendengar ucapannya. Dia melirik jam dinding yang berlapis emas.

"Tunggu sampai anak saya pulang, ya? Sebentar lagi dia pulang dari kantor. Habis itu kita makan malam, baru saya antar kamu pulang. Gak apa-apa, kan?"

Aku meringis sebentar. Pulang terlambat tidak masalah bukan? Yang penting aku sudah ijin ke suamiku di rumah sakit tadi.

Aku mengangguk setuju.

"Nama kamu siapa? Saya belum tau namamu."

"Jauharan Nufus, Bu. Ibu bisa panggil saya Nufus. Saya panggil Ibu dengan sebutan 'Ibu' tidak apa-apa?" Dia terkekeh.

"Boleh kok. Saya malah suka dipanggil Ibu sama kamu. Mau anggap saya Ibu kamu juga gak apa-apa," kelakarnya, lalu terkekeh. "Nama saya Qonita."

"Saya malah seneng. Dari dulu pengin punya anak perempuan tapi dikasihnya laki-laki." Tak kusangka dia justru curhat padaku padahal kenal belum ada 24 jam. Aku mangut-mangut saja.

"Saya boleh numpang kamar mandi sama pinjam mukena, Bu? Saya belum sholat."

Wanita bersanggul emas di hadapanku tampak sedikit terkejut. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu. Tapi sedetik kemudian, ia bangkit dari duduknya.

"Ikut saya. Saya juga mau sholat seperti kamu." Aku tersenyum mendengar ucapan bu Qonita barusan.

***

"PAPA!!"

Teriakan menggelegar sepanjang koridor dari ruang tamu hingga ruang tengah cukup membuat orang rumah merasa kesal. Seruputan kopi yang harusnya terasa nikmat berganti pahit karena teriakan anak semata wayang mereka. Qonita memasang wajah kesal sembari bersedekap, menunggu anaknya menampakkan batang hidungnya.

Sementara ayahnya yang semula berwajah ceria berganti datar sesampainya Arqom di ruang tengah. Ia sibuk melepas kancing seragam bagian atas setelah melepas dasi yang terasa mengikat lehernya. Para pelayan berbaris, mengambil barang tuannya satu persatu secara bergantian.

Nufus dibuat takjub dengan pemandangan barusan.

"Pa, aku gak ma—Nufus?"

Netra wanita itu ikut membulat sama seperti Arqom sampai-sampai telunjuknya terangkat menunjuk pria itu.

"Arqom?"

Wajah Arqom berubah sumringah. Padahal sejak di perjalanan tadi ia sudah menyiapkan banyak bantahan untuk ayahnya agar membatalkan kencan butanya hari ini. Ia sudah lelah, mengapa ayahnya harus menambah rasa lelahnya dengan objek perempuan?

Tapi semua bantahannya tercekat di tenggorokan melihat sosok Nufus di rumahnya. Tunggu! Jangan-jangan ia berhalusinasi sebab melihat Nufus ditampar di rumah sakit tadi. Berulang kali ia menggelengkan kepalanya, berusaha menyadarkan diri sendiri.

"Kamu kenapa geleng-geleng kayak orang kesurupan? Duduk!"

Teguran dari ayahnya seketika membuat jiwa Arqom kembali ke dunia nyata. Tapi ia masih melihat Nufus duduk di samping ibunya.

Nufus beneran ada di rumahnya? Kenapa? Ketemu di mana? Padahal Arqom belum membeberkan ciri-cirinya kepada sang ayah. Apa orang tuanya sudah tau siapa wanita yang ia suka?

Wanita itu tersenyum ke arah Arqom, menyuruh pria itu untuk duduk di hadapannya, bersebelahan dengan ayahnya. Arqom mengangguk, segera duduk dengan netra tak lepas memandang wajah Nufus.

"Ini beneran lo?" Tangan Arqom hampir menyentuh pipi Nufus kalau saja ayahnya tidak menampar tangan nakal pria itu. Ia meringis, tapi juga senang sebab ia tidak menghalukan isteri orang.

"Iya. Emang kenapa? Aneh ya aku ada di rumah kamu?" Arqom buru-buru menggeleng.

"Tau rumah gue dari siapa? Padahal gue belum pernah sebut alamat ke lo." Mulut Nufus menganga, lalu menunjuk sikut kanannya yang masih meninggalkan jejak darah berwarna cokelat.

"Tadi jatuh terus ditolongin sama Ibu," paparnya kemudian tersenyum. Tatapan Arqom berpindah ke arah ibunya, meminta penjelasan.

"Mama gak sengaja nabrak Nufus. Puas?" Seketika, mata Arqom terbelalak.

"Mama nabrak Nufus? Ya ampun, harusnya Mama kalau nyetir hati-hati dong. Kalau Nufus kenapa-napa gimana? Mama udah bawa dia ke rumah sakit belum? Takutnya parah. Mama tanggung jawab, kan?"

Qonita menganga tak percaya mendengar omelan anaknya. Selama ini, tak pernah sekali pun Arqom terlihat khawatir ketika ia menabrak seseorang. Tapi kini? Qonita hanya menyerempet tubuh Nufus dan menimbulkan luka sedikit anaknya panik minta ampun.

Ia jadi curiga. Jangan-jangan ada udang di balik batu. Ahay!

Siap-siap nimang cucu ini mah, batin Qonita terlampau senang. Ekspresi wajahnya berubah memelas.

"Kamu jangan nyalahin Mama dong! Mama 'kan gak sengaja. Lagian, Mama udah ajak Nufus ke rumah sakit tapi gak mau. Barusan dia diobatin sama pembantu."

Arqom mengacak wajahnya kesal. "Takutnya ada organ dalam yang luka, Ma." Beralih menatap Nufus. "Ayo, gue bawa ke rumah sakit sekarang!"

Ayahanda Arqom segera menahan tangan anaknya, menariknya agar duduk. Nufus tak bisa menahan tawanya melihat reaksi Arqom yang sangat berlebihan. Padahal apa yang dikatakan Qonita benar. Mana mungkin cuma kesrempet organ dalamnya bisa sampai kena.

"Kayaknya Papa udah tau siapa cewek yang kamu maksud."

Bola mata Arqom seketika melebar mendengar penuturan ayahnya.

***