24. Makin Runyam
"Lo denger ribut-ribut gak di luar?"
Lami menaruh bungkus nasi box ke atas nakas. Ia baru selesai makan karena diajak ngobrol sama Naya. Akhirnya nasi yang ia beli tersisa sedikit sebab kenyang duluan. Benar-benar si Naya.
"Denger. Paling wali pengunjung," balas Lami tak acuh. Dengan teganya, ia menyuruh Naya menyingkir dari brankar tapi wanita itu hanya bergeser. Naya membiarkannya ikut berbaring di sebelahnya. Padahal di sini yang berstatus sebagai pasien adalah dirinya.
Naya membenarkan posisi duduknya. "Lihat, yuk! Gue suka lihat orang ribut." Lami menggeleng tak setuju.
"Ogah. Gue capek pen rebahan."
"Gue suruh Widi buat ngusir lo baru tau rasa." Lami mencebik kesal, tak setuju jika Naya mengadu sembarang kepada kakaknya. Lantas, keduanya pun bangkit.
"Jalan aja masih dipapah. Nyusahin gue aja lo," cibir Lami dengan wajah jutek. Naya tertawa melihatnya.
"Rasain! Lo baru sebentar, Nufus malah lebih lama dari ini."
"Gak usah banding-bandingin!"
"Ngambekan lo. Buruan."
"Sabar! Dikira gak berat apa. Inget, bb lo jaraknya lebih jauh dari gue."
Meski kesal, Lami tetap membantu Naya berjalan ke arah pintu. Ia tak mengambil hati ucapan sahabatnya itu. Sudah kebal terhadap mulut blak-blakan milik Naya. Toh, mereka sama-sama bercanda.
"Eh, itu bukannya Nufus sama suaminya?"
Ucapan Naya membuat emosi Lami langsung bangkit. Padahal hanya sekadar ucapan yang belum tentu benar adanya. Tapi ternyata orang yang ribut barusan memang Nufus dengan suaminya.
"Keknya masalah serius. Samperin kagak?" tanya Lami cemas. Bahkan ia tak lagi memegangi bahu Naya. Naya juga tidak sadar berdiri tanpa bantuan saking paniknya.
"Lihat kondisi dulu."
Para wali pasien bergunjing di samping mereka. Baik Lami maupun Naya sama-sama mengumping informasi yang tertinggal.
"Mereka suami-isteri, kan? Keknya si cewek ketahuan selingkuh."
"Kegatelan jadi cewek padahal suaminya ganteng. Buat gue aja kalau gak mau."
"Tapi suaminya sampai nampar tuh cewek, lho. Jadi yang salah siapa? Si cowok apa si cewek?"
"Sampai ditampar, Lam. Masalah serius ini. Ayo samperin!"
Sungguh tak berperasaan. Tangan Naya ditarik begitu saja oleh Lami tanpa mempedulikan kakinya yang terluka. Naya tak sempat protes, memaksakan diri untuk berjalan mendekati Nufus yang punggungnya mulai bergetar.
Nufus menyentak tangannya kasar. "Bukan cuma kamu yang pengin ketemu sama orang tuamu. Aku juga pengin, Mas! Aku anak pertama mereka. Ada adik kecil yang nunggu kepulanganku selama ini. Mereka selalu nanyain, kapan aku pulang ketika video call. Aku selalu beralasan agar mereka tak menunggu kepulanganku. Alasanku cuma satu. Aku pengin mandiri jalani rumah tangga bareng kamu."
"Dek, Mas cuma mau—"
"Mau apa?"
Nufus menoleh ke Naya, terkejut melihat kedatangan kedua temannya dengan mata nyalang. Baru kali ini ia melihat Naya dan Lami memasang wajah garang. Tak menyangka jika Ramdan menjadi objek kemarahan mereka kini.
"Gue tanya, lo mau apa?" Naya mengulang pertanyaannya sebab pria itu malah membisu. Mungkin karena teman-teman isterinya ikut campur dalam masalah rumah tangganya.
Lami bersedekap, menunggu Ramdan menjawab. Nufus bergegas menghampiri kedua temannya.
"Mba Nay ngapain keluar? Istirahat aja di dalam. Lami, kamu jangan mau diajak keluar sama Mba Naya. Sama aku aja tadi tak tolak." Mengapa di saat genting seperti ini, Nufus malah mengkhawatirkan kondisi Naya? Tidak bisakah ia memprioritaskan keadaannya sendiri sebelum memikirkan kondisi orang lain?
Naya bukannya tak suka. Hanya saja ia kasihan melihat Nufus selalu memasang tampang baik-baik saja ketika mereka berkumpul. Naya tidak mau Nufus sampai sakit hanya gara-gara cowok modelan Ramdan. Meski Ramdan berstatus sebagai suaminya, selama berani menyakiti Nufus lahir batin, Naya tak akan melepaskannya dengan mudah.
Ramdan merotasikan bola matanya, terlihat bingung hendak menjawab apa.
"Bisu lo?" Lami akhirnya angkat bicara. Wanita itu benar-benar galak ketika sedang marah. Elusan tangan dari Nufus tak mempan meredakan amarah mereka.
"Ini masalah rumah tangga kita," balas Ramdan lirih. Naya berdecih tak percaya.
"Udah-udah. Aku antar kalian ke kamar, ya?" Nufus melirik Ramdan sinis. "Kamu pulang aja, Mas. Aku mau di sini jagain Mba Naya."
Ramdan menggeleng tak setuju. Ia lekas mencekal lengan isterinya agar tidak pergi bersama teman-temannya.
"Kamu harus pulang sama aku sekarang. Kita bicarain ini baik-baik."
Lami dengan berani maju selangkah, menepis tangan Ramdan sangat kasar. Lantas, ia menarik Nufus ke kamar inap Naya, meninggalkan sang pasien yang masih ingin melampiaskan amarahnya.
"NUFUS!"
"Gue denger lo nampar Nufus tadi."
Naya maju satu langkah sedangkan Ramdan mundur selangkah. Mereka tak lagi berada di depan lift.
"Lami bawa Nufus masuk!" titah Naya diangguki Lami. Ia segera menyeret temannya masuk ke kamar inap nomor 112.
Naya menatap Ramdan nyalang. "Punya mulut 'kan lo? Gunain! Gue tanya baik-baik. Jangan sampai gue bales nampar pipi lo atas nama sahabat gue."
Ramdan terkejut mendengar perkataan Naya barusan. Berarti wanita itu melihat kejadian tadi? Astaga. Ia bahkan melupakan fakta jika tadi sempat menampar pipi isterinya.
Pria itu menatap tangannya sendiri, menyesal karena berani main tangan pada Nufus. Padahal saat bersaksi di depan penghulu dulu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyakiti Nufus lahir batin. Sepertinya ia mengingkari janjinya sendiri.
"Kenapa? Nyesel sekarang?" tanya Naya lagi.
"Bawa Nufus ke sini sekarang, Nay. Aku gak mau memperburuk keadaan."
"Kalau gue serahin Nufus ke lo yang ada lo nyakitin mental dia lagi. Lo gak puas lihat isteri kedua lo menderita karena kehadiran isteri pertama?"
"Apa ini? Ternyata cowoknya yang salah."
"Kasihan yang cewek. Aku sempet berburuk sangka tadi ngira dia selingkuh. Taunya dia dipoligami."
"Pasti nyesek banget tinggal seatap bareng isteri. Mana bisa akur."
"Kalau aku, sih mending milih cerai daripada dimadu. Makan ati terus tiap hari."
Ramdan menatap sekitar dengan mulut menganga. Benarkah apa yang dikatakan pengunjung itu? Apa selama ini Nufus menderita karena kehadiran Lulu?
Naya tersenyum sinis. "Gimana? Udah sadar sekarang? Gue tau lo orangnya gak peka, tapi setidaknya mikirlah mental isteri lo gimana. Nufus masih muda, pikirannya masih labil. Dia bahkan ngerelain masa kuliah demi nikah sama lo. Harusnya lo jujur dari awal kalau udah pernah nikah biar Nufus gak sakit hati kayak sekarang."
"Mending lo balik sekarang, renungi semuanya baik-baik. Kalau perlu bicarain sama isteri pertama lo maunya gimana. Jangan rakus, Ram. Lo gak bisa pertahanin dua cewek sekaligus buat jadi pendamping hidup lo. Bakal ada satu yang tersakiti ketika lo berbuat gak adil. Dan gue rasa kayaknya gue tau siapa orang yang gak dapat keadilan dari lo."
Lantas Naya pun berbalik, pergi meninggalkan Ramdan yang diam mematung mencerna perkataannya. Naya berharap pria itu cepat paham dan melepas salah satunya. Ia ingin Nufus bahagia hanya dengan seorang pria yang bisa dimiliki seutuhnya.
Yang sabar, Nu. Gue tau lo kuat hadapi semua ini, batin Naya.
***