22. Salah Paham
Aku menghabiskan banyak waktu di rumah sakit sekadar menjaga Naya. Lami juga datang menjenguk tapi cuma sebentar. Biasa, dia 'kan orang sibuk. Yang lain juga.
Widi memintaku bergantian menjaga Naya dengannya. Aku mengiyakannya selagi bisa. Daripada aku di rumah tidak beraktivitas apa-apa. Bukannya ingin lalai dari tugas seorang isteri. Hanya saja masih ada satu isteri lagi di rumah. Anggap saja aku sedang jadi isteri poligami yang baik. Membiarkan mereka bersama seharian setelah 3 tahun lamanya berpisah.
Apa sebutannya? Bertukar posisi dengan Lulu? Ah, intinya itu.
"Lo udah ngabarin orang rumah belum? Nanti mas Ramdan nyariin gue yang kena amuk."
Ucapan Naya menyadarkan lamunanku. Aku mengerjap pelan sembari mencerna ucapannya barusan. Benar-benar seperti orang linglung. Tapi tak lama kemudian, aku pun paham.
Segera kunyalakan ponsel yang sedari tadi kucharger di nakas. Sembari menunggunya menyala, aku menjawab pertanyaan Naya tadi, "Udah kok. Aku nitip pesan ke Lulu buat ijinin aku ke mas Ramdan."
Naya mengernyit bingung. "Kok lo minta ijinnya ke Lulu?"
"Iya, tadi soalnya aku ke rumah mertuaku bareng mereka. Mas Ramdan sibuk di kebun belakang rumah bareng Omar sama ayahnya, metikin sayur. Mau aku susulin tapi gak ada sepatu bot. Tanahnya berlumpur gitulah mlesetin."
Naya mengangguk paham mendengar penjelasanku meski aku sedikit terbata-bata tadi.
"Tapi firasat gue buruk, Nu." Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Sebagai seorang temen, gue cuma mau bilang kalau jangan-jangan Lulu gak nyampaiin amanah lo ke mas Ramdan. Kan berabe pulang-pulang lo dimarahin terus ujung-ujungnya musuhan. Padahal masalah yang kemarin belom kelar, kan?"
Aku menghela napas panjang sembari mengangkat kedua bahuku. Aku sendiri pun tidak tahu mau dibawa ke mana rumah tanggaku dengan Ramdan. Baru dapat sedikit masalah saja aku mengeluh terus-terusan. Lari sana-sini minta perlindungan teman baikku. Aku jadi tidak enak menambah beban mereka padahal mereka juga punya kehidupan pribadi yang jauh lebih penting.
"Harusnya, sih udah kelar orang tadi pagi aku udah jelasin panjang lebar ke mas Ramdan. Tapi ya itu, masih ada pihak ketiga jadi mau didiskusiin ulang malam ini."
"Aku juga udah feeling Lulu bakal gak nyampaiin amanahku ke mas Ramdan. tapi aku gak boleh suudzon dulu. Selama ini hubungan kita baik-baik aja jadi aku yakin Lulu nyampaiin pesanku ke mas Ramdan," sambungku masih membuat Naya tak puas.
"Lo baik banget asli. Kebaikan lo bisa disalah gunain. Hati-hati, Nu. Gue cuma gak mau lo sakit hati lagi. Lo cewek paling baik yang gue kenal. Kalau Ramdan gak bisa bikin lo bahagia lagi, gue bakal bahagiain lo dengan cara gue."
Aku tersenyum senang. Kami pun berpelukan. Naya memang paling mengerti tentang diriku. Meski di luar sana tetangga sibuk mencibirkan kami yang 'katanya' sama-sama mandul, di sini kami saling support satu sama lain. Berbagi kebahagiaan kecil yang tak kami dapatkan di mana pun.
Kami tidak mandul. Hanya saja, Tuhan belum memberi kami kesempatan untuk punya anak, terlebih aku yang sudah menikah. Meski umur kami terpaut cukup jauh, Naya masih trauma menjalin hubungan dengan laki-laki.
Pelukan kami terlepas.
"Makasih ya, Mba Nay udah selalu ada di sampingku," ucapku tulus. Naya menggeleng tak setuju.
"Lo duluan yang ngulurin tangan ke gue. Di saat semua orang gunjingin gue ini-itu, lo mau temenan sama gue tanpa mandang bulu. Lo juga sering bantu gue. Udah sepatutnya gue balas kebaikan lo, Nu. Jangan rendah hati gitu ah! Insecure guenya." Aku tergelas mendengar candaan Naya di akhir kalimatnya. Bisa aja.
"Nufus, gue balik."
Aku menoleh ke arah pintu. Tepat sekali Arqom datang kembali sepulang dari kerja bersama dengan Lami. Tersenyum lebar sembari menenteng tinggi-tinggi kresek makanan ke udara. Mataku langsung berbinar.
"Tau aja aku lagi laper."
Lami mendekatiku, mengeluarkan dua nasi kotak untukku dan untuk Naya. Sedangkan nasi kotak miliknya berada di kresek Arqom.
"Siniin nasinya, Bos!"
"Udah di luar kantor. Sabar!" balas Arqom mengingatkan.
Ia hanya ingin melepas jas tak bolehkah? Dasar Laminya aja yang tidak sabaran. Arqom menyerahkan kresek yang dibawa ke arah Lami yang langsung diterima baik oleh wanita itu. Ia duduk di sampingku untuk membuka tutup nasi secara bersamaan.
"Nasi goreng!" seru Naya sembari mencium dalam-dalam aroma yang menguar. Aku tersenyum senang. Kami bertiga memang pecinta nasi goreng.
Lami menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan dengan wajah riang. Padahal ia sehabis pulang kerja. Tidakkah merasa capek sedikit pun? Kalau iya, salut aku.
"Kamu ngapain ke sini lagi?" tanyaku pada Lami. Sesendok nasi goreng masuk ke mulutku.
Lami menunjuk udara dengan sendoknya. Sembari mengunyah, ia menjawab, "Lo gak laper emang? Dari pagi di sini kagak makan apa-apa. Ngemil juga kagak. Kuat juga perut lo." Tatapannya mendarat ke arah perutku. Aku terkikik.
"Nay, AC di ruangan ini belum lo nyalain?" tanya Arqom sembari menekan remot AC. Atensi kami teralih bersamaan.
"Naya lagi sakit, ogeb! Lo ngapain nyalain AC segala?" balas Lami tak terima. Arqom memanyunkan bibirnya.
"Yang sakit organ luarnya doang. Emang ngaruh ampe ke tulang? Engga, kan?" Aku menyikut Lami untuk berhenti berdebat dengan Arqom. Toh, Naya tidak keberatan.
"Biarin aja, Lam. Biasanya juga suka seenak jidat." Arqom mencibir ketika Naya mengomentari pribadinya. Ia mengambil seporsi nasi goreng miliknya kemudian pergi ke sofa.
"Capek kok mampirnya ke rs. Habis ini langsung pulang. Kalian juga butuh istirahat," tegurku diangguki Naya. Lami yang melihat itu hanya berdecak tanpa suara.
"Tau."
"Jangan lupa anterin Lami sampai rumah ya, Ar. Ke sininya bareng, kan?" tanyaku pada Arqom. Pria itu mengangguk, memilih fokus dengan makanan di tangannya.
"Dia kalau makan gak bakal mau diajak ngomong. Paling geleng-geleng sama ngangguk doang. Biarin aja," bisik Lami. Aku ber-oh-ria. Bagus dong kalau gitu. Tidak seperti kita yang makan sambil berbicara. Bisa-bisa makanan yang harusnya masuk ke lambung malah belok ke saluran pernapasan. Ujung-ujungnya ...
"UHUK! UHUK!"
Baru juga mau bilang.
Naya buru-buru menyodorkan botol mineral yang isinya tersisa setengah ke arah Lami. Wanita itu langsung meneguknya hingga tandas kemudian bersendawa. Dasar Lami.
"Lo juga balik, Nu. Gak pegel apa duduk terus dari pagi." Tidak biasanya, Arqom berbicara di sela-sela acara makannya. Lami sampai memberinya pelototan tajam.
Aku menoleh. "Nanti juga aku pulang. Nunggu mas Widi dateng. Bentar lagi kayaknya sampai."
"Lo pulang aja. Gue gak apa-apa kok sendirian. Kek bocil aja harus dijagain dua puluh empat jam. Lagian gue udah chat abang gue kok. Lo keluar bareng mereka, ya?" ucap Naya membujukku.
"Bener tuh apa kata Naya. Gak tepos apa pantat lo daritadi duduk terus. Lo juga pasti pengin rebahan. Iye, kan? Ngaku lo!"
Aku hanya bisa pasrah jika sudah begini.
"Tau aja kamu. Iya habis ini aku balik." Jawaban dariku membuat Naya dan Lami tersenyum puas.
"Gue duluan."
Arqom bangkit dari duduknya, berjalan ke arah tong sampah di luar kamar untuk membuang box nasi miliknya. Aku buru-buru menyuap satu sendok terakhir dan ikut membuangnya keluar.
"Kalian balik duluan aja. Gue mau numpang toilet bentar," ujar Lami beralibi.
Dahiku berkerut. "Kita tungguin." Lami menggeleng tak setuju sembari mengangkat nasi box miliknya yang masih tersisa sebagian.
"Makanan gue belum habis. Lagian ada yang mau gue omongin juga sama Naya." Ia menatapku tak enak. "Gak apa-apa 'kan, Nu?"
Aku tersentak kaget. Untuk apa Lami meminta ijin padaku? Kan tidak semua hal bisa dibagi denganku. Aku memakluminya.
"Santai. Ya udah aku pulang dulu, ya takut ditungguin sama orang rumah. Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaaikumussalam."
"Bareng, Nu bentar!"
Selepas mengambil jas yang terselampir pada sofa, aku dan Arqom keluar dari ruangan Naya. Tak lupa pintu yang semula terbuka Arqom tutup lagi, menyisakan kami berdua yang tiba-tiba berada dalam situasi canggung.
"Ke sini naik apa, Nu?" tanya Arqom membuka obrolan. Aku menoleh.
"Naik ojek. Motornya dipake mas Ramdan." Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya.
"Mau gue anterin atau—"
"NUFUS!"
Teriakan dari seberang mampu membuatku mati kutu.
Astaga, kenapa Ramdan bisa ada di sini?
***