21. Pengaduan Lulu
"MBA NAY!!"
Aku segera memeluk Naya yang sudah boleh dijenguk oleh orang lain. Kulihat Widi langsung menyingkir, memberiku ruang untuk berbicara dengan adiknya. Sementara ia duduk sofa, menyuruh tamu selainku duduk sekalian mengajaknya berbincang.
Naya mencibir usai pelukan kami terlepas. Segera kutabok pantatnya seperti biasa ketika ia berbuat salah.
"Mba Naya kenapa bisa kecelakaan coba? Pasti ngebut di jalan, iya, kan?" tuduhku dengan wajah cemberut. Naya terkekeh, menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu dan mendengarnya bercerita.
"Gue cuma kesrempet astaga. Mas Widi bilang yang engga-engga ya ke lo?" Naya melirik kakaknya yang pura-pura tidak mendengar ucapannya tadi. Segera ia lempari dengan kulit kacang yang sedari tadi berada dalam genggamannya.
Aku mengembuskan napas lega.
"Tetep aja kamu luka. Orang yang kamu tabrak gimana?" Kuraih botol mineral di atas nakas untuk menghilangkan dahaga.
"Gue minta maaf, dia juga minta maaf. Untung orangnya mau diajak damai sama gue tanpa harus keluar uang. Gue langsung bebasin dia padahal dia ngotot bawa gue ke rumah sakit tapi waktu ditagih duit malah gak ada."
"Uhuk!"
Aku tersedak air minum yang baru hendak turun ke lambung. Jujur banget mba Naya.
"Eh, keselek. Maapin." Naya bantu meredakan rasa sesak di dadaku dengan cara memukul punggungku bertubi-tubi dalam tempo pelan. Di samping itu, ia juga tertawa melihatku tersedak seperti ini.
"Santai, Nu gak ada yang minta minum lo," sahut Widi yang melihat aksiku tadi. Aku tak sempat memberinya pelototan tapi diwakili oleh Naya.
"Mba kalau ngomong nungguin aku selesai minum, ya," pintaku mengingatkan namun dibalas tawa oleh Naya.
"Sorry-sorry. Gue kadang gak lihat kondisi kalau cerita." Kutaruh botol mineral yang sudah ditutup ke atas nakas. Atensiku kembali berpusat pada wanita itu.
"Lami udah dihubungi, Mba?"
"Pastinya udah. Ulah mas Widi ini padahal aku gak minta dia buat hubungi kalian. Maaf ya padahal lo baru aja balik dari rumah gue tadi pagi." Aku tersenyum lantas menggeleng.
"Gak usah gak enak gitu. Kayak sama siapa." Naya membalas senyumku seraya menggenggam tanganku.
"Suka deh ada yang perhatian ke aku selain keluargaku."
Kutepis tangan Naya yang berada di atas tanganku. "Tau ah Mba Naya malah ngelantur."
"Hehe ... duduk, Nu. Ya abisnya gue seneng banget sumpah. Padahal cuma lecet doang."
"Coba lihat!"
Naya menyibak selimut yang menutupi anggota tubuh bagian bawah. Hanya lulut, mata kaki, dan jari kaki yang luka. Tidak ada yang parah.
"HOEK! HOEK!"
Widi sigap membantu Naya memijit tengkuk lehernya. Kulihat Arqom sudah berdiri di belakangku dengan tampang bersalah. Melihat cara Widi memijat tengkuk adiknya yang sedang sakit, pikiranku mulai traveling.
"Keluarin aja, Nay! Gak apa-apa," ujar Widi disambut gelengan dari Naya.
"Gue cuma mual doang kok, Mas. Ini udah mendingan."
"Lo ngobrol sambil tiduran makanya jangan duduk kek tadi." Widi memaksa Naya untuk tiduran agar rasa mualnya berkurang. Mungkinkah ....
"Mba Naya hamil?"
"UHUK!"
***
"BAPAK! RAMDAN! SINI MAKAN CAMILAN."
Teriakan menggelegar dari mulut Junar berhasil membuat atensi suami dan anak tertuju padanya. Ia mengangkat kresek hitam tinggi-tinggi. Omar yang melihat neneknya datang membawa jajan segera menghampirinya dengan langkah riang.
"Hati-hati, Omar! Nanti jatuh badanmu bau," ucap Ramdan mengingatkan. Pria itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat anaknya keras kepala dan mengabaikan peringatannya begitu saja.
"Ye ... ye jajan."
"Cuci tangan dulu, Mar. Sepatunya dilepas. Kamu gak jatuh, kan?" tanya Lulu sedikit khawatir. Ia datang membawa nampan berisi empat gelas es teh buatannya sementara Junar membawa roti, pilus, dan camilan lainnya.
Omar menurunkan niatnya ketika hendak mengambil salah satu roti yang tersodor ke arahnya.
"Omar gak jatuh, Ma. Ayah jagain Omar daritadi," celutuk bocah laki-laki itu kemudian bangkit. Bertepatan dengan itu, Ramdan dan Suryo—ayahanda Ramdan sampai di teras belakang rumah.
Lulu tersenyum. "Ya udah kamu cuci tangan dulu di dalam habis itu makan cemilan." Omar mengangguk patuh, lalu masuk ke dalam rumah.
Ramdan melepas sepatu botnya kemudian bangkit. "Aku nyusulin Omar cuci tangan." Setelah mendapat anggukan dari Lulu, pria itu segera menyusul anaknya ke dapur.
"Dapet berapa, Yah?" tanya Lulu kepada ayah mertuanya.
Suryo menoleh, sedikit terkejut melihat kedatangan Lulu setelah sekian lama dinyatakan meninggal. "Kamu—"
"Iya, Mas. Dia Lulu, menantu kita," jelas isterinya dengan mata berbinar.
Lulu buru-buru menyodorkan tangannya, mencium punggung tangan Suryo sebagai tanda hormat. Suryo yang masih sedikit tak percaya memilih bungkam sembari menelusuri wajah menantunya.
"Kamu gak banyak berubah, Lu," ucapnya ramah. Lulu tertawa mendengar hal itu.
"Makasih pujiannya, Yah. Maaf baru sempat menyapa Ayah. Ini diminum dulu pasti haus."
Suryo menerima gelas pemberian Lulu kemudian meneguk isinya hingga tandas. "Ahhh ...."
"Dapet berapa, Mas? Ditanyain tadi sama Lulu." Junar mengulang pertanyaan menantunya tadi sembari membuka salah satu pilus untuk dinikmati bersama.
Suryo menunjuk keranjang buah yang ditaruh tak jauh dari mereka. "Sekilo. Lumayan buat dijual sebagian sama buat simpanan di dapur." Lulu mengangguk antusias.
"Aku gak bantuin Ayah tadi. Maaf, ya. Cabenya beneran seger ternyata." Suryo tertawa mendengar celutukan menantunya.
"Udah ada Ramdan yang bantuin. Kamu nanti bawa pulang beberapa." Lulu mengangguk setuju.
"Makasih, Yah."
"Lu, Nufus ke mana?"
Pertanyaan Ramdan membuat suasana bahagia yang tercipta tadi mendadak pudar. Junar tampak tidak suka ketika anaknya bertanya hal lain padahal mereka sedang menghabiskan waktu bersama.
Untuk apa memikirkan wanita yang tiba-tiba minggat itu? Padahal suaminya ada di sini membantu orang tuanya.
"Gak usah nanyain isteri keduamu itu. Duduk dan makan camilan ini." Junar menyodorkan dua buah roti ke hadapan Ramdan. Omar yang berada dalam gendongannya meminta turun, duduk di pangkuan sang ibu, dan memakan roti pemberian omanya.
Sementara Ramdan malah terlihat gusar. Ia mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Nufus tapi nomornya tidak aktif. Apakah Nufus marah karena ia memilih tuk menghabiskan banyak waktu bersama ayah dan anaknya? Sepertinya bukan karena masalah itu.
Padahal ia memberinya ruang untuk berbicara dan lebih mendekatkan diri dengan Junar. Lulu saja terlihat nyaman berada di dekat mertuanya yang sekian lama baru sempat berjumpa, mengapa Nufus yang sudah lama dekat dengan Junar malah pergi meninggalkan keduanya? Tanpa seijinnya lagi.
"Mati lagi. Lulu kamu tau gak Nufus ke mana? Nomornya gak aktif," tanya Ramdan lagi. Kali ini Lulu mendongak.
"Nufus terus yang kamu pikirin, Mas! Sekali-kali nikmatin waktumu sama aku apa susahnya? Aku juga isterimu! Butuh perhatian kamu."
Ramdan mengacak rambutnya frustrasi. Bulir keringat merembes dari dahi dan sebelah telinganya. Cuaca di luar cukup panas. Ramdan merasa bersemangat membantu ayahnya tadi namun ketika kembali, ia mendapati Nufus tak ada di rumah ini.
"Bener apa kata Lulu. Lagian buat apa nyariin isteri yang diam-diam pergi tanpa ngasih tau suami?" sindir Junar yang berada di pihak Lulu. Mereka melanjutkan acara makannya tanpa mempedulikan Ramdan yang kelimpungan bak cacing kepanasan.
"Angkat dong, Nu," gumamnya.
"Gak bakal diangkat, Mas. Dia tadi bilang buru-buru jadi gak sempet ijin ke kamu sama ibu. Cuma ijin ke aku habis itu pergi. Coba kamu susulin ke rumah sakit."
Mata Ramdan terbelalak. "Ke rumah sakit? Ngapain? Siapa yang sakit?" Lulu mengangkat kedua bahunya tak tahu.
"Temen, tapi aku denger dia bicara sama cowok lewat telepon. Waktu Mas pergi ke belakang, dia pergi ke teras. Ditawarin makan sama Ibu katanya udah makan terus pergi gitu aja."
Mendengar hal itu, Ramdan menjadi geram.
Awas kamu, Nu. Ketemu sama siapa kamu, batinnya dibakar api cemburu.
***