10. Celotehan Omar
"Saya ingin memeriksa, apakah berkas kemarin ada di tangan Anda?"
Arqam mendongak, mengangkat berkas di hadapannnya agar Naya dapat melihat hasil kerja kerasnya berhasil ia selesaikan seperti biasa. Wanita itu masuk selepas menutup pintu ruangan Arqam.
Muhammad Arqam adalah nama lengkap pria yang menjabat sebagai penerus perusahaan yang didirikan ayahnya. Ia atasan Naya, tapi pria itu memperlakukannya seperti rekan biasa. Bahkan ketika Naya memberinya hormat seperti rekan kerjanya yang lain, Arqam malah menegurnya untuk bersikap biasa saja.
Ketukan high heels dengan ubin lantai terdengar beraturan. Arqam menunduk, kembali memeriksa berkas lain yang masuk hari ini sementara Naya mengambil berkas yang ia sodorkan di hadapannya. Tersenyum melihat Arqam giat bekerja seperti biasa. Berkas itu ia dekap.
"Sepertinya saya tidak perlu membuat laporan karena kita bekerja sama," ucap Naya lagi. Arqam terkekeh.
"Karena kamu keras kepala, mulai hari ini kamu wajib berkata formal kepada saya ketika berada di kantor. Selebihnya tidak."
Nyaa mengangguk setuju. "Itu yang saya inginkan dari dulu. Kenapa Anda baru mengizinkannya sekarang?"
"Bukankah saya Bos yang baik kepada karwayannya? Harusnya kamu berterima kasih."
"Tentu. Terima kasih, Bos."
"Siang ada waktu?"
"Kenapa Anda bertanya?"
"Saya ingin mengajakmu makan di cafe dekat sini. Ada hal yang harus saya bicarakan."
"Apa itu penting?"
"Seputar pekerjaan."
Naya mengangguk paham. Tak heran, biasanya pun begitu. Mengapa ia berharap lebih?
"Kenapa? Anda mengira kita akan membicarakan hal lain selain pekerjaan?" tebak Arqam tepat sasaran. Tapi karena Naya tidak suka berbohong, wanita itupun mengangguk.
"Biasanya juga begitu. Anda bilang ingin membicarakan tentang pekerjaan tapi ujung-ujungnya mengorek informasi pribadi." Arqam bungkam dengan mulut menganga dan kelopak mata mengerjap pelan.
"Ya ...gitu." Ia kembali berkutat dengan berkas di tangannya ketika Naya geleng-geleng kepala.
"Chat aja. Saya pamit."
"Hm."
Naya keluar dari ruangan Arqam dengan senyum merekah. Di luar, ia berpapasan dengan dua rekannya yang menunggu dirinya keluar. Wanita itu hanya tersenyum dan menunduk sembari berlalu dari hadapan mereka.
Ia bekerja di salah satu penerbit mayor. Penerbit Garden namanya. Sebagai editor, bisa dibilang Naya sangat sibuk. Hampir seluruh waktu istirahatnya digunakan untuk membaca naskah penulis terkontrak yang masuk. Namun, ia tak banyak mengeluh sebab inilah jalan yang ia ambil.
Ruangan dibagi sesuai dengan bidang yang diambil. Naya sendiri mengambil bidang editor. Kecintaannya terhadap literasi ia abadikan di tempat ini. Naya tidak pernah bermain-main dalam pekerjaannya.
Jika kalian berpikir ruangan yang Naya tempati seperti milik Arqam, kalian salah. Satu bidang di penerbit menempati satu ruangan besar yang dibagi perbilik. Diberi fasilitas lengkap untuk mempermudah pekerjaan mereka.
"Keknya habis dapet kabar bagus. Apa itu? Cuti?"
Lamunan Naya buyar akibat mendengar suara cempereng sahabatnya dari meja seberang. Bisa-bisanya dia ada di sini padahal ruangannya di sebelah.
Naya menoleh, memberinya gelengan kecil sebab bukan itu yang ia dapat dari ruangan Arqam. Selepas menyelipkan berkas ke dalam rak buku kecil, Naya mendorong kursi putar ke arah sahabatnya sebelum ia duduki.
"Cuti? Mana mungkin Arqam ngasih cuti cuma-cuma. Gue ngecek berkas kemarin ada di dia apa engga, eh malah diajakin makan siang," balas Naya sedikit berbisik.
Namanya Afifah Islami. Nufus mengenalkan Lami kepada Naya saat mereka bertemu di cafe dekat kantor penerbit ini. Mereka bertiga langsung akrab barang beberapa menit.
Lami mendadak heboh, lebih mencondongkan tubuhnya ke arah Naya untuk mendengar berita lanjutnya.
"Tuh 'kan apa gue bilang! Jelas-jelas pak Arqam suka ke lo. Dia ngode lo udah lama kali, Nay. Lo kapan pekanya, sih?"
"Bahas itu lagi? Lo udah ngomong dua puluh kali ke gue."
Naya berdecak kesal. Sembari merotasikan bola matanya, ia memundurkan kursi putar ke biliknya. Hal itu membuat Lami kesal namun tak sampai menghampiri bilik Naya. Ia melampiaskannya dengan menekan keras tombol keyboard laptopnya. Semoga pulang-pulang tidak minta dibawa ke tukang service.
"Ah, gak asik lo, Nay. Masa lo mau ngejomlo terus. Gue aja udah punya pawang," celutuk Lami tak kehabisan akal. Naya mengabaikannya, memilih tuk berkutat dengan komputer di hadapannya.
"Lo mah playgirl, gak perlu gue sebutin list mantan brengsek lo," sahut Naya sedikit menggumam. Lami mencibir karenanya.
"Serah lo dah. Gue gak mau tau pokoknya ntar malem lo temenin gue double date. Jangan lupa bawa cowok. Mungut di sekolahan kek, tukang kebun kek, apa sopir, bodo amat."
Naya tertawa dalam hati. Miris sekali nasibnya. Udah jomlo, dipaksa double date pula sama Lami. Memangnya wanita itu tak menaruh ras iba padanya?
Harus mungut di mana gue? batin Naya.
***
"Ah ... ini."
Mulutku sukses menganga dibuatnya. Di tanganku ada bungkus susu yang Lulu berikan untukku.
Bukan susu kehamilan seperti dugaanku melainkan susu yang biasa diminum oleh anak menginjak remaja. Susu merek ini banyak dijual di warung dan Algamart. Rupanya aku banyak berpikir negatif tentangnya.
Ya Tuhan, maafkan hamba-Mu ini.
Kutaruh bungkus susu rasa vanila itu ke atas meja. Tiba-tiba Omar berteriak sembari berlari ke arah Lulu kemudian memeluknya. Aku tersenyum.
"Mama, pengin jajan."
"Bentar ya Mama ambil uang dulu."
Lulu beranjak bangkit, pergi ke kamar usai mengelus puncak kepala anaknya. Sembari menunggu ibunya kembali, Omar duduk di atas sofa dengan susah payah. Ketika aku hendak membantunya duduk, anak laki-laki itu justru menepis tanganku. Tidak sopan.
Alhasil aku kembali duduk di sofa semula tanpa melirik Omar ataupun mengajak anak itu berbincang.
"Tante siapa?"
Aku tersentak kaget. Barusan ia mengajakku bicara? Tumben sekali.
"Maksudmu?"
"Aku yakin Tante paham maksudku. Kenapa ada di antara mama sama ayahku?"
Aku tertawa miris. Orang sekecil Omar yang terbilang masih suci jiwanya secara tidak langsung mengingatkan posisiku sebagai orang ketiga.
"Tante juga gak mau jadi pembatas ayah dan mamamu. Apa ini salah Tante karena menikah dengan ayahmu?" tanyaku lirih. Omar mengangguk mantap.
"Iya, itu salah Tante. Harusnya Tante nolak waktu ayahku berniat mau nikahin Tante. Apa ayah gak bilang dia udah punya mama?"
Aku menghela napas panjang. Kusenderkan punggung pada batang sofa agar rasa lelahku sedikit berkurang. Perkataan anak kecil saja mampu meluluhlantahkan isi hatiku yang baru tertata berkat perkataan Ramdan.
"Ayahmu gak bilang kalau dia udah punya mamamu. Dia datang baik-baik pada Tante dulu. Tak ada salahnya Tante menerima niat baik ayahmu," jelasku serinci mungkin. Kuharap Omar cepat mengerti.
Ia meletakkan robot miliknya di atas meja. "Karena Tante udah tau, bukankah seharusnya Tante mengalah agar kami bertiga bisa hidup bahagia?"
Mengalah ya?
Apa aku bisa? Apa harus aku?
"Ini masalah Tante sama mama papamu. Kamu gak perlu khawatir." Aku tersenyum berusaha menutupi kegundahan hatiku.
"Aku jelas khawatir, Tante. Mama udah lama menderita. Aku juga butuh ayah karena selama ini hanya mama yang ngerawat aku. Aku harap Tante ngerti dan ambil keputusan terbaik." Kulebarkan senyum seolah-olah ini masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan mudah.
"Pasti. Tante akan ambil keputusan terbaik. Tante harap Omar mau nerima Tante di rumah ini barang sebentar." Tangan Omar bersedekap di depan dada. Tatapannya tak seangkuh semula.
"Oke. Aku tunggu keputusan Tante."
Aku bersyukur karena Omar mau mengubah sikapnya setelah bersepakat denganku.
"Omar, ayo beli jajan!"
Omar buru-buru bangkit, melangkah penuh riang ke arah ibunya. Aku hanya menatap keduanya yang berjalan ke luar rumah beriringan dengan wajah datar.
***