11. Ups, Ketahuan!
"Mama, tadi aku udah bilang ke Tante itu suruh pergi dari rumah kita."
Ucapan Omar tentu membuat Lulu selaku ibu kandungnya terbelalak tak percaya. Mereka sedang berada di warung, tapi suara Omar terdengar menggelegar hingga menimbulkan bisik-bisik tetangga yang tengah mengobrol di dekat mereka. Lulu lekas membungkam mulut Omar, menyuruhnya diam.
"Jangan keras-keras. Ngomongnya nanti di rumah aja ya," ucap Lulu mengingatkan. Omar mengangguk dengan mata polos. Sekresek belanjaan berisi jajan dan minuman tersodor ke arahnya.
"Ini, Mba. Totalnya dua puluh ribu lima ratus," kata pemilik warung kepada Lulu. Ia menerimanya sembari tersenyum, merogoh saku celananya, dan menyerahkan selembar uang berwarna hijau beserta satu keping uang logam.
"Makasih, Bu."
"Sama-sama."
Begitu berbalik, tatapan tak mengenakkan melayang ke arahnya. Lulu merangkul bahu anaknya, berjalan melewati gerombolan ibu-ibu yang sedang mengghibahinya.
"Kamu warga baru di sini?"
Satu pertanyaan berhasil mencegat langkah Lulu dan Omar. Wanita itu menoleh, memberinya senyum terlebih dahulu.
"Bukan, Bu. Saya udah lama tinggal di sini. Dulu sempet pindah terus balik lagi ke sini."
"Pasti di tempat barumu gak nyenengin kayak di sini, kan?" Gelak tawa terdengar. Lulu hanya meresponnya dengan senyum.
"Duluan ya, Bu."
"Buru-buru amat. Sinilah ngobrol dulu sama kita biar lebih kenal." Wanita berambut keriting pendek warna pirang kembali angkat bicara. Lagi-lagi Lulu mengurungkan niatnya.
"Saya udah tinggal sepuluh tahun di sini kok belum pernah ngelihat Mba? Mbanya tinggal di perumahan nomor berapa?" tanya wanita berambut pendek lurus warna hitam. Matanya memicing curiga, memperhatikan wajah Lulu dengan seksama.
"Tinggal di perumahan nomor 12," jawab Lulu jujur.
"Dua belas? Bukannya itu rumah pak Ramdan dengan bu Nufus?"
Lulu tersenyum miris. Mungkinkah mereka melupakannya secepat ini? Nama Nufus melambung padahal wanita itu baru menetap di sini kurang lebih setahun lamanya sedangkan ia sudah ada di sini 2 tahun lebih.
"Iya bener. Mba ini siapanya bu Nufus sama pak Ramdan? Saudari?" Wanita berambut cepol warna cokelat akhirnya buka mulut. Ia sedari tadi hanya menjadi pendengar celotehan temannya.
Lulu menarik napas panjang. Sedetik kemudian, ia mendongak.
"Saya Lulu, isteri pertama mas Ramdan. Apa Ibu-Ibu sudah lupa wajah saya?"
Seketika, mereka semua bungkam dengan mata terbelalak. Lulu senang melihat reaksi mereka. Setidaknya satu masalah berhasil ia atasi. Ke depannya tinggal lihat kondisi.
Wanita berambut keriting pendek warna pirang menutup mulutnya kemudian berkata, "Bu Lulu? Bukannya Ibu dinyatakan meninggal karena kecelakaan beruntun tiga tahun silam?"
Akhirnya mereka mengingatku, batin Lulu senang. Senyum di wajahnya terus merekah.
***
Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Biasanya jam segini tukang sayur keliling sudah nangkring di tempat biasa. Totebag warna putih tulang bertuliskan 'I'm Yours' yang tergeletak di atas kulkas aku bawa serta untuk diisi sayuran.
Aku memutuskan untuk keluar rumah karena Lulu dan Omar tidak pulang-pulang. Kukira kita dapat bergantian keluar untuk jaga rumah. Apa mereka beli jajan di warung yang jauh dari rumah?
Tak ingin terus berburuk sangka, kulangkahkan kaki menuju gerobak sayur depan rumah tetanggaku. Di sana sudah ada 2 ibu-ibu yang sedang bergosip ria sembari memilih jenis sayuran yang dijual. Aku lekas menghampiri mereka seraya mengulum senyum.
"Pagi, Bu," sapaku riang dibalas senyum gelagapan dari mereka. Tidak salah lagi, mereka pasti sedang membicarakanku tadi.
"Eh, ada Bu Nufus. Pagi juga, Bu sehat?" Aku mengangguk.
"Sehat, Bu alhamdulillah."
Kuserahkan totebag ke arah penjual banci yang sudah mencolek-colek lenganku sejak tadi. Ia terus menggumamkan kalimat yang tidak bisa kudengar. Sepertinya ia ingin memberitahuku sesuatu. Apa itu hasil menguping pembicaraan pembelinya tadi?
"Nce! Sini deh ane bisikin!"
Aku berdecak kesal sembari merotasikan bola mata. Satu langkah, dua langkah, aku mendekat tanpa minat ke arah si penjual yang terlihat gemas dengan tingkahku.
"Kenapa?"
"Warga sini teh barusan ngelihat isteri pertama pak Ramdan di warung. Emang bener itu wanita hidup lagi?" tanyanya membuat mataku membulat.
Oh, jadi warga sudah pada tau jika Lulu ada di sini? Aku tersenyum miris. Baguslah. Apa itu tandanya aku harus cepat-cepat angkat kaki dari rumah tangga mereka?
Tanpa sadar aku malah bengong di samping si penjual.
Pria banci itu mencolekku lagi. "Nce! Gak apa-apa, kan?" Aku tersenyum, lalu geleng-geleng kepala.
"Gak apa-apa kok, emang aku pernah kenapa-napa, Bang?" Dia nampak tak percaya dengan ucapanku. Namun, karena melihat aku mulai memilih-milih sayur tanpa mempedulikan tatapan ibu-ibu di sebelahku, dia pun tersenyum.
"Nce kuat banget deh jadi wanita. Salut ane," gumam penjual itu yang masih bisa didengar olehku. Aku terkekeh menanggapi.
Semoga memang begitu, batinku.
"Ini berapa semua, Bang?"
"Sepuluh ribu aja, Nce. Sini ane masukin ke tas."
Kuserahkan selembar uang berwarna ungu ke arah penjual dan mengambil totebag yang tersodor padaku. Aku ingin cepat-cepat pulang agar mereka tak menanyaiku macam-macam.
"Makasih, Bang."
"Sama-sama, Nce. Semangat!"
"Bu Nufus, emang bener bu Lulu balik lagi ke sini?"
Kupejamkan kelopak mata erat. Setelah menetralkan pernapasan sembari mencari jawaban yang tepat, aku balik badan ke arah 2 wanita yang sedari tadi menggunjingku.
"Seperti yang Ibu lihat."
"Bukannya dia udah meninggal, ya? Kok bisa hidup lagi? Apa pak Ramdan tau? Jangan-jangan pak Ramdan sengaja nikahin bu Nufus waktu bu Lulu dirawat di rumah sakit. Biar gak bosen gitu. Secara 'kan bu Lulu ngilang tiga tahun," celutuk wanita berambut cepol seraya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Beneran hidup tau, Nce. Tadi aku lihat sendiri di warungnya mpok Siti, bareng anaknya, kan?" Wanita berambut keriting warna pirang turut menambahi perkataan teman ghibahnya.
"Tuh, udah punya anak lagi."
"Tapi 'kan bisa aja bu Lulunya nikah lagi, Nce." Tak mau kalah, penjual banci pun ikut-ikutan memanasiku. Aku hanya diam mendengar semua opini mereka tentang rumah tanggaku.
"Oh iya ya. Secara, pak Ramdan gak mungkin ngehamilin bu Lulu waktu kecelakaan. Waktu itu kecelakaannya serius lho sampai masuk koran. Bisa aja bayi dalam kandungan meninggal orang ibunya aja dinyatain meninggal dulu."
"Masuk tivi juga. Pernah rame dulu."
"Tapi kalau itu beneran bukan anaknya pak Ramdan, sih asli bu Lulu jahat banget. Buat apa coba muncul di rumah tangga bu Nufus sama mantan suaminya sendiri. Mau ngerusak?"
"Hush! Pak Ramdan belum pernah ceraiin bu Lulu kali. Mereka masih terikat suami-isteri yang sah di mata agama."
Aku tak tau harus menanggapi apa. Opini-opini mereka bersarang di otakku kini, membuat kepalaku pusing. Masalah satu saja belum selesai ini malah ditambah lagi. Lebih baik aku pulang sekarang daripada mendengar ocehan mereka.
"Aduh, Ibu-Ibu maaf, nih ya. Aku gak tau mana yang bener dan mana yang salah. Itu 'kan opini Ibu-Ibu. Aku sendiri masih bingung harus gimana. Tapi kalau udah takdirku ya aku harus apa?" Aku tersenyum melihat mereka bungkam meski mereka menatapku iba.
"Rumah tanggaku biar aku yang urus. Makasih perhatiannya. Aku pamit."
Aku segera melangkah menuju rumah tanpa berhenti di dekat mereka lagi. Sudah cukup hatiku panas mendengar mereka membicarakan rumah tanggaku, apalagi responnya buruk. Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika Lulu mendengar ucapan mereka tadi.
"BU NUFUS, MENDING DILEPAS AJA. CARI PRIA LAIN DARIPADA DIMADU," teriak wanita berambut cepol tanpa basa-basi. Sontak, tungkai kakiku berhenti melangkah, diam mencerna ucapannya yang selaras dengan jalan pikirku sebelumnya.
Tepat ketika aku berbalik hendak menyahut ucapannya, Lulu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri tengah menatapku dengan wajah datar. Di samping kirinya ada Omar yang menyungging senyum puas ke arahku.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa Lulu dengar semuanya?
***