17. Double Date
Keadaan mendadak canggung sejak aku dan kedua temanku duduk di kursi yang tersedia.
Hiruk pikuk manusia yang berlalu lalang di sekitarku terabaikan. Dentingan garpu dan piring terdengar bersahutan, turut memicu keramaian sebagai mana mestinya.
Kini, aku berada di cafe yang letaknya cukup jauh dari rumah Naya. Ada dua manusia berjenis kelamin laki-laki di hadapanku. Dia pacar Lami dan satunya lagi adalah Arqom, teman date Naya.
Bagaikan nyamuk aku berada di tengah-tengah mereka. Suasana yang harusnya ramai mengundang tawa berubah menjadi canggung karena kehadiranku. Seharusnya aku tidak rewel minta ikut ke Naya dan Lami. Kalau sudah seperti ini, keadaan tak bisa dikembalikan seperti semula.
Aku berdeham sekali, mengusir canggung yang membelenggu raga. Kuangkat kepala menghadap mereka.
"Aku ... balik aja kali, ya," ucapku tak enak. Begitu bangkit, Naya malah menyuruhku untuk duduk kembali. Ia memberiku sinyal yang tak kumengerti. Aku membalasnya dengan mengangkat kedua bahuku.
"Temenin gue, ngab! Jangan kabur gitu aja. Lo udah terlanjur di sini," bisik Naya tepat di depan telingaku. Aku hanya bisa menganga.
"Aku udah punya suami, Mba Nay. Mending aku duduk di meja lain aja. Ini acara kencan kalian."
"Sshtt! Keadaan udah terlanjur begindong. Lo muter otak, cari cara supaya gak canggung. Gue beneran linglung sumpah sejak pertama kali masuk cafe." Lami gantian membisikiku. Dasar temen laknat. Yang ngedate siapa yang disuruh mikir topik obrolan siapa.
"Di sini aja. Kita gak keberatan kok." Arqom angkat bicara sebab melihat raut wajahku sedikit gelisah. Kubalas dengan senyum canggung.
"Ayo dong ngomong! Diem-diem bae daritadi," ujar pria yang berstatus sebagai pacar Lami. Namanya Riyan. Aku baru mengenalnya tadi sebab Lami tak pernah mengenalkanku padanya. Lebih tepatnya, aku yang tidak ada waktu ketika Lami mengajakku pergi bareng bersama pacarnya.
Riyan menyeruput minumannya sendiri—ice americano. Minuman yang sama seperti milik Lami. Rupanya kesukaan mereka sama.
"Kerjaan gimana, beb?" tanya Lami pada pacarnya. Riyan tampak berpikir sejenak sembari memoyongkan bibirnya di atas sedotan.
"Baru juga ketemu nanyanya kerjaan. Baik-baik aja. Keuangan gue menebal buat ngelamar lo. Puas?" Lami mencibir setelahnya.
"Rencana mau ngelamar Lami kapan?" tanyaku sedikit penasaran.
"Belum tau. Lagi diusahain secepetnya biar gak ada cowok yang kegatelan sama Lami." Aku tertawa mendengarnya.
Blak-blakan sekali Riyan ini. Lewat sorot matanya, aku jadi tau jika Riyan benar-benar mencintai Lami sepenuh hati. Bahkan ia berterus terang dengan sikap cemburunya ketika ada pria yang mendekati Lami. Semoga hubungan Lami dan Riyan langgeng sampai ke jenjang pernikahan.
"Yang penting gue gak ngerespon mereka. Makasih udah cemburu," jawab Lami dengan sudut bibir terangkat. Berbunga-bunga rupanya.
"Itu, sih harus. Lo udah punya gue ngapain cari cowok lain. Buat cadangan?"
"Gue gak minat nyari cadangan kalau yang minat ke gue banyak."
"Sialan lo. Ganti topik!"
Aku geleng-geleng kepala melihat pertengkaran mereka yang sedikit ... unik. Mereka berpacaran dengan gaya yang berbeda ya ... meski dikit-dikit marahan. Tapi cepat baikan.
"Si Naya sama Arqom diem-diem bae. Lagi telepati hati apa?" sindir Riyan tak tanggung-tanggung. Berbeda denganku, Riyan sudah mengenal Naya sejak lama karena Lami mengenalkannya pada wanita itu.
Naya mendongak, merasa namanya disebut padahal ia tidak berbuat apa-apa. "Apaan dah, Yan! Bucin aja sono sama Lami, ngapain gangguin gue juga."
"Ye ... sirik ae lo. Iri bilang bos. Gengsi digedein, keburu diembat orang ntar." Naya mencibir kesal karena omongan Riyan.
"Sok iye lo."
"Emang iye. Ape lo?"
"Udah-udah. Mending kita pesen makan dulu," lerai Arqom sembari membuka menu.
Aneh. Mereka ke sini untuk double date, tapi mengapa tujuannya beda-beda?
"Lo ke sini mau makan, Qom?" tanya Riyan tak habis pikir. Arqom mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu.
"Ke cafe kalau bukan mau makan mau apa? Cuma nongkrong doang gak beli apa-apa?" balas Arqom.
Riyang mengangkat tinggi-tinggi minumannya. "Gue udah pesen minum, yah! Lo kali yang niatnya mau nongkrong doang kagak keluar duit."
"Iyain biar cepet. Ribet ngomong sama lo."
"Dia beneran Bos lo, Nay?" Naya mengangguk pelan ketika Riyan bertanya padanya. "Bos lo juga ya, Lam?" Lami mengangguk serta.
Benar-benar tak habis pikir. Cowok modelan Arqom jadi bos perusahaan besar?
"Beb, kayaknya gue mau ganti profesi jadi bos aja deh," ungkap Riyan pada Lami. Wanita itu mengernyit bingung.
"Bos perusahaan mana? Ngehalu mulu lo. Nonton apa, sih?"
"Malah dikatain. Dukung kek!"
"Ya gue tanya, lo mau jadi bos di perusahaan apa?"
"Qom, lo jadi bos di perusahaan apa tadi? Tivi?" Bukannya menjawab pertanyaan Lami, Riyan malah bertanya hal konyol kepada Arqom. Semoga pria itu memakluminya.
"Penerbitan." Riyan mangut-mangut tak jelas, lalu tersenyum ke arah Lami.
"Gue sama kayak dia," jawabnya atas pertanyaan Lami tadi.
"Kenapa kerja pake niruin orang segala? Harus punya prinsip sendiri dong! Lo 'kan cowok."
"Ya elah, Lam. Cowok modelan kek Arqom aja bisa jadi bos perusahaan. Gue yang kerjaannya jadi model lepas kenapa gak bisa kek dia? Secara, gue sama dia okean guelah. Iya, gak?" Riyan menyugarkan rambutnya ke belakang, membuat tindik di telinga kirinya terlihat. Rambutnya cukup panjang tapi malah cocok dipadu dengan stylishnya.
Lami memijat kepalanya tak habis pikir. "Dangkal banget pemikiran lo. Serah deh asal lo bahagia." Riyan mencibir kesal karena Lami tak mendukungnya. Sepertinya Lami tak percaya jika ia bisa berubah menjadi bos seperti Arqom.
"Tunggu aja, beb. Bakal gue buktiin ke lo. Kasih gue waktu tiga tahun."
"Dalam waktu tiga tahun lo udah nikahin gue belom?" Riyan mengangguk mantap.
"Ya iyalah orang gue mau ngelamar lo Minggu depan." Seketika, netranya membulat.
Sial, keceplosan!
***
"Ah ... capeknya gue."
Naya melempar tubuhnya ke kasur disusul aku dan terakhir Lami. Double date tadi benar-benar kocak. Bisa-bisanya Riyan membeberkan surprisenya sendiri di hadapan pacarnya. Lami langsung heboh seketika.
Lantas Naya dan Arqom memilih menjauh dari meja mereka untuk membicarakan hal lain. Hanya aku yang setia melihat kehebohan Lami dan Riyan. Kami pulang cukup larut diantar dengan mobil Arqom.
Sampai rumah pukul 10 malam. Gila. Aku belum pernah pulang selarut ini seumur hidup.
"Lam, lo nginep sini 'kan bareng gue sama Nufus?" tanya Naya memecah keheningan. Lami mengangguk semangat masih dengan senyum merekah. Moodnya sedang bagus.
"Mana mungkin gue pulang ke rumah selarut ini. Udah pasti dikunciin di luar."
"Lo 'kan ngekos. Gimana, sih!"
"Nunggak sebulan, bre jadi listrik segala macem diberhentiin dulu. Lupa naruh kunci kosan juga."
Aku menggeleng tak percaya. Ada gitu orang yang kehilangan kunci kos tapi malah santai-santai begini. Kalau aku ada di posisi Lami, sudah pasti malam ini bakal begadang nyari kunci. Meski paginya merasa kesal sebab benda yang kucari ternyata tergeletak di tempat yang sering kujamah.
"Dicarilah, ogeb! Besok lo pulang ke mana coba?" Naya memukul bahu Lami, berharap temannya cepat sadar dari kebahagiaannya. Nyatanya Lami malah geleng-geleng kepala, memiringkan tubuhnya sembari mendekap guling, dan bersiap meluncur ke alam mimpi.
"Cariin. Kalau engga mulai besok gue bakal tinggal di rumah lo. Titik."
Naya tersenyum masam mendengar ucapan teman laknatnya itu.
"Sialan emang." Aku tertawa.
"Yang sabar, Mba Nay."
"Lo besok balik ke rumah berarti?"
Seketika, tawaku terhenti. Berganti dengan sorot mata kosong menatap atap langit kamar Naya.
***