19 Terbongkar?
Saat ini, aku dan Ramdan sudah duduk di teras rumah untuk membicarakan masalah kemarin. Aku tak berani angkat bicara terlebih dahulu meski dalam benakku ada banyak hal yang harus kita bicarakan.
Ramdan juga sedari tadi diam. Mungkin bingung hendak mulai dari mana. Saking banyaknya masalah yang aku timbulkan sejak kedatangan Lulu ke rumah ini.
Aku bukannya menyalahkan Lulu atas hal ini apalagi anaknya. Hanya saja, aku merasa semenjak mereka datang, entah mengapa cobaan datang bertubi-tubi padaku. Iya, ini memang takdirku, tapi dalam setiap takdir ada objek yang bisa disalahkan bukan?
"Mas mau ngomong yang mana? Aku rasa masalah yang aku timbulkan ada banyak," ucapku akhirnya buka mulut. Tak tahan jika kami hanya saling mendiami satu sama lain sejak tadi. Belum lagi hari mulai sore. Ada banyak hal yang belum aku kerjakan selama pergi dari rumah ini.
Ramdan menoleh ke arahku. "Aku udah denger dari sudut pandang Omar dan Lulu. Mereka kompak nyalahin kamu karena dorong Omar ke jalan. Sekarang, aku mau denger dari kamu langsung tentang kejadian kemarin."
Mereka mengadu yang tidak-tidak? Dasar anak dan ibu sama saja. Jelas-jelas aku sudah menjelaskan keadaan kemarin kepada mereka di jalan. Tetap saja aku yang menjadi sasaran empuk kemarahan mereka dan warga sekitar. Citraku di masyarakat memburuk dalam sekejap.
"Kamu percaya aja sama mereka?" Ramdan terlihat bingung menjawab pertanyaanku. Padahal jawabannya hanya iya atau tidak.
"Jawab, Mas!"
"Aku harus denger dari kamu langsung buat ambil keputusan akhir. Coba kamu cerita dari awal."
"Kalau kamu udah denger ceritaku yang beda dari mereka, kamu bakal percaya siapa? Secara, aku udah kalah, lho dari mereka. Dua lawan satu. Mungkin jika kamu tanya ke warga yang ribut sama aku kemarin jawaban mereka sama kayak Lulu."
"Tetap aja aku harus denger dari kamu. Tolong jujur sama aku."
Aku menghela napas Panjang. "Oke, aku bakal cerita dari sudut pandangku tanpa ada kebohongan sedikit pun. Kamu bisa pegang ucapanku." Ramdan mengangguk.
"Kemarin aku pulang bareng mas Widi. Rute kami searah. Dia mau ke masjid deket rumah kita sedangkan aku pulang ke rumah. Dia—"
"Tunggu! Kamu ngapain pulang bareng Widi? Kamu ke rumah dia?" Aku menggeleng. Mas Ramdan ini kenapa mendengarkan penjelasanku setengah-setengah?
"Aku ke rumah mba Naya kemarin tapi malah ketemu mas Widi. Kamu 'kan tau mas Widi itu abangnya mba Naya. Ternyata dia diusir dari rumah jadinya nginep di rumah mba Naya. Aku malah gak ketemu sama mba Naya karena dia ada kerjaan mendadak." Ramdan mangut-mangut. Wajahnya tak semarah tadi.
"Aku di sana gak lama kok. Setelah dapet kabar dari mba Naya aku langsung pulang. Terus di jalan, aku ketemu sama Omar yang lagi manggil-manggil mamanya di seberang jalan. Aku reflek ke sana dong, takut Omar tiba-tiba nyebrang pas ada pengendara lewat." Ramdan masih diam mendengarkanku bicara.
"Aku tanya ngapain dia di pinggir jalan, katanya lagi nunggu mamanya. Aku inisiatif buat nyebrangin dia nemuin Lulu, gak taunya aku didorong dan dia ikut jatuh. Warga langsung pada dateng dan nyalahin aku. Si janda itu—"
"Kok manggilnya gitu? Kan punya nama," sela Ramdan meralat ucapanku. Aku menggeleng.
"Aku gak tau namanya, Mas tapi dia sering ngajak aku ghibah bareng ibu-ibu yang lain. Taunya dia janda. Aku lanjut ceritanya ya, Mas?"
"Oke."
"Si janda itu tiba-tiba ngungkit rumah tangga kita. Bilang aku yang salah, pelakor, disuruh ngalah sama Lulu, aku gak terima dikatain begitu. Katanya aku gak seharusnya ada di antara kalian. Aku bingung, Mas. Akhirnya amarahku lepas kendali dan adu mulut sama janda itu. Eh, berakhir jambak-jambakkan. Aku puas, sih berhasil bungkam mulut dia meski cuma sebentar. Mas Widi niatnya mau ngelerai tapi cuma ngingetin doang, gak sampai misahin. Gak lama kemudian Mas dateng deh. Aku yang lagi badmood denger Mas ngomong gitu merasa Mas ada di pihak mereka. Dukung aku buat mundur dari rumah tangga ini. Aku butuh waktu buat nenangin diri, Mas. Kemarin aku nginep di rumah mba Naya. Lami yang nyusulin aku ke taman kota. Hape aku matiin. Aku gak tau Mas nyariin aku apa engga kemarin."
Kulihat mas Ramdan hanya menunduk. Apa aku cerewet mendadak sampai-sampai ia pusing?
"Maafin, Mas. Mas yang gak becus bahagiain kamu."
Aku tertegun mendengarnya. Kenapa mas Ramdan jadi berpikir demikian? Padahal maksudku bukan begitu.
"Kok bilang gitu, Mas?"
"Mas pasti bikin kamu sakit hati akhir-akhir ini. Maafin, Mas ya? Urusan ini biar nanti kita bicarain bareng-bareng maunya gimana."
"Kenapa gak sekarang aja, Mas?"
"Lulu sama Omar lagi ke rumah ibu."
Seketika, mataku membulat sempurna. Apa katanya tadi? Ke rumah ibu? Apa mas Ramdan gak berpikir panjang sebelum mengijinkan mereka pergi?
Bagaimana jika ibu down seperti dulu?
"Kenapa Mas di rumah? Mas harusnya ikut buat jelasin semuanya. Aku takut ibu kenapa-napa kayak dulu." Lagi-lagi Ramdan menyesal dan hanya mengacak-acak rambutnya.
Heran aku. Tak habis pikir lagi dengan jalan pikir suamiku. Polosnya kebangetan.
"Kayaknya udah telat, Nu. Lulu pergi daritadi tapi sampai sekarang belum balik," ungkap Ramdan jujur. Aku menghela napas panjang.
"Mending kita susul. Mas buruan siap-siap! Aku tinggal ambil dompet aja di kamar."
Ramdan mengangguk. Kami bergegas pergi ke kamar untuk bersiap.
Semoga ibu tidak kenapa-napa.
***
"Assalaamu'alaikum."
Dalam hitungan kesepuluh, pintu utama terbuka. Tampak sosok wanita paruh baya mengenakan jilbab kecil warna maroon tersenyum tanpa tau siapa yang datang. Begitu manik mata bersirobok, wanita itu langsung memundurkan langkahnya dengan mata terbelalak.
"Kamu ...."
Lulu tersenyum lebar sembari merentangkan tangannya.
"Ini aku, Ma. Lulu, menantu Oma."
"Menantuku Lulu ...."
Junar langsung memeluk tubuh Lulu erat yang dibalas tak kalah erat. Omar setia berada di belakang tubuh ibunya sesuai perintah dari Lulu.
Setelah pelukan mereka terlepas, Junar menuntun menantu kesayangannya ke dalam. Tak lupa pintu utama ia tutup kembali. Senyumnya terus merekah tiada henti.
"Kamu kenapa baru balik? Cucu Oma mana?" tanya Junar penasaran. Tak dapat dipungkiri perasaan rindunya amat membuncah.
Dirasa waktunya tepat, Lulu menarik Omar dari belakang tubuhnya dan menghadapkannya ke arah Junar. Wanita paruh baya itu senang bukan main, bergegas memeluk cucu yang selama ini ia idam-idamkan.
"Ini cucu Oma, namanya Omar. Oma, Omar." Lulu menunjuk Junar dan Omar bergantian kemudian tersenyum. Omar pun terlihat senang dalam pelukan neneknya.
"Oma, Omar kangen sama Oma," celutuk bocah empat tahun itu. Junar mengangguk setuju.
"Oma juga kangen sama Omar."
"Oma punya ice cream. Omar mau?" Omar mengangguk cepat.
"Mau, Oma."
"Sana ke belakang temui kakek. Kakek lagi tanam ubi di sawah." Tanpa pikir panjang, Omar lekas menemui kakeknya di belakang rumah.
Sepeninggal bocah itu, Junar mempersilakan menantunya untuk duduk. Sedari tadi tangannya tak lepas menggenggam tangan Lulu. Jujur, Junar sangat merindukan menantu kesayangannya itu.
"Kamu apa kabar?" tanya Junar memulai obrolan.
"Baik. Oma apa kabar?"
"Baik juga. Kenapa baru balik sekarang? Ramdan udah nikah lagi sama wanita lain."
Lulu menarik napas panjang. Ya, dirinya memang telat datang dan kini ia menyesalinya. Andai dulu ia pulang lebih cepat, pasti Ramdan masih jadi miliknya.
"Ibu ngijinin mas Ramdan nikah lagi?" Junar mengangguk pelan.
"Waktu itu Ibu belum tau kamu masih hidup. Kamu ngabarin Ibu seminggu setelah pernikahan mereka berlangsung. Ibu udah berusaha buat nyegah Ramdan nikah lagi tapi anak ibu bandel. Ia terpikat sama Nufus sampai sekarang."
Tanpa Nufus dan Ramdan sadari, Junar sejak awal sudah tau jika Lulu masih hidup tapi baru bertemu dengannya sekarang. Selama ini mereka hanya bertukar pesan atau mengobrol via telepon. Lulu juga yang meminta Junar untuk tidak memberitahu Ramdan tentang hal ini sebelum dirinya muncul di hadapan Ramdan.
Niatnya mau bikin kejutan malah dibuat terkejut lantaran Nufuslah yang membukakan pintu. Sebenarnya Lulu sudah tau jika Ramdan menikah lagi, tapi ia melupakan fakta itu ketika pulang ke Indonesia.
Lulu berdecak kesal. "Gak heran dia jadi gak percaya sama aku." Mendengar hal itu, Junar mengernyit bingung.
"Maksudnya?"
"Kemarin Nufus dorong Omar ke jalan. Untungnya warga cepet dateng. Aku nyuruh Omar buat nungguin aku di pinggir jalan karena aku cuma ke warung depan rumah beli roti."
"Astaga. Terus Omar gimana? Gak apa-apa, kan?"
Lulu mengangguk. "Omar cuma lecet. Udah aku obatin tadi."
"Bener-bener si Nufus. Ngasih keturunan engga tapi seenaknya ngelukain cucu Oma. Awas aja kalau kejadian ini keulang lagi." Junar menggeram kesal di tempatnya.
Mereka berdua tidak sadar jika sedari tadi objek pembicaraan mereka sudah berdiri di balik tembok ruang tamu dan mendengar semuanya. Saat hendak berbalik, tubuhnya bertabrakan dengan dada bidang Ramdan, membuat pria itu berucap, "Kenapa cuma berdiri di sini, Nu?"
Baik Lulu maupun Junar kompak menoleh ke sumber suara dengan netra membulat.
***