Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 13 - 13. Omar Berulah

Chapter 13 - 13. Omar Berulah

13. Omar Berulah

"Nufus nyuruh gue ke rumah lo. Lah, lo 'kan di sini sama gue gimana ceritanya?"

Lami duduk di hadapan Naya yang baru saja meletakkan ponselnya. Kedua bahunya terangkat. Mungkin Nufus mengabari Lami ketika belum sampai di tempat Naya.

"Buruan bales chatnya Nufus! Lo 'kan fee hari ini. Keknya dia ada masalah sampai nyuruh lo ke rumah gue segala," usul Naya diangguki Lami. Wanita itu segera mengutak-atik ponsel dalam genggamannya sementara mulutnya tak berhenti menyeruput ice chocolate pesanannya.

Siang ini, mereka berada di cafe dekat kantor. Memesan minuman penghaus dahaga di jam istirahat. Naya yang mengajak Lami duluan, katanya mau curhat sebelum Arqom datang. Mereka berangkat lebih awal selepas salah satu karyawati memberitahu mereka jika jam istirahat telah tiba.

"Eh gue balik sore kayaknya deh. Rapatnya kapan, sih?" tanya Lami di sela-sela mengetik.

"Besok, kan? Mba Yolla bisanya besok sekalian ke Zumba Productions nemunin CEO-nya."

"Ngapain ke sana? Bahas kontrak naskah?" Naya mengangguk. Pandangannya mengedar.

"Iya, sih gak heran. Secara tulisan dia paling laku di platform Zua-zua. Masuk sepuluh besar terus selama 3 bulan berturut-turut. Pihak Zumba pasti gak mau nyia-nyiaiin penulis berbakat kek dia." Keduanya mengangguk setuju dengan opini Lami.

Ia meletakkan ponselnya setelah mengirim pesan pada Nufus. "Katanya lo mau curhat. Apaan?"

Naya malah cengengesan tak jelas. Pantes. Selama di kantor hatinya berbunga-bunga tak mungkin jika tiba-tiba ada masalah. Gak sinkron aja gitu. Lami sudah menduganya dari awal tapi bodohnya ia tetap menuruti permintaan Naya. Toh, bukan hal besar.

"Cuma minta temenin lo aja. Secara, kita udah jarang kumpul bareng. Kita sibuk, Nufus juga harus jadi isteri yang nurut sama kata suami, kan?" Lami mengangguk.

"Eh, gue baru tau kalau Nufus suka nulis. Gimana kalau kita ajak dia buat nulis di platform Zua-zua?" usul Lami dengan mata berapi-api. Naya menjentikkan jarinya di udara, setuju dengan pendapat Lami.

"Ide bagus. Lo 'kan balik awal hari ini. Gimana kalau lo yang bilang? Lo mampirlah ke rumah Nufus."

"Gampang ntar. Bujuk dia tinggal diiming-iming jajan." Naya terkekeh.

"Kek bocah banget, ya? Tapi kita beruntung punya temen kek dia. Gak nuntut ini itu, beda banget sama temen sekolah gue. Gak ada yang beres, brengsek semua. Mana gaya hidupnya tinggi, gak ngaca sama kemampuan." Akhirnya Naya mengeluarkan unek-uneknya secara tidak sengaja.

Lami hanya mangut-mangut. "Gue paling beruntung keknya. Dia selalu ada di saat gue butuh dan gak butuh. Temen paling pengertian. Gak salah 'kan gue ngenalin dia ke lo?"

"Hm. Lagi bener sih otak lo."

"Sembarangan!"

Dentingan bel mengalihkan atensi mereka. Keduanya kompak menoleh ke arah pintu, tempat di mana sosok pemuda yang Naya tunggu muncul dengan balutan kemeja hitam formal. Ia menyempatkan diri tuk menyugarkan rambutnya ke belakang sembari mencari di mana Naya duduk.

Lami melambai ketika tatapannya bertemu dengan manik mata Arqom. Pria itu tersenyum, membalas lambaian tangan Lami selepas mengancingkan jas kemudian menghampiri keduanya.

Entah mengapa Naya menjadi gugup didekati Arqom.

"Halo, Bos!" sapa Lami dengan candaan khasnya.

"Halo juga, Lami. Kalian ke sini bareng?" Lami mengangguk mantap, tidak seperti Naya yang tiba-tiba membeku di tempat.

Arqom mencuri pandang ke arah Naya. "Masih lama gak, Nay? Saya tunggu di meja sebelah, ya?"

Lami buru-buru angkat bicara sebelum Arqom pergi. "Saya udah selesai kok, Bos. Pamit ya. Jangan dinakalin Naya-nya!" Ia pun bangkit, mengambil ponsel dan minumannya kemudian mempersilakan Arqom untuk duduk. Pria itu mengambil alih tempat duduk Lami.

Sebelum pergi, ia menyempatkan diri menyikut lengan Naya, lalu berbisik, "Semoga kencannya lancar. Jangan lupa diajak ke acara ntar malem. Gue tunggu."

Naya merutuki mulut Lami yang seenaknya mengartikan keadaan. Raut wajahnya berubah cemberut memandang kepergian Lami yang melenggak-lenggok layaknya seorang model berjalan di red carpet.

Tarik napas ... buang.

Sabar, Nay.

"Kita mulai sekarang ya, Nay?"

Perhatian Naya berpindah ke arah Arqom yang sudah menyalakan laptop di hadapan mereka. Wanita itu mengangguk setuju.

"Oke."

***

"Ramdan apa kabar, Nu?"

Aku mendongak, menatap wajah Widi yang lebih tinggi dariku.

"Baik, Mas. Main aja ke rumah kayak biasa. Mas Ramdan kalau malem di rumah kok," balasku jujur kemudian menunduk lagi.

Seperti permintaan Widi tadi, mereka berjalan beriringan ke arah yang sama namun beda tujuan. Selama perjalanan, Widi berusaha mencairkan suasana agar tidak canggung. Ia terus memutar otaknya sebab aku tipe cewek yang kurang percaya diri membuka obrolan dengan lawan bicara, terlebih jika orang itu laki-laki.

"Kapan-kapan gue main. Lagi ada kerjaan yang harus gue urus secepatnya." Aku mengangguk paham sembari tersenyum tipis.

"Sekarang tinggal bareng mba Naya, Mas?"

"Terpaksa. Kayaknya Naya belum cerita ke lo, ya?" Dahiku mengernyit. Memangnya apa yang harus Naya ceritakan padaku? Apa aku berhak tau?

"Tentang apa ya, Mas?"

"Gue diusir dari rumah ortu. Dikasih kerjaan bejibun buat hukuman. Terpaksa gue numpang di rumah Naya sekalian nengokin kabarnya. Dia jarang banget pulang ke rumah. Telepon juga kadang gak aktif. Kalau udah kelar gue bakal balik ke rumah ortu," paparnya membuatku sedikit paham. Lagi-lagi seputar pekerjaan. Apa hanya aku dari sekian banyaknya orang di komplek ini yang tidak bekerja?

Aku juga ingin bekerja seperti mereka.

"Kerja enak gak, Mas?"

"Ada enaknya, ada engganya. Tapi banyak engganya, sih." Ia tertawa dengan jawabannya sendiri.

"Tapi kayaknya seru lho ada target yang harus dicapai. Aku malah pengin banget kerja, bosen di rumah terus apalagi kalau mas Ramdan kerja." Widi mengangguk paham.

"Gue pernah ada di posisi lo dulu setelah lulus kuliah. Nganggur hampir setahun. Tiap hari di rumah kayak orang gak punya kehidupan. Coba deh lo kerja sampingan kek jualan online atau apalah yang dikerjan di rumah. Ijin dulu ke Ramdan in syaa allah dibolehin kok."

Aku tersenyum mendengarnya. Benar juga. Kenapa dari dulu aku gak kepikiran? Ya ... meski sama-sama di rumah ujungnya tapi setidaknya aku ada pemasukan dan target yang kukejar.

"Makasih sarannya, Mas. Nanti aku coba bicarain sama mas Ramdan." Widi hanya tersenyum.

"Ma! Mama!"

Baik aku maupun Widi kompak menoleh ke sumber suara. Di pinggir jalan, ada sosok anak laki-laki memegang robot terus memanggil ibunya yang ada di seberang jalan.

Aku mengenali mereka. Anak laki-laki itu adalah Omar, dan wanita di seberang sana adalah Lulu. Tapi untuk apa mereka berkeliaran di depan rumah? Apa tidak takut jadi buah bibir tetangga?

"Aku duluan ya, Mas. Hati-hati di jalan." Aku buru-buru pergi tanpa mengijinkan Widi membalas ucapanku barusan.

"Omar!" Bukannya belok ke rumah, aku malah memanggil Omar. Jangan salahkan sikap perhatianku yang sedikit berlebihan pada anak itu. aku takut jika Omar tiba-tiba menyebrang jalan ketika ada pengendara yang hendak melintas.

Lagian, Lulu bagaimana jadi ibu! Bisa-bisanya Omar ditinggal di seberang jalan. Kenapa tidak dibawa ke sana juga? Apa sesusah itu menyebrangkan anaknya ke sana?

Omar menoleh ke arahku begitu aku sampai di dekatnya. Wajah tampannya menyirat rasa tak suka akan kehadiranku. Biarlah, aku tak peduli.

"Kamu lagi ngapain berdiri di sini? Bahaya. Ayo ikut Tante pulang!" Tanganku segera ditepis oleh Omar.

Astaga! Anak siapa, sih dia? Mengapa sifat buruknya selalu ditujukan untukku? Memangnya aku salah apa sama dia?

"Omar mau sama mama. Tante aja yang pulang sana!" balasnya cuek. Tatapannya kembali ke arah ibunya yang masih berbincang dengan pemilik warung di seberang jalan.

Aku merotasikan bola matanya kesal. "Tante cuma khawatir, salah? Ya udah Tante bantu sebrangin biar Omar di samping mama, gimana?"

BRUK!

"NUFUS!"

***