Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 15 - 15. Penyesalan Lami

Chapter 15 - 15. Penyesalan Lami

15. Penyesalan Lami

"Lulu, tadi itu ada apa? Kok Nufus sampai marah-marah?"

Pulang-pulang bukannya istirahat malah menanyai Lulu perihal amukan Nufus tadi. Senyum di wajahnya mendadak pudar.

Padahal ia bersiap menyambut kedatangan suaminya dengan pelukan hangat. Mengingat pelukan terakhir mereka sudah sangat lama, Lulu mengira Ramdan menginginkannya seperti dulu lagi.

Akhirnya ia berdiri, menyambut kedatangan suaminya dengan wajah masam. Berbeda dengan Omar yang aktif meloncat ke pelukan ayahnya.

"Ayah! Omar kangen. Ayo beli ice cream!"

Ramdan terkekeh. Ia berjongkok untuk menyamai tinggi anaknya kemudian memeluk Omar. Anak laki-laki itu senang bukan main dipeluk ayahnya.

"Nanti ya, Mar. Ada yang harus Ayah bicarain sama Mama. Omar main sendiri dulu gak apa-apa?"

Selepas pelukan mereka terlepas, Omar mengangguk. Ia akan mematuhi perintah kedua orang tuanya tanpa banyak membantah. Lulu mengajarinya begitu sejak kecil. Omar bergegas pergi ke kamarnya membawa beberapa mainan. Tak lupa ia menutup pintu agar orang tuanya leluasa berbincang.

Ia paham. Ini permbicaraan orang dewasa yang tidak seharusnya ia dengar.

"Ada apa?" tanya Lulu to the point. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

"Kita bicara di kamar."

Ramdan menarik tangan Lulu untuk ikut dengannya ke kamar utama.

***

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaaikumussalam."

Widi membukakan pintu untuk tamu Ramdan. Betapa terkejutnya ia melihat Lami datang membawa dua kresek makanan lengkap dengan senyum merekah. Seketika, mereka sama-sama menganga dalam diam.

"Mas Widi? Sejak kapan Mas boyongan ke sini?"

Widi tampak menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dibukanya pintu lebar-lebar untuk Lami seorang.

"Masuk dulu. Lo pasti mau nyari Nufus. Dia gak di rumah." Lami mengernyit bingung.

"Kok bisa gak ada di rumah? Apa masih di rumah Naya, ya?" Ia berusaha mengingat sembari mencari kontak Nufus di ponselnya. Tak ada niatan untuk masuk sebentar padahal Widi sudah menawarkannya.

"Gue ke sini bareng dia. Tadi sempet ribut sama ibu-ibu. Gak tau ke mana tuh anak. Mau gue kejar tapi ada suaminya," jelas Widi membuat gerakan jari Lami terhenti. Kepalanya mendongak.

"Berarti mas Ramdan udah nyusulin? Syukur deh kalau gitu. Gue khawatir sumpah." Baru saja Lami bernapas lega, gelengan singkat ia dapati dari Widi. Perasaannya kian resah.

"Ramdan gak nyusulin dia. Mending lo cari dia sekarang. Gue gak ada hak buat nyusulin Nufus. Lo 'kan temen deketnya. Hibur dia, kayaknya lagi ada masalah besar."

Tanpa pikir panjang, Lami menyerahkan kresek belanjaannya ke arah Widi. Bersiap untuk lari.

"Titip makanannya Nufus ya, Mas! Bawain ke rumah Naya. Ntar malem Naya balik. Gue bakal bawa Nufus ke sana." Widi mengangguk paham. Sedetik kemudian, tubuh Lami menghilang dari hadapannya.

"Buset, cepet amat tuh anak." Widi menatap isi belanjaan Lami, lalu tersenyum.

"Lumayan buat ganjel lapar gue. Mending balik deh. Kayaknya Ramdan bakal lama di dalem. Ngapain juga gue nunggu di sini." Selepas mengedikkan kedua bahunya, ia keluar dari rumah Ramdan. Tak lupa menutup pintunya kembali tanpa menimbulkan suara dan bergegas pergi ke tempat tujannya tadi.

Sedangkan di sisi lain, Lami terus menghubungi Nufus tanpa henti. Nomornya aktif tapi Nufus tidak menjawab panggilannya. Suara mba-mba operator di seberang sana membuatnya kesal bukan main.

Hey! Pulsa miliknya baru diisi kemarin, yah! Mana mungkin habis dalam sekejap. Buat telepon juga engga.

Lami tak bisa berpikir jenih. Di saat dirinya susah, Nufus selalu mengulurkan tangan untuknya terlebih dahulu. Tapi kini? Lami merasa tak berguna menjadi temannya. Bahkan ia tidak tau jika Nufus ada masalah, memilih mengabaikannya ketika ia minta curhat. Astaga! Ia sudah dibutakan oleh pekerjaannya sendiri.

Taksi ia berhentikan. Lami bergegas masuk, menyuruh sopir untuk pergi ke beberapa tempat yang sering ia datangi dulu bersama Nufus.

Ya Allah, Nu. Maafin gue gak ada di saat lo butuh, batinnya menyesal.

***

Aku menyenderkan punggung ke sisi tembok yang sudah mengelupas catnya. Sudah dua jam lamanya aku duduk termenung seorang diri di bawah jembatan. Desingan mesin kendaraan beroda empat yang berlalu lalang di atasku tak membuatku terganggu. Malahan aku suka karena dengan begitu, aku tak merasa kesepian di dunia yang seluas ini.

Keadaan di sekitarku cukup bersih. Hamparan rumput kering dipijaki beberapa pejalan kaki. Aku berada di penghujung terowongan. Ketika masuk ke dalam sana, aku akan menjumpai para pengemis yang tak punya tempat tinggal. Hatiku tercubit acap kali melihat mereka. Hidup serba kekurangan tapi jarang mengeluh.

Beda sekali denganku. Tiap ada masalah, aku memilih untuk kabur atau menghindar. Aku tipikal cewek yang tidak bisa menyelesaikan masalah secara langsung. Harus diundur barang beberapa jam atau hari sampai keadaan hatiku membaik. Jika dipaksa, yang ada aku merasa tertekan dan masalah kian rumit.

Aku harus bagaimana?

Harusnya aku ke masjid. Berkeluh kesah terhadap Sang Pencipta langit dan bumi. Tapi yang kulakukan malah diam termenung di sini.

Aku malu, Ya Allah. Datang di saat butuh sandaran. Menangis dalam keadaan sujud selama sejam. Aku selalu melepas penatku kepada-Mu tapi ketika sedang merasa bahagia, aku melupakan keberadaan-Mu sejenak.

Maafkan aku.

"Nufus! Ya Allah, kenapa lo duduk di sini, sih? Harusnya lo telepon gue kalau ada masalah. Gue khawatir sama lo."

Omelan yang selalu kurindukan akhirnya terdengar. Kepalaku mendongak. Tatapan sayu yang terpancar dari mataku membuat Lami bergegas memelukku. Aku menangis dalam dekapannya. Sungguh wanita rapuh.

"Aku harus gimana, Lam? Aku bingung. Setiap aku ingin menyelesaikan masalah ujung-ujungnya malah kabur. Aku memang pengrusak, Lam," celotehku tak tentu arah. Lami menggeleng tak setuju.

"Lo orang baik, Nu. Sabar. Ini ujian yang harus lo hadapi. Gue yakin lo bisa. Bahkan lo bisa ngatasin masalah yang lebih besar dari ini." Ia melepas pelukan kami, menatapku lekat. Lekukan bibirku menurun.

"Aku harus apa?"

"Sekarang lebih baik kita pulang. Lo ceritain semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi ke gue. Naya balik malam ini. Pokoknya lo harus balik ke sifat lo dulu." Lami membantuku bangkit. Kakiku lemas dan juga kebas. Tak heran aku menepuh setengah jam lamanya untuk sampai di sini tanpa mengendarai apapun.

"Ayo! Gue yakin lo bisa. Semangat, Nufus!"

Aku tertawa bebas. Ah, jadi begini rasanya jika ada orang yang mendukungku meski hanya seorang?

Dalam hati aku berucap, "Terima kasih, Tuhan telah mengirimkan malaikat yang menjadi pelipur laraku."

"Gue bawa makanan banyak tadi tapi gue titipin ke mas Widi. Menurut lo, dia bakal makan makanan gue engga?" tanya Lami berusaha menghiburku. Tangan kirinya merangkul erat bahuku, tak membiarkanku lepas barang sejenak. Aku tersenyum.

"Mungkin. Kamu bawa berapa banyak? Kayaknya mas Widi gak bakal ngabisin semua." Lami mengangguk setuju.

"Btw, kamu tau aku ada di sini dari siapa?"

"Tadi gue ke rumah lo, eh yang bukain pintu malah Widi. Dia yang ngasih tau gue kalau lo sempet ribut sama ibu-ibu tadi. Sayang banget gue nonton pertengkaran lo tadi. Kalau gue di sana, gue bakal semangatin lo, asli." Kami tertawa mendengar celutukan Lami.

"Bisa aja kamu."

"Bisa dong. Apa, sih yang engga buat lo." Lami mencolek daguku, membuatku tersentak.

"LAMI!"

"Canda, sayang."

Segera kususul Lami yang berlari menghindariku. Andai orang-orang tahu bahagia sesederhana ini, mungkin seisi dunia akan bahagia dan melupakan apa yang menjadi target mereka di dunia ini.

***