16. Curhatan Seorang Isteri
Malamnya, Ramdan dibuat khawatir. Pasalnya, Nufus tak memberitahunya hendak menginap di rumah siapa dan malah menyuruhnya untuk tidak menunggu kepulangannya. Tidak bisakah memberinya kabar? Setidaknya perasaan Ramdan tak terlalu gelisah seperti sekarang.
Berulang kali netranya melirik ponsel berlayar hitam. Dihubungi tidak aktif, dichat hanya ceklis satu. Ramdan benar-benar tak habis pikir.
Maumu apa, sih, Nu? batinnya frustrasi. Ia mengacak rambutnya kasar.
"Ayah! Ayah! Ayo main sama Omar."
Teriakan nyaring dari mulut anaknya kian terdengar. Ramdan heran. Sejak kepergian Nufus dari rumah, Omar tiada henti mengalihkan pikirannya agar tidak memikirkan isterinya. Hal bagus sebenarnya tapi entah mengapa hati Ramdan berkata lain. Ada udang di balik batu.
Astaghfirullah .... Gak boleh suudzon sama anak sendiri, pikir Ramdan mengingatkan diri sendiri.
"Eh, ada kesayangan Ayah."
Kemudian ia berbalik. Mereka berpelukan dengan wajah bahagia. Ramdan tak segan-segan memutar tubuh anaknya di udara hingga Omar berteriak senang.
"Lagi, Yah! Lagi!"
"Lagi? Oke."
Ramdan memutar tubuhnya sekali lagi, lalu menurunkan Omar dari gendongannya. Deru napas mereka terdengar saling bersahut-sahutan di udara.
Omar menatap Ramdan dengan mata berbinar. "Masuk yuk, Yah! Mama nyuruh Omar manggil Ayah buat masuk. Di luar dingin,bentar lagi hujan," ucapnya mengingatkan. Sontak, tatapan Ramdan langsung beralih ke atap langit.
Mendung. Gelagar petir samar-samar terdengar. Agaknya Nufus tidak berniat mengabarinya hingga selarut ini. Ramdan menarik napas panjang.
Semoga kamu baik-baik aja, Nu.
Pria itu tersenyum. "Ini Ayah juga mau masuk."
Lantas, keduanya melenggang masuk ke dalam rumah sembari bergandeng tangan.
***
"SERIUS?!"
Aku mengangguk dengan wajah polos. Kuraih satu bungkus kripik milik Lami yang sudah dibuka. Sayang kalau dibiarin. Bisa-bisa kripiknya amlem jika tidak cepat dimakan.
Di depanku, beragam bungkus jajanan ringan bertebaran di mana-mana. Biarlah asisten rumah tangga Lami yang membersihkannya. Aku hanya membuang beberapa pun karena aku pergi ke dapur. Tempat sampahnya di sana.
Lami dan Naya mengisi kedua sisiku. Mereka sama-sama memakan cemilan yang kuambil. Aku heran. Bisa-bisanya itu tangan masih aktif mengambil keripik padahal mata dan otak mereka berada di tempat lain. Canda. Lagi mikirin hal lain maksudku.
Naya tampak mengangguk-anggukan kepalanya. "Menurut gue lo gak salah, Nu. Salahin aja Lulu yang seenak jidat balik dan ngehancurin rumah tangga lo. Apalagi anaknya tuh ih ... pen tak colok matanya kalau ketemu," ucapnya menggebu-gebu. Aku terkekeh mendengarnya.
"Tapi 'kan dia isterinya mas Ramdan juga, isteri pertama malah."
"Justru itu. Senior harusnya bisa bimbing junior, bukannya ngelindas kek gini. Mana ngandelin anaknya lagi 'kan seglek tuh otak. Gak paham lagi gue sama jalan pikir mereka," sahut Lami di sisi kiriku. Kepalaku terantuk-antuk di udara.
"Bener juga, sih. Eh, masa dalam pernikahan ada senior sama junior juga. Kamu pikir ini jabatan?" Kami tergelak mendengar celutukanku sendiri.
"Ngakak asli. Ibaratnya gitulah, ya. Dipahami sendiri deh."
"Iya-iya."
"Btw, lo kok jadi cewek kuat bener mentalnya, Nu? Salut gue sama lo," kata Naya, lalu meraih segelas boba di sampingnya. Tak lupa ia menyodorkan dua gelas boba lainnya untukku dan untuk Lami.
Aku meminum minuman boba sambil mangut-mangut. "Mentalku udah breakdown, Mba Nay. Gak usah ditanya lagi. Hatiku juga udah runtuh. Aku sampai jaga jarak sama suami sendiri."
"Tapi bagus deh kalau lo gerak cepat. Mungkin jauhin mas Ramdan sebentar adalah keputusan terbaik. Biarin dia kelunta-lunta nyariin lo di luar sana, itupun kalau dia beneran nyari lo bukan malah seneng-seneng sama isteri dan anaknya seolah-olah lo gak pernah hadir di hidupnya."
Pasokan oksigen dalam dadaku kian menipis. Kuhirup napas dalam-dalam guna mengalihkan rasa sedihku. Masa iya aku harus menangis di hadapan mereka lagi. Malu aku.
Seulas senyum kuberikan untuk mereka. "Aku gak masalahin hal itu. Rasaku untuk mas Ramdan sedikit memudar. Mungkin aku bakal nurutin perkataan Omar."
"Omar? Anaknya Lulu?" tebak Lami tepat sasaran. Aku mengangguk.
"Emang dia ngomong apa ke lo? Gila, berani bener masih bocil padahal." Naya mengangguk setuju dengan ucapan Lami.
"Dia nyuruh aku buat sadar posisiku sekarang. Dia juga nyuruh aku buat mundur dari kehidupan mereka. Sebenernya ini keputusan berat buat aku. Aku berumah tangga bukan hanya sebulan-dua bulan, tapi udah setahun lebih. Rasa cintaku ke mas Ramdan juga semakin besar. Setelah aku berjuang mati-matian buat jatuh cinta ke cowok, apa akhirnya aku harus melepaskannya lagi seperti dulu?"
Lami mengelus bahuku sejenak. Pasti mereka berdua menaruh iba padaku. Ah, aku tak suka. Tapi mau bagaimanapun juga itu hak mereka. Aku tidak bisa melarangnya.
"Gue selalu dukung keputusan lo," ujar Lami bersungguh-sungguh. Naya menganggukinya.
"Seenggaknya lo bisa kejar cita-cita jika beneran cerai sama Ramdan. Selama ini 'kan lo pengin kuliah. Mungkin mas Ramdan bukan orang yang tepat buat bahagiain lo selamanya. Tuhan masih nyiapin kebahagiaan yang jauh lebih besar di tempat lain dan bersama orang lain."
"Lo bisa sholat malam buat minta jawaban atas keresahan lo, Nu. Apapun keputusan lo, gue sama Lami bakal dukung lo sepenuhnya. Karena kita temen until jannah."
Naya dan Lami kompak merangkulku sembari tersenyum. Hatiku lega berkat solusi dari mereka. Sembari membalas rangkulan mereka tak kalah erat, aku membatin, semoga apa yang kuambil berdampak baik bagi kedua belah pihak.
"Enak bener pelukan gak bilang-bilang. Mau dipeluk juga."
Suara berat dari arah pintu membuat mata Naya mendelik tajam ke arahnya. Tak tanggung-tanggung, wanita itu melempari kakaknya dengan bantal dan berhasil ditepis oleh Widi dengan mudah. Pria itu tertawa sembari berjalan mendekati kami.
"Gimana, Nu? Udah mendingan?" tanyanya padaku. Aku mengangguk pelan.
"Alhamdulillah tercerahkan."
"Ngapain lo di sini? Makanan udah lo palak. Gak lihat apa Nufus kelaperan gara-gara ayam bakarnya lo ambil?" omel Naya galak. Widi mencibir.
"Ya elah cuma ayam bakar doang kenapa lo ungkit-ungkit segala? Lagian Lami juga ikhlas ngasihnya. Iya gak, Lam?" Widi meminta dukungan kepada Lami. Sayangnya gadis itu malah mengabaikannya.
"Terpaksa. Gimana gak ikhlas orang tuh ayam udah pindah kandang ke perut lo," jawabnya bersungut-sungut. Aku tertawa mendengarnya.
"Aku udah kenyang kok." Ucapanku sontak membuat senyum Widi kembali mengembang. Ia menunjuk wajah Naya berulang kali membuat wanita itu kesal. Lantas mereka berlarian keluar kamar untuk saling memukul satu sama lain.
Aku menoleh ke arah Lami. Ternyata wanita itu sudah menyalakan televisi diam-diam. Asik sekali memakan cemilan sembari duduk santai seperti ini. Rasanya aku seperti tidak sedang membawa beban berat di bahuku. Pikiran kosong dan hati lega. Jarang sekali aku merasa seperti ini dalam hidupku.
"LAMI! BUKANNYA LO ADA JADWAL DOUBLE DATE MALAM INI?"
Suara Naya menggelegar, mengagetkanku dan juga Lami yang sedang memakan cemilan. Lami tersedak, buru-buru meminum minumannya sembari memukul dada. Sedangkan aku mengernyit bingung menatap keduanya.
Double date?
"Astaga gue lupa woy!" Lami bergegas bangkit dan mengecek jam dinding. "Jam 8. Mampus telat setengah jam. Hape mana hape?"
Kuserahkan ponsel biru milik Lami yang sedari tadi didiamkan di atas nakas. Bukan hanya punya Lami, punyaku dan punya Naya juga dinonatifkan. Sengaja biar kita punya waktu luang bersama lebih banyak. Toh, kapan lagi kumpul-kumpul bareng teman tanpa ada gangguang dari setan gepeng?
"Gila cowok gue udah nelpon beberapa kali tapi gue silent tuh hape. Buruan siap-siap, Nay! Kita udah ditunggu mereka berdua," ucap Lami kemudian melempar ponselnya ke arahku. Untung berhasil kutangkap, coba kalau tidak.
Naya segera menutup pintu kamar. Kedua wanita itu kompak mengeluarkan baju Naya dari dalam lemari kemudian memilihnya. Aku diabaikan begitu saja? Benar-benar sesuatu temanku ini.
"Aku ditinggal di sini gitu?"
Ucapanku sontak membuat pikiran mereka kembali ke dunia nyata. Keduanya bersitatap cukup lama sebelum menyungging senyum misterius ke arahku.
"Lo mau ikut?"
***