14. Ribut Dengan Tetangga
Widi terlihat bimbang hendak membantuku berdiri atau tidak. Akhirnya aku berdiri seorang diri ketika beberapa ibu yang melintas mulai mengerubungi kami. Bukan, lebih tepatnya Omar karena anak laki-laki itu jatuh terjungkal karena ulahnya sendiri
.
Sorot mata menghakimi terarah padaku. Apa-apaan ini! Padahal aku tidak mendorongnya. Apakah selama ada orang dewasa, anak kecil tak patut disalahkan?
"Bu Nufus gimana, sih! Ponakan sendiri jangan didorong atuh. Kalau gak mau ya sudah, jangan dipaksa," omel salah satu warga yang tidak kukenal. Enak sekali dia bicara tanpa bukti.
"Aku gak maksa ya, Bu. Jelas-jelas Omar yang dorong aku padahal aku Cuma mau bantu dia nyebrang. Daritadi manggilin mamanya terus di warung depan."
Aku menunjuk arah di mana Lulu berada. Anehnya, wanita itu sudah tak ada di sana, melainkan di sampingku. Memberi tatapan membunuh padahal ia sendiri tau jika anaknyalah yang mendorongku ke jalan. Untung tidak ada pengendara yang melintas.
Apa Omar berniat menyelakaiku saking tidak sukanya padaku?
"Mbok ya sama anak kecil ngalah, Bu. Udah berumah tangga tapi pikiran masih kayak anak kecil. Untung dia gak kenapa-napa. Mana ibunya?"
"Saya, Bu. Maaf ngrepotin."
Lulu bergegas membantu Omar membersihkan pakaiannya. Tampak lututnya terluka karena ulahnya sendiri. Meski hanya lecet kecil, wajah mungilnya berhasil membuat warga sekitar iba. Mereka balik menghakimiku tanpa mau mendengarkan penjelasanku.
"Lain kali anaknya dijaga baik-baik ya, Bu biar kejadian tadi gak keulang lagi." Lulu mengangguk tanpa melirik ke arahku.
"Pasti, Bu. Omar kesayangan Mama, kamu gak apa-apa, kan?"
"Gak apa-apa, Mama. Cuma lecet dikit lututnya."
Padahal tanganku juga lecet sebab didorong Omar tadi. tapi tidak ada yang mempedulikanku.
"Nanti Mama obatin di rumah. Maafin Mama ya tadi ninggalin Omar di sini sendirian. Janji Mama tadi beliin Omar jajan 'kan kalau gak ikut?" Omar mengangguk dengan mata berbinar.
"Omar anak baik 'kan, Ma? Gak nyebrang dan nurut sama perintah Mama?" Lulu mengangguk setuju.
"Omar anak kebanggaan Mama pasti gak bakal kecewain Mama. Mama seneng Omar nurut sama perkataan Mama."
"Berarti Bu Nufus yang salah. Pake nyalahin anak kecil segala. Untung Mamanya baik," cibir salah satu tetangga yang berbicara denganku tadi.
Jleb.
Hatiku mencelos seketika.
"Emang. Anak kecil 'kan jiwanya masih suci. Belum ada dosa. Tiap ucapan yang keluar pasti bener, gak mungkin boong. Anakku juga dulu selalu jujur dan nurut sama perintah mamanya."
"Sudah ya, Bu. Saya sama anak saya pamit pulang dulu. Makasih udah nolongin anak saya," ucap Lulu seraya berlalu.
Ia sempat melirikku sebentar tanpa berniat meminta maaf padaku. Sudahlah, mungkin di sini aku yang salah. Kulihat Widi setia berdiri di belakangku seraya menatapku iba. Hanya pria itu yang peduli padaku.
"Yuk pulang, Nce! Males lihat pelakor."
Apa katanya tadi? Pelakor? Maksudnya aku?
"Maksud Ibu apa ngomong gitu ke aku?"
Semua asik menggunjing perilakuku bahkan menambah-nambahi adegan yang sama sekali tidak aku lakukan.
Hellow! Aku masih di sini, ya! Tidakkah mereka berniat menggunjingkanku nanti jika aku tidak pergi? Sengaja bikin mentalku down apa gimana?
Amarah tak bisa kubendung lagi. Aku tidak bersalah. Terserah mereka mau anggap aku bagaimana. Intinya aku tidak bersalah atas kejadian ini.
Lebih baik aku langsung meluruskannya sebelum berita hoax lainnya tentangku menyebar luas ke mana-mana. Wanita berambut cepol maju selangkah dengan tangan bersedekap.
"Bu Nufus tersinggung? Bagus deh. Bukannya lebih baik ngomong di depan orangnya langsung?" ujarnya membuat mataku berembun. Sial! Aku tidak boleh menangis sekarang.
"Tau darimana aku pelakor? Aku isteri sah mas Ramdan ya, Bu kalau Ibu lupa."
"Seketika saya lupa kalau kamu isteri sahnya mas Ramdan. Secara, isteri pertamanya kan udah balik. Punya anak lagi. Harusnya Bu Nufus paham posisi dong. Jadi orang ketiga kok bangga. Mending cerai kalau saya mah."
Gigiku gemeletuk dengan napas memburu. Siapa yang berani menyebar berita bohong ini? Tak cukupkah mereka mencampuri urusan rumah tanggaku?
"Nu, udah." Kulihat Widi hendak melerai kami sebelum terjadi aksi saling menjambak namun kuabaikan.
Biar kuperjelas sekarang!
"Yang bilang aku orang ketiga siapa? Emang aku sejahat itu? Laki-laki masih banyak di dunia, Bu. Aku juga bisa cari laki-laki lain selain mas Ramdan tapi aku masih ingin mempertahankan rumah tanggaku. Salah? Pernikahan bukan main-main, lho. Emangnya aku wanita yang suka kawin-cerai kayak hewan?"
Skakmat.
Giliran janda di depanku yang terbakar amarah. Salah siapa mencampuri urusan rumah tanggaku. Benar-benar tetangga tidak sopan. Kurang ajar!
"Heh! Jadi cewek gak usah belagu deh. Kalau tau laki-laki di dunia ini banyak, harusnya Bu Nufus sadar diri. Ngalah sama bu Lulu dan anaknya yang masih butuh perhatian ayahnya. Bu Nufus 'kan masih muda, belum punya anak lagi. Gebet laki-laki lain dong. Eh, lupa. Bu Nufus 'kan mandul, yah. Ya udah jadi simpanan duda aja yang banyak duitnya."
SRET!
"Jaga ucapan Ibu!"
"Nufus udah!"
"Diam kamu, Mas! Ini urusanku sama janda ini. Biar kukasih pelajaran agar mulutnya gak asal nyerocos sembarangan."
"NUFUS!"
Teriakan penuh amarah dari arah seberang berhasil menghentikan aksi gilaku menjambak rambut janda ini. Sial. Kenapa mas Ramdan harus pulang di saat keadaanku kacau begini?
"Lepasin sekarang!"
"Aku perlu ngasih pelajaran Mas biar dia gak seenaknya fitnah aku!" Aku mencengkeram rambut janda di hadapanku hingga pekikan nyaring terdengar. Hal itu membuat para warga terutama ibu-ibu berkumpul melihat aksi gilaku.
Ramdan mendekatiku, berusaha melerai kami berdua namun tak kunjung kulepas. Aku masih dendam sama dia. Enak saja main dilepas. Harga diriku sudah diinjak-injak sama dia, apalagi kita jadi tontonan sekarang. Kenapa gak sekalian dituntasin?
"Nufus! Mas bilang lepas ya lepas!"
Kutarik tanganku setelah mas Ramdan mencakar tanganku. Apa-apaan suamiku ini. Harusnya dia minta penjelasan padaku sebelum mengambil tindakan. Lihatlah! Janda yang bertarung denganku kini lari terbirit-birit bersama rekannya.
Aku menarik napas panjang. Sabar, Nu sabar ....
"Kamu apa-apaan, sih, Nu! Malu lho dilihat orang. Ngapain ribut sama tetangga sendiri sampai jambak-jambakan kayak tadi, sih?"
Sekarang tinggal mas Ramdan yang memarahiku? Tuhan, mengapa tidak ada yang percaya denganku kini?
"Mas, aku jambak dia ada alasannya kali. Dia duluan yang fitnah aku. Aku gak terima dong apalagi bawa-bawa rumah tangga kita," balasku dengan napas menggebu. Aku segera membuang muka ketika Ramdan memberiku tatapan teduh seperti biasa.
Gak mempan!
"Kan bisa diselesaiin secara kekeluargaan. Ini kalau dibawa ke hukum masalahnya jadi panjang, lho."
"Lebay banget sampai dibawa ke hukum segala. Tuhan bakal balas lebih pedih dari ini. Gak terima aku dikata-katain sama dia. Dikira aku wanita penyabar apa. Kesabaranku juga ada batasnya. Aku orangnya emosional, Mas tau itu."
"Mas tau, tapi kamu pikir dong dampaknya kayak gimana. Nguntungin kamu gak? Engga, kan? Kamu malah capek lahir batin, emosimu terkuras habis. Mas cuma gak mau kamu sampai kenapa-napa."
"Manusia hidup itu banyak tantangannya. Semakin dibiarkan, mereka bakal ngelunjak. Aku udah ketemu tipe-tipe orang kayak dia. Walau lebih tua dari aku, aku bakal tetep sopan kok."
"Lebih baik kita masuk. Kita selesaiin di dalam. Mas gak bisa kerja kalau kamu kayak gini, Nu."
Aku berdecih, melirik sinis ke arah suamiku.
"Mas masih bisa kerja tanpa mempedulikanku. Aku mau sendiri. Malam ini aku nginep di rumah temen. Mas gak usah nyari aku. Masih ada Lulu yang bakal nyiapin kebutuhanmu. Tenang aja, kamu gak bakal kekurangan perhatian dari seorang isteri, Mas. Aku permisi."
Segera kulangkahkan kaki menjauh dari rumahku. Bertepatan dengan itu, para warga yang tadi menonton pertunjukanku mulai membubarkan diri. Ramdan tak menyusulku meski tau aku membutuhkannya. Ia hanya memanggilku beberapa kali, lalu menyerah dan masuk ke rumah bersama Widi.
Ya Tuhan, aku sampai melupakan keberadaan Widi yang berada di belakangku sejak tadi.
***