12. Jadi Bahan Ghibah
Sudah setengah jam lamanya kami saling mendiami padahal duduk bersama di satu ruangan. Lulu lebih memilih menemani anaknya bermain robot sesekali tawa mereka terdengar. Aku sendiri sedang menulis novel di laptop ditemani headseat yang mengalunkan sholawat penyejuk hati. Di saat-saat gundah seperti ini, aku paling suka mendengarkan sholawat ketimbang musik seperti hari-hari biasa.
Ini dokumen ketiga yang berhasil aku selesaikan. Masing-masing berjumlah 1200 kata. Karena bingung hendak beraktivitas apa, lebih baik aku menyibukkan diri dengan menulis bukan? Hitung-hitung buat nyari tambahan uang.
Aku bukannya boros sehingga butuh uang lebih. Sejak duduk di bangku kelas 3 SMA, Lami mengajakku untuk ke perpustakaan kota. Baca novel gratis katanya. Saat itu aku hanya menemaninya saja tapi lambat laun akhirnya tertular virus kutu buku Lami. Aku jadi suka novel dan mengubah cita-citaku yang semula perawat menjadi penulis.
Karena menikah di usia muda, aku tak bisa berkuliah seperti teman-temanku yang lain. Impianku menikmati suasana kampus harus pupus demi menggenapi separuh ibadahku. Meski begitu, mereka tetap mendukungku untuk berkuliah walau sudah bersuami. Aku masih mempertimbangkannya sebab kuliah membutuhkan biaya yang cukup mahal, kecuali ambil jalur beasiswa.
Dipikiranku, ketika aku berkuliah, siapa yang akan mengurus kebutuhan rumah tangganya? Aku pasti lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temanku ketimbang Ramdan. Hal inilah yang membuatku harus mengubur dalam-dalam impianku menjadi seorang perawat.
BRAK!
Aku tersentak dari lamunanku. Mainan robot milik Omar terlempar ke arahku. Saat kepalaku mendongak, tatapan mereka menghunus kepadaku. Mungkin aku yang berlebihan mengartikan tatapan mereka. Secepat mungkin kupungut robot mainan milik Omar untuk diberikan kepada sang pemilik.
"Makasih," ucap Omar, lalu kembali melanjutkan acara mainnya, begitupun Lulu. Mereka larut dalam dunia masing-masing sementara aku terabaikan lagi.
Aku menghela napas panjang. Daripada makan hati terus di rumah, segera kuberesi laptop beserta cas-an ke dalam tas. Ponsel yang sedari tadi kudiamkan akhirnya tersentuh juga. Begitu data dinyalakan, ratusan pesan dari grup memenuhi ruang ponselku. Untung tidak nge-hank.
Telunjukku menscroll layar handphone, mencari nama Ramdan di antara ratusan kontak. Setelah ketemu, segera kuketik pesan untuknya.
[Mas, aku main ke rumah mba Naya ya.]
"Mau ke mana?"
Akhirnya Lulu angkat bicara. Aku menoleh masih dengan memegang ponselku, menatap ke arahnya.
"Ke rumah temen. Aku mau ijin ke mas Ramdan. Kamu gak apa-apa di rumah berdua sama Omar?"
Sebenarnya tidak enak memanggil Lulu tanpa embel-embel 'Mba.' Aku menduga jika wanita itu umurnya terpaut beberapa tahun di atasku. Ingin mengganti panggilan takut gak dibolehin. Semoga Lulu gak tersinggung.
Lulu tampak mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh, ya udah. Aku sama Omar jaga rumah sambil nunggu mas Ramdan pulang." Aku turut mengangguk.
"Maaf ya, Mba. Kerjaan udah beres kok, tinggal masak doang ntar sore kalau mas Ramdan pulang." Seulas senyum canggung kutampilkan.
"Tau. Aku juga biasanya gitu dulu. Kamu tenang aja."
Jleb.
Iya juga. Ngapain aku jelasin panjang lebar tadi? Malu-maluin aja, batinku merutuki tindakan barusan.
TING!
[Iya, Dek hati-hati. Pulangnya jangan kesorean. Sebelum Mas pulang kamu udah harus di rumah, lho.]
Aku tersenyum membaca pesan dari suamiku. Segera kubalas pesannya dengan cepat.
[Iya, Mas.]
"Mas Ramdan udah ngasih ijin. Aku pamit ya, Lu. Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaaikumussalam," jawab mereka bebarengan.
Tanpa memastikan diriku pergi dari hadapan mereka, keduanya kembali larut dalam dunia yang sudah mereka bangun. Sejak awal, mereka tampak tak menyukaiku. Lulu kelihatannya terpaksa berbincang, berbagi, dan beramah tamah padaku sebab ada Ramdan di antara kita. Jika tidak ada, sikapnya seperti ini, sama seperti pertama kalinya ia menginjakkan kaki di rumah kami kemarin.
Memilih tuk mengabaikannya, aku pergi ke kamar untuk berdandan dan mengambil tas. Kuselip selembar uang berwarna merah pemberian Ramdan ke dalam tas. Gajiku belum turun bulan ini. Mungkin beberapa hari lagi. Ini uang dari Ramdan khusus untuk membeli kebutuhan pribadiku. Untuk uang kebutuhan aku pisahkan dan tidak akan kupakai kecuali mendesak.
BLAM!
Aku tak perlu berpamitan lagi kepada mereka. Selepas mengambil sendal warna hitam berpita di rak sepatu, aku bergegas keluar rumah. Tak lupa kututup pintu utama tanpa menimbulkan suara. Padahal suasana hatiku sedang tidak baik dari kemarin. Beruntung aku tak sampai mengamuk seperti dulu. Aku lebih bisa mengontrol emosiku kini.
Hanya ada satu tujuanku untuk menceritakan keluh kesah selain pada Ramdan. Naya. Biar aku hubungi Lami juga agar wanita itu datang ke tempat Naya. Hari Minggu mereka pasti libur. Semoga Naya ada di rumah.
***
"Assalaamu'alaikum."
Ketiga kalinya aku mengetuk pintu seraya mengucap salam akhirnya mendapat respon dari dalam. Tiada henti aku mengumbar senyum sembari memainkan tali tas dan berjinjit. Tak butuh waktu lama, pintu rumah Naya pun terbuka.
"Eh, Nufus toh."
Senyum tulusku berubah menjadi canggung. Aku kira Naya yang akan membukakan pintu untukku seperti biasa, ternyata kakaknya—Widi.
Ia tampak tak kalah canggung sepertiku. Bedanya ia melampiaskan rasa canggungnya dengan mengusap tengkuk belakangnya yang tidak gatal. Aku meringis.
"Mba Nayanya ada, Mas?" tanyaku to the point. Widi menoleh ke arah belakang, memastikan.
"Ada tapi lagi pergi. Kayaknya ke tempat kerja soalnya pakai pakaian rapi. Masuk aja, tunggu di dalam kayak biasa." Lantas, Widi membukakan pintu lebar-lebar untukku.
Aku menggeleng tak enak. Jika saja aku masih jomlo, sudah pasti aku melenggang masuk sesuka hati seperti dulu. Bedanya sekarang aku sudah bersuami. Pasti akan jadi bahan perbincangan tetanggaku jika ada yang melihat kami berdua masuk bebarengan ke dalam rumah. Bisa timbul fitnah.
Aku menunjuk kursi gantung berwarna hitam yang ada di samping rumah Naya. Setiap bertamu aku selalu lewat pintu samping.
"Aku duduk sini aja deh, Mas. Mas lanjut kerja aja. Mba Naya biar aku chat sekarang." Tanpa pikir panjang, aku segera duduk di sana. Widi terus memperhatikan gerak-gerikku. Tak kusangka ia tertawa.
"Oke-oke. Gue paham apa yang lo pikirin. Santai aja. Gue ambil minum dulu, ya." Aku mengangguk sembari tersenyum.
"Makasih, Mas."
Sepeninggal Widi, pintu rumah Naya dibiarkan terbuka. Aku segera men-chat Naya.
[Mba Naya masih lama? Aku udah sampai di rumah, Mba.]
Masih ceklis dua abu-abu. Ini Naya gak nonaktif-in centang birunya, kan?
Tak butuh waktu lama, Naya membaca pesanku. Aku tersenyum sumringah.
[Maaf, Nu gue baru sempet baca pesan lo. Aduh, gimana ya? Lo udah di rumah gue berarti?]
Aku mengernyit. [Ada masalah apa, Mba?]
[Telepon aja deh ya biar jelas.]
Profil Naya muncul memenuhi layar ponselku. Segera kuangkat telepon darinya.
"Halo, Mba Naya."
[Halo juga, Nu. Maaf banget, nih ya. Lo beneran udah di rumah gue?]
"Iya, Mba. Tadi 'kan aku ada chat Mba tapi baru dibaca."
[Gue hari ini kerja. Ini mau makan siang bareng atasan gue. Lo inget 'kan cowok yang lo temui di rumah gue waktu lo nganter nasi goreng?]
Aku mencoba mengingat. "Oh, iya. Akrom apa Arqom namanya lupa."
[Nah, iya Arqom. Dia tiba-tiba ngajak gue makan siang. Katanya mau bahas pekerjaan. Gila, sih keknya gue bakal lembur hari ini.]
"Bukannya Minggu libur, Mba?"
[Harusnya gitu, tapi tadi pagi gue disuruh berangkat. Bentar lagi mau rapat bareng penulis yang baru teken kontrak. Mana gue editornya lagi. Hadeh, pusing asli. Waktu libur gue berkurang.]
"Berarti Minggu ini Mba kerja terus dong? Gak ada liburnya?"
[Hooh. Tapi aku bakal minta libur sehari di hari kerja, Sabtu misal. Lo ke rumah gue lagi hari Sabtu, tapi tunggu gue chat. Takutnya si Arqom gak ngijinin, lo jadi bolak-balik 'kan capek. Maaf banget ya, Nu. Asli gue gak tau bakal gini.]
Aku tersenyum maklum. Jadi wanita karir pekerjaan harus dinomor satukan. Aku memakluminya.
"Iya, Mba santai aja. Mas Widi lagi di rumah, Mba ya? Tadi yang bukain pintu kakaknya Mba."
[Oh, si Widi iya lagi di rumah gue. Tiba-tiba bawa koper kemarin malem katanya habis diusir dari rumah. Pasti gara-gara gagal jadi anak berbakti.]
Aku tertawa mendengar celutukan Naya. Pasti di seberang sana wanita itu sedang mencak-mencak.
"Habis ini aku pulang kok. Kayaknya mas Widi lagi sibuk."
[Kamu kayak sama siapa. Eh, udah dulu ya, Nu. Nanti gue kabari. Atasan gue bentar lagi dateng.]
"Oke. Jangan tegang-tegang sama Arqom, barangkali pulang-pulang dilamar."
[Bisa aja lo, Nu. Jelas-jelas tuh anak suka sama lo.]
Aku langsung mematikan sambungan telepon. Bisa-bisa Naya ngoceh panjang lebar. Andai Naya tau permasalahanku sekarang, kayaknya ia bakan comblangin aku sama Arqom.
"Ini minumnya, Nu."
Kepalaku mendongak. Widi datang menyodorkan minuman es teh ke arahku.
"Makasih, Mas jadi ngrepotin. Padahal mau pulang." Aku lekas meminumnya hingga tersisa setengah.
"Ah, tadi Naya gue chat. Ternyata kerja dia. Maaf ya, Nu."
"Gak apa-apa, Mas santai aja. Barusan aku teleponan sama mba Naya kok." Lantas, aku pun bangkit.
"Aku pulang dulu ya, Mas. Makasih minumnya."
"Boleh bareng? Aku mau ke masjid deket rumahmu soalnya."
Tanpa pikir panjang, aku mengangguki ajakannya.
***