6. Kue Ultah Untuk Isteri
Pukul 3 sore, aku baru menginjakkan kaki di halaman rumah. Aku hampir melewati batas waktu yang Ramdan kasih lantaran hasutan Lami. Ia bilang akan membelikanku high heels yang sudah lama kuincar. Aku belum bisa membelinya sebab uang tabunganku masih kurang. Nunggu gaji cairnya awal bulan depan sementara sekarang masih pertengahan bulan.
Untungnya Anggi mengingatkanku, lalu menyeret Lami untuk pulang bersama mereka. Aku turun di depan warung dekat rumahku sekalian beli sesautu. Di sana pun aku hampir berlama-lama sebab tetanggaku mengajak ghibah seperti biasa. Langsung kutolak dengan dalih mas Ramdan tengah menungguku di rumah. Mereka meloloskanku pada akhirnya.
Kini, aku melihat suamiku sedang menyirami bunga hasil bercocok tanamku selama ini. Hoodie hitam bertudung dan celana pendek di atas lutut dengan warna senada berhasil membuaatku terpana. Ia sangat tampan bahkan ketika mengenakan pakaian sederhana.
"Mas Ramdan!"
Tubuh Ramdan menegang kala aku memeluknya dari belakang. Sepertinya ia terkejut, namun selang yang ia pegang terjatuh. Dengan cepat ia berbalik, membalas pelukanku setengah hati. Aku terkekeh dibuatnya.
"Tumben nyiramin bungaku. Katanya ada kerjaan," ucapku basa-basi. Ramdan hanya mendengus.
"Udah selesai daritadi." Aku mengangguk paham.
"Berarti sekarang udah free, ya?" Pelukan kami terlepas.
"Kenapa? Mau jalan-jalan sekarang?" Aku menggeleng tak setuju. Baru juga pulang udah mau diajak jalan-jalan lagi. Yang ada tulangku remuk malamnya nanti.
Kupandang wajah kesal suamiku yang terlihat menggemaskan di mataku. Usai mencubit pipi kanannya, aku berjongkok tuk mengambil selang—menyingkirkannya dari halaman rumahku sekalian mematikan kran.
Aku menarik tangan Ramdan ke teras rumah, duduk di kursi tersedia kemudian mengeluarkan isi kresek bawaanku. Mata Ramdan berbinar melihat beraneka macam makanan tersaji di hadapannya. Saking tidak sabarnya, suamiku mencomot kripik kentang untuk mengganjal perutnya yang lapar.
Lagi-lagi aku tertawa.
"Laper banget ya, Mas?" tanyaku diangguki Ramdan.sebungkus keripik kentang berhasil dilahap habis tanpa ditawarkan padaku.
"Kan cuma makan tadi pagi."
"Aku masak tadi, Mas sebelum temen-temenku datang." Ramdan melongo.
"Yang bener kamu, Dek!"
"Suer, Mas. Emang Mas gak buka tutup saji?" Dengan polosnya suamiku menggeleng.
"Kamu gak bilang, sih tadi. Mas mana tau."
"Kan tadi Mas lihat sendiri aku masak. Gimana, sih."
"Namanya juga lupa, Dek." Bibirku maju lima centi. Ramdan buru-buru menambahkan kalimatnya sebelum kekesalanku bertambah. "Iya, Mas yang salah. Kamu jangan cemberut gitu ah!"
Bodo amat.
Salah sendiri tidak lihat tutup saji padahal bentuknya besar. Kelaparan sampai sore, kan.
Aku duduk di kursi tersisa. Binar-binar kelaparan terpancar dari mata suamiku. Sorot matanya tertuju ke arahku. Ralat. Ke arah tanganku lebih tepatnya mengingat saat ini aku sedang memegang dua porsi nasi goreng dalam box.
"Nasi goreng! Tau aja Mas lagi pengin nasi goreng," celoteh Ramdan riang. Kutanggapi dengan tawa renyah agar tak merasa dicueki.
Kubuka tutup box untuk disajikan ke suamiku. Ramdan menghirup aroma nasi goreng yang menguar. Sedap. Siwiran daging ayam, potongan mentimun dan tomat, acar, juga seplastik sambar amat menggugah selera makannya. Ramdan tak sabar mencicipinya.
Kuserahkan sendok plastik berwarna putih ke arah suamiku yang langsung diterima dengan terburu-buru. Ia memakannya dengan lahap seperti tidak makan berhari-hari. Gak heran karena suamiku cuma makan tadi pagi. Segera kulahap seporsi nasi goreng milikku bersama dengan suami tercinta.
"Udah! Jangan ngambek lagi. Nanti malam aku kasih jatah kok tenang aja," ucapku kian membuat kesenangan Ramdan meletup.
***
"DEK NUFUS! JANGAN MASUK SANA!"
Aku terlonjat kaget mendengar teriakan nyaring dari ruang tengah. Siapa lagi yang berteriak jika bukan Ramdan. Aneh. Padahal aku hanya ingin masuk ke kamar calon buat hati kami suatu saat.
Kami baru pulang sehabisjalan-jalan ke toserba. Ramdan mengajakku berkeliling di dalam sana dan berakhir membeli sepatu bayi.
Aku sangat menantikan kehamilanku selama menjalin rumah tangga dengan Ramdan. Ada banyak hal yang kupersiapkan jauh-jauh hari agar selama masa kehamilan nanti aku punya banyak waktu luang.
Aku mencebik kesal melihat Ramdan sudah berdiri di hadapanku dengan tangan terentang. Benar-benar mencurigakan.
"Kenapa teriak-teriak, sih, Mas? Aku cuma mau naruh sepatu anak kita di dalam," balasku sembari berusaha meraih gagang pintu. Ramdan buru-buru menepis tanganku, lalu tersenyum.
"Biar aku aja yang naruh." Sebelum Ramdan mengambil sepatu dari tanganku, aku sudah menyembunyikannya ke belakang punggung terlebih dahulu. Gelengan kecil kuberikan.
Tingkah Ramdan semakin membuatku penasaran. Aku menyeringai kecil.
Mari kita lihat apa yang ia sembunyikan di dalam.
"Jangan dibuka ya, sayang. Besok aja. Sekarang kita ke kamar terus ngasih aku jatah. Udah kebelet." Sebagai gantinya, ia menyeret tanganku untuk ikut ke kamar bersamanya. Karena tenaga kami tak sebanding, tentu saja Ramdan berhasil menarikku ke kamaruntuk memberinya jatah.
Besok. Besok aku akan melihat apa yang Ramdan sembunyikan di dalam sana.
***
"Mau ke mana, bro?"
Ramdan menoleh ketika temannya angkat bicara, menaruh berkas dalam genggamannya ke atas tumpukan kardus, lalu berbalik. Tak lupa ia melepas sarung tangan warna merah yang sedari tadi membelit tangannya.
Beberapa hari yang lalu, ia diterima kerja di salah satu perusahaan makanan. Kebetulan bagian staff gudang sedang kosong. Ramdan melamar pekerjaan di sana berkat dorongan dari isterinya.
"Ini catatan pengeluaran dan pemasukan hari ini. Barang udah aku tata di deret belakang. Bisa minta tolong anterin ini ke atasan?"
Bukannya menjawab, Ramdan justru membicarakan pekerjaannya, membuat lawan bicaranya geleng-geleng kepala kemudian bangkit.
"Gue tanya apa jawabnya apa. Santai aja kali. Nanti gue kasih catatan lo ke atasan. Puas?" Ramdan tersenyum lebar, lalu mengangguk. Rekannya segera menghampiri Ramdan selepas menaruh kardus terakhir di tumpukan teratas.
"Buru-buru banget. Mau ke mana emang?" tanyanya lagi. Kali ini dibalas oleh helaan napas panjang oleh Ramdan.
"Kamu punya pacar, kan?" Dia mengangguk dengan tampang polosnya. Ramdan mekanjutkan ucapanya, "Menurutmu, kado apa yang disukai wanita?"
Pria itu berpikir sejenak. Aneh. Apa Ramdan sedang musuhan sama isterinya? Harusnya 'kan yang tanya perihal kesukaan wanita itu dia, bukan malah Ramdan.
"Tumben tanya gituan. Lagi musuhan lo?" tanyanya penasaran. Ramdan menggeleng.
"Hari ini dia ultah. Aku bingung mau ngasih hadiah apa. Kamu ada saran?"
Ah, ultah ternyata pantes, batinnya kemudian terkekeh. Ia kembali berpikir, kira-kira kado apa yang disukai kebanyakan wanita. Pasalnya tiap orang seleranya beda-beda. Pacarnya saja punya selera tinggi. Apalah itu istilahnya. Fashionable. Meski begitu, dia tetap menyukainya.
"Isteri lo suka apa?"
"Tanaman. Dia suka nanemin bunga di depan rumah."
"Yang lain. Masa iya lo mau ngado bibit tanaman ke isteri lo." Ramdan berpikir lagi.
"Bunga. Dia juga suka bunga."
"Klise. Setiap wanita pasti suka bunga, kecuali yang punya alergi."
"Terus apa? Udah mau larut ini nanti tokonya pada tutup."
"Ya dipikir dong, Ram. Usaha. Gue mana tau selera isteri lo. Asal ngusulin ntar kalian malah ribut gimana?"
Ramdan berdecak kesal, menyisir rambutnya ke belakang sembari merotasikan bola mata.
"Kue gimana?" Dia menimang ucapan Ramdan sebentar, lalu tersenyum simpul.
"Boleh. Gue tau toko mana yang ngejual kue enak."
***