8. Susu Ibu Hamil
Tengah malam aku terbangun karena suara bising para pengendara motor di luar sana. Kelakuan anak muda. Pasti mereka ngadain balap liar dengan taruhan uang atau benda berharga. Kejadian yang tak bedajauh seperti yang kualami ketika masih duduk di bangku SMA.
Selain suasana malam yang mendukung mereka beraksi, tidak ada polisi yang berpatroli. Kalaupun ada paling hanya satu-dua pun sekedar mengecek kondisi jalanan. Jika aman, mereka akan pulang ke markas untuk makan atau istirahat. Hal itu terus berulang-ulang sampai aku bosan. Meski beberapa kali pernah kepergok polisi sebab mengadakan balap liar yang tentunya membahayakan nyawa.
Memilih tuk menyudahi nostalgia, aku mengubah posisi tidur menjadi duduk. Sembari mengucek kelopak mataku, tungkai kakiku melangkah mendekati pintu. Aneh. Ramdan tak ada di sebelahku ketika aku membuka mata.
Bukannya mengapa. Selama ini, Ramdan selalu tidur di sampingku apapun keadaannya, tapi kali ini beda rupanya. Sejak kedatangan isteri pertamanya ke rumah ini, sikap Ramdan benar-benar berbeda. Bahkan ia tak berniat menjelaskan apapun padaku meski sejujurnya aku sendiri sudah dengar dari mulut Lulu sendiri. Tapi gak ada salahnya aku dengar dari kedua belah pihak bukan?
"Mas Ramdan ke mana, sih. Apa dia tidur di ruang tamu? Ah, masa iya," monologku seorang diri.
Karena penasaran, kubuka pintu kamar tamu tempat di mana Lulu dan anaknya tidur. Betapa terkejutnya aku melihat Ramdan tidur di sana dengan senyum mengembang sembari memeluk anaknya. Di sampingnya ada Lulu yang tidur pulas membelakangi mereka.
"Ternyata di sini."
Cemburu? Tentu. Siapa yang tidak cemburu jika suaminya tidur dengan wanita lain meski berstatus sebagai isteri juga?
Aku tersenyum miris. Kenapa pula aku cemburu? Harusnya aku sadar diri. Berulang kali kuingatkan jika akulah yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka.
Tak kuasa menahan tangis yang hampir tumpah, kututup pelan-pelan pintu kamar tamu. Biarlah mereka melepas rindu. Aku tidak boleh egois. Masih ada Lulu dan anaknya yang lebih butuh perhatian Ramdan daripada diriku. Mereka berpisah cukup lama. Aku harusnya lebih memahami keadaan mereka.
Ya, harus.
Kuhapus air mata sialan yang merembes ke pipiku. Mencoba bersikap seperti tidak melihat apa-apa, aku segera ke dapur untuk minum. Tenggorokanku kering, perut pun keroncongan. Semalam aku belum makan apapun. Semoga dari balik tutup saji masih ada makanan.
"H—abis? Bener-bener gak disisain sedikit pun?"
Aku tertawa hambar. Miris sekali hidupku. Sabar ... sabar. Aku masih bisa masak demi mengganjal perutku. Semoga mereka tidak terganggu dengan kegiatanku di dapur tengah malam begini.
"Lagi apa, Fus?"
Tubuhku tersentak kaget mendengar suara dari balik punggung. Aku berbalik, memasang senyum tak enak sembari mengangkat minyak di tanganku.
Ah, ternyata Lulu.
"Mau bikin telor. Kamu mau?" tanyaku mencoba ramah. Lulu menggeleng, beralih membuka tas yang tergeletak di kursi dan mengeluarkan isinya.
Susu?
"Kamu belum makan?" Lulu balik bertanya. Aku mengangguk sebagai jawaban, kembali berkutat dengan aktivitasku yang tertunda.
"Tadi ketiduran. Kamu bikin susu apa? Mau kubuatin sekalian? Mukamu kelihatan capek banget." Lagi-lagi ia menggeleng.
"Aku bisa bikin sendiri kok."
"Ah, iya."
"Maaf ya tadi makanannya dihabisin sama Omar dan mas Ramdan. Aku kira tadi kamu udah makan."
"Gak apa-apa kok. Biasanya jam segini suka bangun karena laper."
"Oh iya, tadi mas Ramdan beli kue kayaknya buat kamu. Aku taruh di kulkas. Btw, kamu hari ini ultah?"
Diam-diam, aku mengulum senyum. Aku baru ingat jika sekarang hari ulang tahunku. Pantas saja Ramdan pulang telat. Rupanya membelikanku kue.
"Iya."
"Selamat ulang tahun. Semoga apa yang kamu mau terwujud."
"Aamiin. Makasih, Lu."
Aku berbalik. Telor ceplok dadakanku siap disantap. Selepas menaruh teflon di wastafel, aku menyendok nasi ke piring, lalu duduk berhadapan dengan Lulu yang sedang mengaduk susu.
"Kamu minum susu apa emangnya? Aku rasa gak ada susu buat seusia kita. Kalau enak, aku mau beli juga." Aku sedikit mendekat ke arah Lulu, lalu berbisik, "Aku pecinta susu."
Tak disangka, Lulu justru tertawa renyah kemudian mendekatkan gelas susu yang tinggal setengah ke arahku.
"Minumlah. Kamu akan tau rasanya ketika mencoba. Aku gak bisa jelasin apapun sekarang." Kutatap goyangan air dalam gelas itu sejenak. Sedetik kemudian, aku lekas meminumnya seteguk dan mengembalikannya kepada sang pemilik.
"Gimana?"
"Manis, tapi agak hambar. Enak dan gak bikin enek. Suka .... Kamu beli di mana?"
Mendengar pertanyaanku barusan, sikap Lulu sedikit berubah. Ia terlihat gelisah di tempatnya sebelum manik matanya kembali menatap ke arahku. Aku hanya tersenyum.
"Di Algamart kayaknya ada tapi aku gak tau merek apa. Adikku yang beli, katanya bagus buat kesehatan. Susu kambing mungkin." Kami tertawa mendengar celutukan Lulu.
"Kamu mau? Habisin aja. Aku udah minum tadi tapi pengin minum lagi. Sekarang udah engga," ucap Lulu membuyarkanku. Tanpa berpikir panjang, segera kuhabiskan susu yang tersisa di gelas itu.
"Ah ... enak banget. Besok aku cari ah moga aja dapet." Lulu mengangguk-anggukan kepalanya paham.
"Oh iya, mas Ramdan tidur di kamar tamu bareng Omar. Kupikir kamu harus tau itu. Mas Ramdan gak sempet ngasih tau kamu tadi karena kamu tidur lebih awal." Aku hanya ber-oh-ria.
"Tenang aja. Aku ngerti kok. Gak mungkin aku berburuk sangka sama kalian." Aku menyuap sendok terakhir ke mulutku kemudian mengunyahnya. "Kamu lanjut istirahat aja. Gelasnya biar aku yang cuci sekalian sama piringku."
Aku dan Lulu sama-sama bangkit.
"Gak usah biar aku aja, 'kan aku yang bikin."
"Sstt! Udah sana sebelum aku berubah pikiran."
Lulu menghela napas pasrah usai terjadi tarik-menarik denganku. Ia akhirnya melepaskan gelas itu ke tanganku. Segera kucuci piring beserta gelas kotor di wastafel sementara Lulu mulai melangkah ke kamar tamu untuk kembali beristirahat.
"Makasih ya, Fus."
"Hm. Santai aja sama aku mah."
Selepas kepergian Lulu, aku kembali termenung. Kuletakkan kedua benda di tanganku dengan hati-hati ke rak piring, lalu duduk di kursi makan.
Aneh. Aku teringat rasa susu tadi yang sedikit familiar di lidahku. Sepertinya aku pernah mencicipi minuman ini, tapi di mana?
[Flashback]
"Nufus, duduk sini! Mau Mama kenalin ke menantu temen Mama."
Aku menurut, pindah duduk ke samping mertuaku seraya tersenyum. Kulihat sosok gadis berisi yang sedang hamil duduk tenang di hadapanku. Dia terlihat ramah, terus mengumbar senyum di kehamilannya yang menginjak umur sembilan bulan. Tangannya aktif mengelus perut buncitnya sembari bersenandung riang.
"Reni, ini menantuku. Namanya Nufus." Junar—mertuaku memperkenalkanku kepada wanita bernama Reni. Segera kuulurkan tangan ke arahnya. Reni menyambutku suka cita.
"Maharani Angelita. Keluargaku biasa manggil aku Reni. Kamu bisa panggil aku Reni kayak mereka," ucapnya disusul anggukan dariku.
"Aku Jauharan Nufus. Panggil aja Nufus. Semoga bisa berteman baik."
"Pasti."
"Kalian ngobrol dulu. Mama mau ngerumpi sama mamanya Reni di dalem." Aku mengangguk paham. Junar pun bangkit, melenggang masuk ke ruang tengah menemui ibunda Reni. Aku dan Reni berada di teras rumahnya saat ini.
"Udah berapa bulan?" tanyaku mencoba basa-basi.
"Masuk bulan kesembilan. Bentar lagi lahiran." Reni menjawab pertanyaanku dengan wajah sumringah. Benar-benar welcome. Aku pun langsung nyaman berbincang dengannya.
"Wah ... semoga lancar lahirannya ya. Anaknya lahir sehat."
"Aaamiin. Makasih doanya." Tiba-tiba ia memegang tanganku. "Semoga kamu cepet nyusul juga ya."
"Aamiin-aamiin."
"Reni, minum susu dulu."
Ibunda Reni datang membawa nampan berisi dua cangkir dengan minuman yang berbeda. Satu berisi susu untuk Reni dan satunya lagi teh hangat untukku. Kami menerimanya dengan senang hati.
"Makasih, Ma."
"Makasih, Tante."
"Sama-sama. Diminum minumnya. Mama ke dalem ya."
Sepeninggal ibunda Reni, diam-diam aku memperhatikan Reni. Sedikit penasaran dengan rasa susu itu karena aku pecinta susu. Reni yang tau tengah ditatap olehku pun tertawa.
"Mau? Nih, coba. Enak kok."
Meski ragu, aku tetap menerima gelas milik Reni yang tersisa setengah. Kuteguk sedikit sembari terus mendecakkan lidah. Enak. Rasanya pas di lidah.
"Itu susu apa?" tanyaku polos seraya mengembalikkan gelas ke tangan Reni.
"Ini susu buat ibu hamil."
"Eh, emang gak apa-apa aku minum itu padahal aku gak hamil?" Reni tertawa.
"Ya gak apa-apa atuh. Barangkali pulang dari sini tiba-tiba kamu hamil."
"Ih ... jangan bikin takut. Masa iya minum susu hamil bikin kita hamil. Ngaco kamu ah!"
"Canda, Nu jangan dibawa serius." Akhirnya kami pun tertawa, menutup sesi pembicaraan sore ini.
Seketika, mataku membulat selepas bernostalgia.
[Off]
Buat apa Lulu minum susu ibu hamil? batinku bertanya-tanya.
***