Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 9 - 9. Kegelisahan Seorang Isteri

Chapter 9 - 9. Kegelisahan Seorang Isteri

9. Kegelisahan Seorang Isteri

"Sayang ... ayo sholat shubuh berjamaah," ajak Ramdan padaku tepat ketika pintu kamar kami dibuka olehnya.

Sayangnya, aku sudah menunaikan sholat terlebih dahulu. Kulipat mukena maroon yang berada dalam genggamanku, lalu menoleh ke sumber suara.

"Aku udah sholat, Mas. Tadi aku udah bangunin kamu tapi gak bangun-bangun. Kamu ajak sholat Lulu aja sama Omar," jawabku tenang. Kugantung lipatan mukena beserta sajadah ke hanger bertumpuk tiga.

"Tumben. Biasanya kamu bangunin Mas sampai bangun." Masih pagi tapi Ramdan berusaha menghiburku padahal suasana hatiku sedang buruk. Tidak membaik sedikitpun, malahan aku dibuat bingung mengenai susu kehamilan yang diminum Lulu semalam.

"Mas kelihatan capek. Udah sana sholat dulu. Gak baik lho nunda-nunda sholat," ucapku sedikit mengusir. Jujur, aku merasa risih jika berdekatan dengan suamiku kini entah karena sebab apa.

Ramdan mengulas senyum tipis. "Ya udah aku sholat dulu. Habis ini aku mau bicara sama kamu. Kamu jangan menghindar lagi kayak semalam." Aku mendengus. Menghindar katanya?

Kutolehkan kepala ke belakang. "Aku gak ngehindar dari kalian kok. Kan aku bilang mau kasih kalian waktu buat ngomong. Salah, Mas?"

Ramdan buru-buru menggeleng. "Bukan. Bukan gitu, Dek. Mas cuma—"

"Mas Ramdan, Nufus, ayo sholat! Kalian udah sholat belum?"

Aku dan Ramdan kompak menoleh ke sumber suara. Lulu datang mengenakan mukena sembari mengelus puncak kepala Omar. Tatapan itu .... Lagi-lagi terarah padaku. Mengapa Omar terlihat tak begitu suka akan kehadiranku di sini? Benar-benar membuatku risih.

Terpaksa kuulum senyum demi menutupi rasa tak enakku. "Aku udah sholat, Lu. Maafduluin kalian. Ajak Mas Ramdan juga. Dia belum sholat soalnya."

Lulu mengangguk-anggukan kepalanya pertanda paham. Tatapannya beralih ke arah Ramdan yang tampak bimbang. Netranya berotasi, bergantian menatapku dan Lulu. Ia menarik napas panjang sembari berkacak pinggang.

"Lulu, Omar, ayo kita sholat," putusnya final. Aku hanya bisa tersenyum miris merasa hatiku tercubit.

***

Selesai membilas tubuhku dengan air, cepat-cepat aku mengganti piyama tidur dengan gamis hitam berhias bendera Palestina. Aku tak mendapati keberadaan Ramdan setelah pintu kamar mandi kubuka. Aku melangkah keluar seiring dengan bunyi gesekan rambut basah dengan handuk putih.

"Dek! Bantuin Mas kaitin kancing baju."

Aku terlonjat kaget mendengar suara Ramdan dari balik lemari pakaian. Rupanya ia benar-benar menungguku selesai mandi padahal aku sengaja berlama-lama di dalam sana. Kuembuskan napas panjang,mencoba tenang sembari berjalan mendekati suamiku.

Tentu saja untuk mengambil jilbab warna senada, bukan untuk membantu Ramdan berpakaian. Lagian ia sudah besar pasti bisa mengaitkan kancing sendiri.

"Masa gitu aja gak bisa, Mas. Biasanya juga risih tiap aku bantu buka dan kaitin kancing baju, kan?" balasku sedikit menyindir. Senyum di wajah Ramdan mendadak pudar.

"Kamu kok ngomongnya gitu, Dek. Mas ada salah sama kamu? Ayo kita diskusiin. Jangan diemin Mas kayak gini."

"Misi, Mas! Aku mau ambil jilbab."

Ramdan terus memaksaku melakukan kontak mata tapi aku tidak mau. Bisa-bisa pertahanan yang baru kubangun langsung runtuh. Tanganku terus menggapai sisi lemari yang terhalang punggung suamiku.

"Jelas-jelas kamu ngehindarin Mas, Nu. Ngomong sama Mas, apa yang bikin kamu gelisah kayak gini? Mas gak tenang terus-terusan dicuekin sama kamu."

"Aku mau sendiri dulu, Mas. Ada banyak hal yang aku pikirin. Semoga Mas paham sama posisiku saat ini."

"Kamu bisa diskusiin sama Mas, Dek. Sejak kapan kamu nganggep Mas orang asing? Aku suami kamu, lho."

Sadar jika aku tak merespon, Ramdan menuntunku untuk duduk di tepi kasur. Aku menurut tanpa banyak membantah. Mungkin di antara kita memang harus ada keterbukaan agar aku tak uring-uringan seorang diri. Bagaimanapun juga, suamiku harus tau kegelisahanku.

Aku menunduk sembari menautkan kedua jariku. Tak ada niatan untuk membuka topik obrolan terlebih dahulu jika Ramdan tidak memancingnya.

Ia meraih tanganku, lalu menggenggamnya. Senyum meneduhkan tertuju untukku namun tak sempat kunikmati.

"Sekarang cerita. Apa yang bikin kamu gak nyaman? Apa karena Lulu?" Tebakan Ramdan tepat sasaran.

Memangnya ada orang lain yang bisa bikin aku negatif thinking selain dia di rumah ini? Tidak ada. Sekalian sama anaknya.

Aku mengangguk dalam diam, membuat Ramdan menghela napas panjang.

"Lulu bikin masalah sama kamu?"

"Engga."

"Omar jahilin kamu?"

"Engga."

"Kamu cemburu kemarin Mas tidur bareng mereka?"

"Sedikit."

"Bilang sesuatu dong, sayang. Mas gak bisa disuruh nebak-nebak. Tau sendiri 'kan kaum betina agak sukar dimengerti." Ia tersenyum, berharap aku luluh dan ternyata ampuh. Kudongakkan kepala sebagai tanda hormat.

"Aku bingung, Mas. Di satu sisi, Lulu masih isteri sahmu. Isteri pertama, sedangkan aku menempati posisi kedua. Itu artinya aku orang ketiga di pernikahanmu, Mas," ungkapku jujur.

"Gak gitu konsepnya, sayang."

Ramdan membelai rambutku, pelan sekali sembari menyisirnya dengan jari. Elusan darinya membuat dadaku berdesir. Rasa sesak dan gelisah yang sedari tadi menyelimuti raga berangsur mereda. Aku tersenyum menatap Ramdan.

"Kamu bukan orang ketiga. Ini semua salahku. Andai aku benar-benar memeriksa apakah Lulu masih hidup atau telah tiada, kau pasti tidak menderita seperti sekarang," sambungnya.

Pembawaannya begitu tenang. Aku salut Ramdan bisa sesabar itu menghadapi sikap childishku.

"Aku gak menderita, Mas. Aku bahagia bisa hidup bareng Mas di sini. Mungkin ini kehendak Tuhan. Tuhan ingin menguji rumah tangga kita. In syaa allah aku bisa ikhlas, Mas meski rasanya berat. Beri aku waktu untuk adaptasi," ucapku sedikit yakin. Ramdan mengangguk sekali.

"Aku yakin kita bisa mengatasinya. Aku akan bersikap adil ke kalian. Kumohon jangan mengatakan hal-hal yang membuat kita menyesalinya nanti."

Aku berpikir sejenak. "Cerai misalnya?"

"Sshtt!" Ramdan menaruh telunjuknya di bibirku, membuat mataku terbelalak. "Aku gak mau itu dihitung talak. Jangan ucapkan kata-kata sakral itu sembarangan!" Dengan wajah polos, aku mengangguk.

"Ngerti, Mas. Gak lagi." Ramdan mengusap rambutku lagi.

"Bagus. Sekarang maunya kamu gimana? Jangan menghindar dari Mas lagi. Kalau ada apa-apa dibicarain." Aku mengangguk paham, lagi.

"Aku mau masak, Mas. Mas lanjut siap-siap aja bentar lagi 'kan berangkat kerja." Kami bangkit seraya melempar senyum.

"Masak yang enak. Aku mau siap-siap dulu."

"Iya, Mas. Jangan lama-lama."

Aku pergi menghampiri lemari, mengambil jilbab, dan memakainya sembari keluar dari dalam kamar.

***

"Aku pamit. Jaga diri kalian baik-baik."

Aku dan Lulu kompak mengangguk di hadapan Ramdan. Pria itu mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Lulu terlebih dahulu disusul Omar dan terakhir aku. Yang pertama tetap jadi yang pertama bukan?

"Hati-hati di jalan," kata Lulu mengingatkan diangguki oleh Ramdan. Tatapannya beralih padaku, aku memasang senyum canggung.

"Pulang dengan selamat. Kita menunggumu di rumah." Ramdan kembali mengangguk untuk yang kedua kali.

"Ayah, nanti kalau udah pulang beliin ice cream," celoteh Omar sebelum memeluk lutut Ramdan.

"Oke. Nanti kita beli bareng ya." Omar mengangguk riang sembari mengayunkan robot dalam genggamannya.

Setelah berpamitan, Ramdan lekas pergi mengendarai sepeda motor. Tanpa menoleh lagi ke belakang, ia melaju dengan tenang membelah jalan raya.

Sepeninggalnya, kami mendadak canggung. Lulu merangkul Omar masuk ke dalam kemudian menutup pintu. Aku mengekori langkah mereka, lebih tepatnya ada yang ingin aku bicarakan dengan wanita itu.

"Lulu, aku ingin bicara," ucapku memberanikan diri. Lulu menghentikan langkahnya, lalu berbalik.

"Iya? Mau ngomong apa?"

"Lebih baik Omar kamu suruh ke kamar duluan. Aku takut dia mendengar hal yang tidak pantas."

Kutatap Omar sebentar yang masih menunjukkan raut wajah penuh kebencian. Sembari mendekap robot miliknya, Lulu membisikinya untuk masuk ke kamar. Omar menurut tanpa banyak membantah tapi tatapannya terus menghunus ke arahku.

Lantas, atensiku beralih ke arah Lulu. Hanya ada kami berdua di ruang tamu. Ia duduk di salah satu sofa disusul aku. Sungguh, aku sangat takut hal ini akan melukai hati Lulu.

"Aku ingin tanya sesuatu," ujarku membuka topik pembicarakan. Lulu mengangguk.

"Silakan."

"Susu yang kemarin kamu minum itu ... susu ibu hamil, kan?"

Lulu tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya mendengar aku berkata demikian. Agaknya, salah satu fakta yang selama ini ia sembunyikan akan terbongkar.

***