Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 7 - 7. Kejutan Tak Terduga

Chapter 7 - 7. Kejutan Tak Terduga

7. Kejutan Tak Terduga

"Assalaamu'alaikum, sayang."

Hening.

Tak adajawaban seperti hari biasa. Ramdan buru-buru masuk rumah usai menaruh sepatu pada tempatnya. Sedikit tergesa-gesa sebab takut terjadi apa-apa pada isterinya. Sesampainya di ruang tengah, ia membentangkan tangannya lebar-lebar seraya tersenyum melihat sosok wanita tengah duduk membelakanginya di kursi makan. Kue dalam genggamannya terombang-ambing di udara.

"Surprise!!"

"Kamu udah pulang, Mas."

Mata Ramdan membulat sempurna melihat isterinya justru datang dari arah dapur, menaruh serbet di samping wastafel kemudian melipat tangannya di depan dada. Sikapnya dingin, tak sehangat biasanya padahal ia sedang berulang tahun.

Apa-apaan ini! Siapa yang duduk di hadapannya kini jika bukan isterinya?

Lantas, wanita yang tidak Ramdan kenal itu perlahan membalikkan badannya. Betapa terkejutnya Ramdan melihat sosok yang selama ini bersemayam di relung hatinya tiba-tiba menampakkan batang hidungnya bersama seorang ... anak laki-laki.

Tunggu! Apa ini?

***

Aku tak begitu puas melihat suamiku hanya bengong tanpa melakukan apa-apa. Reaksinya cukup terkejut tapi tak sampai menyentuh hatiku. Kubiarkan mereka berbincang sesuka hati di depanku tanpa ada yang ditutup-tutupi.

"Lulu? Bagaimana kamu ada di sini?" tanya Ramdan akhirnya. Lulu lekas berpaling, mencengkeram ujung jilbabnya dengan gigi gemeletuk.

Namun, reaksi ibu dan anaknya rupanya berbeda. Bocah laki-laki bersetelan koko hitam abu-abu tampak senang melihat kedatangan Ramdan. Cepat-cepat ia menghambur ke pelukan suamiku.

"AYAH!!"

Ayah?

Mulutku sukses menganga dibuatnya. Meski Lulu sudah mengutarakan maksud kedatangannya ke sini bersama anaknya, tetap saja aku tidak terbiasa bocah itu memanggil suamiku ayah.

Sabar ...

Tak terkecuali Ramdan. Pria itu tak membalas pelukan bocah laki-laki itu, diam termenung sembari menatapku dengan sorot mata tak terbaca. Aku membalasnya dengan mengangkat kedua bahuku sekali.

"Ayah! Omar kangen banget sama Ayah. Mama nepatin janjinya sekarang, bawa Omar ke Ayah," celutuk Omar begitu menggemaskan. Ramdan mengulas senyum tipis, berjongkok di hadapan Omar kemudian membelai rambutnya pelan.

"Dia ..."

"Anak kita, Ram," potong Lulu cepat. Dapat kulihat senyum di wajah Omar kian melebar. Mata Ramdan berkaca-kaca ketika menatap putranya.

"A—nakku? Omar?"

"Iya, Ayah. Ah ... Omar kangen Ayah. Mama bilang Ayah kerja di luar negeri tapi gak pulang-pulang. Ayah gak benci Omar, kan? Ayah sayang sama Omar, kan?"

Tak tahan menahan drama di depanku, aku memilih untuk pergi ke kamar. Biarkan mereka menyelesaikan masalah tanpaku. Lagipula, untuk apa aku hanya diam terpaku di sini sementara mereka berbincang hangat.

Jadi orang ketiga itu gak enak, tapi sudah nasibku seperti ini.

Aku menghela napas panjang.

"Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau ke kamar."

"Tapi, Nu—"

Kutepis tangan Ramdan yang bertengger di bahuku ketika aku melangkah di sampingnya. Lulu hanya melirikku sekilas pun tanpa minat. Sementara Omar malah memandangku sinis padahal aku tidak punya salah padanya. Biarlah. Paling cuma perasaanku aja yang sedang sensitif sejak mereka menginjakkan kaki ke rumahku.

***

Ramdan menatap nanar kue ultah yang ia beli. Nufus tak menyentuhnya sejak tadi bahkan meliriknya pun tidak. Ia terus mengurung diri di kamar. Ramdan tak bisa masuk sebab Nufus menguncinya dari dalam.

Maafin aku, Nu. Aku akan menjelaskannya nanti.

"Kamu udah nikah lagi, ya?"

Pertanyaan Lulu membuyarkan lamunan Ramdan yang sedari tadi menatap ke arah pintu kamarnya, tempat di mana Nufus berada. Dengan berat hati, ia mengangguk, lalu menunduk. Lulu mengangguk makluk sembari menipiskan bibirnya.

"Selamat ya. Semoga sakinah mawaddah warahmah."

"Aamiin."

Tatapan mereka kompak tertuju ke arah Omar yang sedang bermain tak jauh dari tempat mereka duduk. Ia membawa mainan ke sini karena tau di rumah Ramdan tak ada mainan satupun. Ada, tapi untuk anak yang ia nantikan bersama Nufus suatu hari nanti.

Lulu sudah menceritakan semuanya, mulai dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, berjuang agar tetap hidup seorang diri, ketika ia melahirkan tanpa seorang suami, saat-saat ia sulit hingga sampai di detik ini, semua ia ceritakan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ramdan hanya bisa bersyukur karena mereka—isteri dan anaknya selamat.

Tak dapat dipungkuri jika Ramdan merindukan mereka, terlebih kepada Omar. Lulu membesarkannya seorang diri tanpa ada sosok pendamping—suami. Bagaimanapun juga peran Ramdan sangat besar di sini. Ia salut Lulu tak banyak mengeluh dan menuntun bahkan ketika mereka sudah bertemu sekarang.

Lulu menopang kanan kirinya di atas kaki kiri. Debas terdengan di antara mereka.

"Kau sendiri bagaimana? Sehat?" tanya Ramdan canggung.

"Aku sehat, seperti yang kamu lihat. Omar juga sehat. Ngomong-ngomong dia sudah berusia empat tahun." Pria itu mengangguk paham.

"Ternyata kita berpisah cukup lama." Ramdan tersenyum sembari menatap atap rumahnya. "Ada banyak pertanyaan di otakku sejak melihatmu di rumah ini. Selama ini ... kau tinggal di mana?"

Lulu menyandarkan punggungnya ke sofa, turut menatap atap rumah seperti Ramdan. Senyum yang biasa diutarakan untuk Ramdan seorang kini kembali ia lihat.

"Aku tinggal bareng adikku di Turki. Kamu tau Baeqi, kan? Dia suka banget nempelin kamu dulu." Tanpa disengaja, Lulu membuat Ramdan harus mengingat momen lama yang harusnya ia kubur dalam-dalam.

"Ah, Baeqi. Pantas saja. Inget kok masa iya aku lupa sama adik kamu." Ramdan tersenyum masam. Nyatanya, ia menimpali ucapan Lulu, turut bernostalgia dengannya.

"Kenapa tidak mengabariku lebih cepat? Kamu selamat dari kecelakaan beruntun itu tapi jasadmu tidak ditemukan. Aku benar-benar berharap kamu masih hidup. Tuhan ternyata mengabulkan doaku." Lulu tersenyum mendengar curhatan suaminya.

"Dan hari ini, kamu ada di hadapanku dalam keadaan sehat wal afiat. Tapi, bagaimana kamu bisa ada di Turki? Siapa yang menyelamatkanmu dari kecelakaan itu?"

Mata Lulu menerawang atap langit rumah mereka. Sembari tersenyum, ia mulai bercerita.

"Ada laki-laki yang datang ke tempat kejadian lebih dulu dari yang lain. Yang pasti dia bukan orang yang menabrak mobilku. Entah datang dari mana, dia tiba-tiba menolongku keluar kemudian membawaku ke rumah sakit dengan mobilnya. Saat itu aku langsung tidak sadar kandiri dan dia menceritakan kejadian yang sebenarnya padaku."

"Waktu aku mau balik ke rumah ini, polisi justru nyatain semua yang terlibat kecelakaan beruntun mati. Beda denganku yang jasadnya gak mereka temukan. Pria itu membawaku ke rumah sakit yang jauh dari sini jadi waktu itu tidak ada yang tahu."

"Dia menyarankanku untuk pulang bersama keluargaku. Ternyata dia menghubungi Baeqi dan menceritakan hal yang menimpaku. Baeqi sepakat bawa aku ke Turki buat ngejalanin masa-masa penyembuhan. Janinku juga tidak baik-baik saja tapi untung tidak sampai keguguran karena aku pakai sabuk pengaman. Mau balik ke rumah inipun percuma karena orang-orang ngira aku udah meninggal."

"Tapi gak lama setelah itu aku mikir lagi. Akhirnya aku berani pulang ke sini setelah tiga tahun lamanya. Dan pria itu menghilang dari hidupku sebelum aku sempat berterima kasih dan membalas budinya." Lulu menyudahi ceritanya.

"Begitulah. Semoga kamu memaklumiku." Ramdan tersenyum kemudian mengangguk.

Tunggu. Tapi Lulu belum cerita maksud kedatangannya ke sini. Mengingat selama ini ia cukup menahan diri.

"Maaf jika pertanyaanku menyinggungmu. Kamu tau aku sudah beristeri lagi dan kamu masih isteri sahku. Kamu mau aku bagaimana? Tinggal serumah dengan aku dan Nufus atau ingin rumah baru untuk kamu tinggali bersama Omar?"

Telunjuk Lulu terantuk pada pegangan sofa. Pandangannya mengedar, tak lagi berpusat pada Omar yang hanyut dalam dunianya.

"Aku datang bukan ingin menuntut banyak hak padamu, Ramdan. Aku merindukan rumah ini, ingin mengulang semua dari awal bersamamu dan juga Omar. Ternyata aku terlambat." Ia menyungging senyum tipis kemudian menunduk.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kamu masih hidup. Kamu tau? Aku sudah mencarimu ke mana-mana tapi tidak ketemu. Mama sama papa juga ikut mencarimu. Mereka pasti senang melihatmu kembali dengan selamat."

"Semoga saja." Lulu menatap Ramdan intens. "Aku pasti banyak menyusahkanmu dan orang tuamu. Maafkan aku."

Ramdan menggeleng, lalu tersenyum. "Tak usah meminta maaf. Aku justru senang lihat kamu baik-baik aja. Lagipula kamu ada di sini sekarang. Mau bertemu dengan orang tuaku besok?"

Lulu terlihat ragu menjawabnya. "Bolehkah?" Ramdan mengangguk cepat.

"Tentu. Kamu masih isteri sahku. Malam ini kamu tidur di sini dulu bareng Omar. Aku akan membicarakan hal ini dengan Nufus. Aku harap kamu maklum." Tak disangka Lulu justru terkekeh di tempatnya.

"Baiklah. Semoga isterimu mau menerimaku di sini. Aku tidur di kamar tamu bareng Omar. Lebih baik kamu ke kamar sekarang."

Keduanya bangkit, berjalan menuju arah yang berbeda. Ramdan pergi ke kamar untuk menemui Nufus sedangkan Lulu pergi menghampiri anaknya.

***