Dengan panik, Maya mengacak-acak isi tasnya, mengapa benda itu slalu saja menghilang saat ia membutuhkannya?
Maya menggunakan sebelah tangannya untuk menyumbat hidungnya yang terus mengeluarkan darah.
Ah, ketemu!
Maya menarik sapu tangan itu keluar dari dalam tasnya, ia langsung menggunakan sapu tangan tersebut untuk menyumbat hidungnya yang terus mengeluarkan darah.
Ini melelahkan. Sungguh.
Tapi, Maya tidak akan menyerah pada takdir sialnya. Ia harus bertahan karena ia masih harus menemukan Naya.
Kepala Maya terus berdenyut nyeri dan terasa berat. Namun, mata gadis itu langsung terbuka lebar saat ia melihat seorang pria yang ia kagumi keluar dari perpustakaan.
Maya tersenyum lebar memandangi pria pucat di sana.
Ken.
Ken keluar dari perpustakaan sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya. Ia lalu berjalan gontai menyusuri koridor.
Dengan cepat, Maya menghapus sisa-sisa darah di hidungnya, dan segera berlari mengejar Ken.
"Pagi, Ken!" sapa Maya dengan begitu hangat.
Lihat itu. Dia hanya melirik malas ke arah Maya tanpa membalas sapaan gadis itu. Ken merasa Maya adalah gadis manja yang terus mengekorinya, serius, gadis itu membuatnya muak.
"Mau ke mana?" Maya masih tidak menyerah, ia terus merendeng langkah Ken dan mengajak pria itu mengobrol.
Tapi Ken masih saja mengacuhkan Maya. Dia tidak akan peduli dengan apa pun yang gadis itu lakukan atau ucapkan.
"Apa kau sudah sarapan? Mau ke kafetaria bersama?"
Ken menghentikan langkahnya dan menatap Maya tajam, terkadang ia merasa kasihan pada gadis itu. Sejujurnya gadis itu cukup cantik, matanya belo, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, dan bibirnya cukup menggoda. Tapi, kenapa gadis seperti dia tidak mendapatkan satu pun pria di kampus ini? Kenapa Maya lebih suka mengejarnya yang jelas-jelas terus mengabaikannya?
"Bisa tidak? Untuk hari ini saja, jangan menggangguku!" seru Ken datar.
"Tidak!" sahut Maya tanpa berpikir.
"Apa kau tidak malu? Di mana harga dirimu? Kau mengejar seorang pria seperti orang bodoh!"
Astaga, mulutnya.
Maya menggeleng pelan sambil berdecak kesal.
"Anggap saja urat maluku sudah putus!" sinis Maya.
Ken menghela napas kasar dan menatap Maya horor. Ia tidak ingin membuang-buang waktu untuk ini.
"Aku sedang dalam mood yang buruk, jadi, menyingkir dari hadapanku!" ketus Ken.
Namun, bukannya menyingkir, Maya malah semakin mendekat dan tersenyum lebar pada Ken.
"Kau sedang badmood? Kalau begitu bagus! Karena aku sedang dalam mood yang baik, aku akan menyalurkan aura kegembiraanku padamu. Jadi mood mu akan membaik jika bersamaku!"
Ken melongo tak percaya. Bagaimana ada manusia yang begitu bebal seperti gadis di hadapannya ini? Untung saja dia adalah seorang gadis, jika tidak, entah apa yang akan Ken lakukan padanya.
"Bersamamu hanya akan membuat moodku tambah turun! Pergilah! Kumohon!"
Maya hanya tersenyum tipis, ini bukan sesuatu yang baru baginya. Ken memang selalu melakukan itu. Mengusirnya setiap kali Maya mendekatinya.
Maya terdiam menatap Ken lurus lurus, ia jatuh cinta pada pria itu saat pertama kali melihatnya. Saat itu musim penghujan, dan benar-benar sangat dingin. Maya bahkan bisa merasakan dingin yang menusuk tulangnya. Dan ia tidak memakai pakaian yang cukup tebal untuk menjaganya tetap hangat saat itu.
Mereka belum saling mengenal saat tiba-tiba Ken menghampiri Maya dan memberikan mantelnya pada Maya.
Sejak saat itulah, Maya jatuh cinta pada Ken.
Tapi, Maya hanya memendamnya selama bertahun-tahun, gadis itu hanya mencintai Ken dalam diam.
Sampai Dokter Bima menyatakan bahwa harapan untuknya sembuh sangatlah sedikit, bahkan hampir tidak mungkin dirinya dapat di sembuhkan.
Sampai pada saat di mana Dokter Bima mengatakan, mungkin ia tidak akan bertahan cukup lama.
Mendengar hal itu, tentu jiwa Maya langsung terguncang. Ia pun memutuskan untuk melakukan apa pun yang ia mau, selagi dia hidup. Termasuk mengejar cinta Ken.
Maya ingin mengatakan pada Ken bahwa ia sangat menyukainya. Ia tidak ingin mati membawa cinta sepihaknya.
Maya ingin, sebelum ia mati, ia bisa bersama Ken dan mendapatkan first kiss-nya dengan pria itu. Dengan begitu, tidak ada penyesalan apa pun selama hidupnya.
"Apa yang kau pikirkan? Berhentilah berpikir dan cepat pergi!"
Suara Ken menyadarkan Maya dari lamunan panjangnya. Ia pun menghela napas panjang dan menatap manik mata Ken dalam-dalam.
"Ken, apa kau segitu tidak menyukaiku? Apa yang harus kulakukan agar kau mau membuka hatimu untukku?"
Ken terdiam dan menatap Maya tajam.
"Aku memang sangat tidak menyukaimu! Aku benci gadis berisik sepertimu! Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membuatku membuka hatiku untukmu! Jadi berhenti membuang-buang waktumu dan cari saja pria lain yang juga menyukaimu!"
Sedih.
Tentu saja gadis itu merasa sedih, tidakkah Ken pikir kalimatnya itu bisa saja melukai perasaan Maya?
Maya tahu, dirinya memang bodoh karena menyukai pria bermulut pedas seperti Ken. Tapi, sekeras apa pun ia mencobanya, ia tetap tidak bisa untuk tidak menyukai pria itu.
"Kalau kau tidak mau pergi, biar aku saja yang pergi. Jangan mengikutiku!" Setelah mengatakan itu, Ken langsung beranjak meninggalkan Maya dengan ekspresi datarnya. Sementara Maya hanya bisa menghela napas panjang mengiringi kepergian pria itu.
Sungguh, Maya tidak mengerti, jika dipikir-pikir, kenapa Ken bisa begitu membencinya? Maya pikit, dirinya cukup cantik, pintar, dan cukup sexy, bukankah pria seperti Ken seharusnya bisa sedikit bersikap baik pada perempuan sepertinya?
Oh, sial.
Maya pun memilih duduk di kursi panjang yang ada di taman sambil memainkan ponselnya. Ia terdiam saat mendapat sebuah pesan dari Pak Gunawan, orang kepercayaan keluarganya yang sampai sekarang masih bekerja padanya.
Pak Gunawan hanya memberitahunya bahwa ia belum bisa menemukan petunjuk keberadaan Naya.
Lutut Maya langsung lemas seketika. Ia takut. Bagaimana jika ia tidak bisa menemukan Naya? Bagaimana jika ia mati dalam kondisi kesepian seperti ini?
Tidak! Itu tidak boleh terjadi.
Maya langsung membalas pesan dari Pak Gunawan dan meminta pria tua itu untuk mengerahkan lebih banyak orang untuk mencari keberadaan Naya.
Mereka tidak boleh menyerah begitu saja. Naya, dan juga ibu kandungnya yang entah seperti apa, harus ditemukan.
Maya menyimpan kembali ponselnya, dan mendongak menatap langit yang berwarna biru cerah di atas sana. Gadis itu menautkan kedua tangannya dan berdoa. Ia memejamkan kedua matanya.
"Tuhan, kasihanilah aku! Pertemukan aku dengan mereka, bukankah aku sudah bersikap baik selama ini? Tidak banyak yang ku inginkan, tolong kabulkan, aku akan bersedekah lebih banyak mulai sekarang, jadi, kumohon, dengarkan doaku ini." lirih Maya.
Setelah mengaminkan doanya sendiri, Maya pun membuka perlahan matanya. Ia menunduk, lalu menatap sepatunya dengan tatapan kosong.
Yah, hidup itu tidak pernah mudah untuknya. Ia sendiri sudah terbiasa dengan hal itu.