Rani memijit pelipisnya pelan, ia bersandar pada ambang pintu kamarnya dan menatap lurus-lurus ke arah seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di kasurnya.
Rani sendiri baru saja pulang setelah semalam menginap di rumah Maya.
Dan sangat menyebalkan mendapati Rei lagi-lagi tidur di kamarnya.
Rani menghampiri Rei, dan berusaha membangunkan pria itu, mengingat mereka ada kuliah pagi hari ini.
"Rei, bangun woi!" Rani terus mengguncang-guncang tubuh Rei agar ia bangun. Tapi tentu saja dia tidak kunjung bangun. Demi apa pun, tidak ada bedanya apa dia tidur atau mati.
"REI KURNIAWAN!" teriak Rani tepat di telingan Rei.
"WUAAA!" Rei langsung berteriak kaget. Ia langsung bangkit dari tidurnya dan melotot bingung ke arah Rani.
"Ada apa?" tanya pria itu panik.
"Ini sudah pagi, pulang sana!" dengus Rani kesal.
Rei merengut kesal dan kembali merebahkan dirinya di kasur. Ia menutup wajah dengan lengannya daj memejamkan mata.
"Biarkan aku tidur sebentar lagi. Aku masih ngantuk!"
"Tidak bisa! Kita ada kuliah pagi, bodoh! Cepat bangun dan pergi!"
Rei menggeleng pelan, ia membuka matanya dan menatap Rani kesal.
"Aku bolos hari ini! Kalau mau pergi ya pergi saja! Jangan menggangguku! Eh tapi kalau mau pergi, tolong buatkan aku sarapan dulu!"
Rei kurniawan. Rani tidak tahu apa yang ada dipikiran pria itu. Dia adalah pria kedua yang mau dekat dengan Rani setelah Yudha. Mereka berteman sejak satu tahun yang lalu. Tapi, ada sesuatu dalam hubungan mereka yang membuat Rani sangat sedih. Dia dan orang-orang lainnya sama saja.
Rei berpikir, Rani ini menyukai wanita, karena itulah Rei merasa nyaman dan suka berada di dekat Rani.
Rani sendiri tidak begitu mengerti dengan jalan pikiran pria itu.
Perlakuannya pada Rani juga sangat menyebalkan. Dia memperlakukan Rani sama seperti teman pria nya. Dia menginap di rumah gadis itu sesukanya, dia tidak memberi Rani privasi sebagai seorang perempuan.
Sejujurnya, Rani menyukai Rei, karena itulah ia membiarkannya. Membiarkan Rei menilainya semaunya. Meskipun kadang menyakitkan melihat Rei yang tidak memandangnya sebagai perempuan pada umumnya.
"Kalau begitu, keluar dulu! Aku mau ganti baju!" Rani menarik selimut yang kini sudah kembali melekat sempurna di tubuh Rei.
"Ran, kenapa kau ini berisik sekali sih? Kalau mau ganti ya ganti saja! Lagian juga tidak ada bedanya aku di sini atau di luar!" seru Rei dengan malas.
"Enak saja! Keluar sana!" sentak Rani.
Namun, bukannya keluar, Rei malah menarik selimutnya menutupi kepalanya.
Yah, tidak ada pilihan lain. Rani pun mengganti bajunya di dekat lemari dengan cepat.
Setelahnya, ia turun ke lantai bawah dan menuju dapur. Rani membuatkan sarapan untuk Rei. Gadis itu menggorengkan ayam dan tahu sebelum ia pergi.
Rani berjalan pelan keluar dari rumahnya. Dan tentu saja, di luar sangatlah sepi. Penghuni di gang ini pasti pada tidur semua karena malamnya mereka harus bekerja.
Miris memang.
Rani tinggal di lingkungan yang digunakan untuk tempat prostitusi. Semua penghuni di gang besar ini bekerja di bidang prostitusi, bahkan narkoba bisa beredar dengan bebasnya di sini.
Tapi untungnya, mereka semua melindungi Rani. Mereka sama sekali tidak pernah menarik Rani ke lembah hitam. Mereka menyayangi Rani sebagai anak dan saudari mereka. Bahkan, mereka bisa sangat marah jika ada pria hidung belang yang mencoba mendekati Rani, karena itulah, Rani masih bertahan tinggal di sini.
Orang tua Rani sudah meninggal. Jadi ia tinggal bersama bibinya yang juga adalah seorang germo. Tapi untungnya, rumah mereka sangat bersih. Tidak ada seorang pun tamu yang diizinkan masuk ke sana. Semua minuman keras dan narkoba juga tidak bisa masuk ke rumah Rani. Bibinya slalu menjaga Rani dengan baik.
Satu-satunya masalah dalam hidup gadis itu adalah mereka. Orang-orang di luaran sana. Pandangan mereka tentang dirinya sangat membuatnya frustrasi. Mereka memperlakukan Rani seperti orang hina. Sangat menyebalkan.
Tiiiint tiiiiiint.
"Hei cantik, butuh tumpangan?" teriak seseorang dari dalam sebuah mobil.
Rani menoleh ke arah mobil yang tengah mendekat ke arahnya itu dan terkekeh geli melihat Puspita yang mengeluarkan setengah badannya melalui jendela mobilnya.
"Tentu. Perempuan cantik ini sedikit lelah hari ini!" sahut Rani lalu berhambur masuk ke dalam mobil Puspita.
"Dilihat dari wajah murammu, pasti Rei ada di sana dan membuatmu kesal!" tebak Puspita.
Rani mengangguk pelan dan menghela napas berat.
"Tegakkan punggungmu teman, hidup itu memang berat, jadi siapkan mentalmu!" Puspita menepuk pelan punggung Rani, membuat gadis itu langsung melongo dan menoleh ke arah Puspita.
"Hei, kau sendiri selalu mengeluhkan Joe si iblis tampan itu! Sok-sokan menasehatiku!" protes Rani.
Puspita langsung tertawa dengan kerasnya mendengar ucapan Rani. Sungguh, kenapa hidup tidak bisa berjalan baik untuk mereka?
"Setidaknya, Rei tidak seperti bos yang suka menindas bawahannya yang tak berdaya!" seru Puspita dengan entengnya.
"Ya, dan Joe tidak menganggapmu penyuka sesama jenis dan mengambil alih kamarmu!" balas Rani.
Keduanya lalu saling menatap dalam diam, cukup lama mereka saling bertukar tatapan seperti itu, hingga keduanya tertawa begitu kerasnya.
Mereka menertawakan kehidupan mereka yang cukup kacau.
"Mereka pria idiot yang menyebalkan!" ucap Puspita sebal.
"Yah, dan sayangnya sangat tampan! Bagaimana ini? Kita sungguh tidak tertolong teman!" seru Rani sambil tersenyum miris.
"Tenang saja, gadis cantik akan selalu berakhir dengan bahagia! Setidaknya seperti itu dalam novel maupun drama yang kulihat!"
"Kau terlalu banyak membaca novel dan menonton drama, tahu!" cibir Rani.
"Jangan salahkan aku, salahkan para aktor yang sungguh tampan itu!" protes Puspita.
Mereka terus berdebat hingga akhirnya mereka sampai di kampus. Keduanya langsung beranjak pergi menuju taman, karena di sanalah Maya selalu bersantai saat tidak ada kelas atau kelas belum di mulai.
Benar saja, Maya sudah duduk santai di sana dengan sebuah novel tebal yang ia baca.
"Baca apa sih? Serius banget?" Rani menoel dagu Maya lalu mengintip cover novel tersebut.
"Love story? Novel seperti itu sangat menyesatkan! Kisah cinta di sana begitu indah dan manis, tapi pada kenyataannya? Apa sesuatu yang seperti itu memang ada?" Puspita melirik sinis novel yang Maya baca.
"Kalian kenapa? Datang-datang langsung pada nyinyir?"
"Ini bukannya nyinyir, May! Tapi realitanya memang begitu!" protes Puspita.
"Benar juga, di novel yang pernah kubaca, jika seseorang mengejar orang yang ia sukai dengan sepenuh hati, pada akhirnya mereka akan dekat. Tapi, buktinya Ken semakin marah setiap kali aku mengejarnya. Ini membingungkan!" gumam Maya pelan.
Rani tersenyum tipis lalu duduk di dekat Maya.
"Serius, apa yang kau lihat dari pria itu? Dia itu terlihat sangat dingin dan kasar!" Puspita menatap Maya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Dia..."