Chereads / MENGEJAR CINTA YANG SEDERHANA / Chapter 10 - Isi Hati Rani

Chapter 10 - Isi Hati Rani

"Ini!"

Reflek, Rani menangkap tas yang dilempar oleh Rei, ke arahnya.

"Bawa pulang ya, aku mau pergi dulu!" ucap Rei dengan entengnya.

Mata Rani tertuju pada sosok gadis yang tengah bergelayutan manja di lengan Rei.

Oh, astaga! Seolah dirinya akan merebut Rei jika dia melepaskan rangkulannya itu pada lengan Rei.

Gadis itu menatap Rani dengan tatapan nanar.

"Sisakan makanan untukku. Aku mungkin pulang agak malam!" imbuh Rei.

"Pulanglah ke rumahmu sendiri, Rei!"  geram Rani.

Bukannya memikirkan ucapan Rani, Rei malah menunjukkan cengiran lebarnya, dan mengacak-acak pelan pucuk rambut Rani.

"Kau tahu kan? Aku hanya bisa tidur di tempatmu! Ya sudah, aku pergi!" Rei melambaikan tangan dan beranjak meninggalkan Rani.

Rani merasa benar-benar kesal. Serius, ia akan mengunci kamarnya nanti. Ia benar-benar akan menguncinya.

Menyebalkan.

Rani menggeleng pelan, ia tidak habis pikir, kenapa Rei selalu bermain dengan gadis-gadis bodoh itu? Jika ia ingin bersama seorang gadis, pilihlah satu yang baik, Rei sialan.

'Oh Tuhan, jangan biarkan aku menyukai pria itu. Aku tidak akan kuat.' batin Rani menjerit pilu.

Dengan langkah berat, Rani pun berjalan menghampiri Yudha yang sudah menunggunya di parkiran.

***

Astaga!

Rani langsung menutup matanya dan membalikan badan saat Rei keluar dari kamar mandi, hanya dengan sebuah handuk yang melilit di pinggangnya.

Permisi, bukankah ini kamarnya?

"Hei! Bagaimana kau bisa melakukan itu Rei!" sentak Rani tanpa menoleh ke arah Rei.

Rei sendiri hanya menggeleng pelan melihat reaksi Rani. Ia terlihat sangat santai.

"Berisik sekali! Aku kan pakai handuk! Aku tidak telanjang!" sahut Rei dengan entengnya.

"Kau telanjang dada, Rei! Bisakah kau sedikit mengontrol dirimu?! Kau bisa melakukan apa pun di rumahmu! Tapi tidak di sini! Aku ini perempuan! Bagaimana bisa kau seperti itu di depan perempuan!" omel Rani panjang pendek.

Gadis itu bisa mendengar suara decitan almari dan kekehan pelan Rei di sana.

"Memangnya kenapa? Di sini hanya ada kau kan? Sekali pun aku telanjang di depanmu, juga tidak masalah kan? Kau kan tidak tertarik dengan sesuatu sepertiku!"

Mendengar ucapan Rei, langsung membuat dada Rani menjadi sesak. Ia lelah terus mendengar kalimat seperti itu dari Rei. Mereka berteman cukup lama, tapi kenapa pria itu tidak menyadari bahwa Rani bukan seperti yang dia tuduhkan?

"Berbaliklah, aku sudah memakai baju!" kata Rei pelan.

Dengan perasaan kacau, Rani pun berbalik dan menatap pria itu lurus-lurus.

Ia lelah. Benar-benar lelah.

"Rei..." panggil Rani pelan.

"Apa?"

"Kumohon hentikan. Kau menyakitiku!" lirih Rani.

Dengan ekspresi bingung, Rei mendekat pada gadis itu.

"Menyakiti apa? Apa maksutmu?" tanya Rei bingung.

Rani menatap mata Rei dalam-dalam, ia memohon dengan sangat agar Rei mau memahaminya.

"Rei, aku bukan perempuan seperti itu. Aku tidak menyukai sesama jenis. Berhentilah menganggapku seperti itu!" dengan susah payah, kalimat itu keluar juga dari mulut Rani.

Dada gadis itu masih terasa sesak. Ia tidak bisa menanggungnya lagi.

Rei membelai puncak kepala Rani dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Ia menatap gadis itu lekat-lekat.

"Rani, aku adalah temanmu. Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku. Tidak masalah bagiku jika kau menyukai perempuan. Jika itu yang bisa membuatmu bahagia, aku tidak terganggu sedikit pun!" Rei berujar pelan.

Setetes air mata Rani jatuh begitu saja. Setelah susah payah ia membuat pengakuan, Rei tetap saja tidak mempercayainya.

Ini salah. Rei harus percaya. Rani tidak sanggup lagi dianggap seperti itu oleh Rei.

"Aku tidak menyukai perempuan, Rei!" lirih Rani.

Sekali lagi, gadis itu mencoba meyakinkan Rei.

"Rani, tenanglah, sudah kubilang bukan? Kau tidak perlu berpura-pura di hadapanku! Jadilah dirimu sendiri! Aku tidak keberatan!"

Rani menggeleng pelan. Entah harus berapa kali lagi ia mengucapkan kalimat itu.

"Aku tidak menyukai perempuan!" Rani mengatakannya dengan suara bergetar.

Mereka masih saling memandang satu sama lain.

"Rani, sudahlah. Kita hentikan percakapan bodoh kita ini. Istirahatlah, aku akan pergi!"

'Bahkan, jika aku mengatakannya puluhan kali, kau tidak akan mempercayaiku!' batin Rani berujar pilu.

Rei mengusap puncak kepala Rani pelan, dan beranjak pergi melewati gadis itu. Namun, dengan cepat Rani meraih tangan Rei dan menghentikan langkahnya.

"Aku belum selesai!" seru Rani pelan.

"Aku akan membuktikannya padamu Rei! Aku tidak peduli jika orang lain menganggapku lesbi. Tapi tidak denganmu. Kau adalah temanku. Seharusnya kau tau yang sebenarnya!"

Rei tertegun, ia menatap Rani dengan bingung. Ia berusaha keras untuk memahami gadis di hadapannya itu.

Rei lalu menatap manik mata Rani dalam-dalam.

"Seorang lesbian, hanya tertarik kepada perempuan, kan? Dia tidak punya rasa ketertarikan dalam bentuk apa pun terhadap seorang pria. Tapi aku punya Rei! Aku punya!"

Setelah mengatakan itu, Rani mendekat ke arah Rei dan mengikis jarak di antara mereka. Gadis itu berjinjit dan menarik tengkuk Rei mendekat padanya.

'My first kiss.' batin Rani sendu.

Rani menempelkan dengan lebut bibirnya pada bibir tebal Rei.

Jantungnya berdegup begitu kencang, entah karena itu yang pertama untuknya, atau karena ia memang menyukai Rei.

Gadis itu pun memberanikan diri menggerakan bibirnya lembut untuk menyapu bibir Rei.

Rani menikmatinya.

Ciuman sepihaknya.

Rei sendiri masih terdiam. Cukup lama Rani melakukannya, hingga tiba-tiba tangan Rei melingkar di pinggang gadis itu dan mulai membalas ciuman Rani.

Rei mulai menyesap pelan bibir bawah gadis itu. Ia bahkan memiringkan kepalanya untuk memperdalam ciuman mereka.

Dengan bibir yang masih bertautan, Rei mendorong Rani perlahan dan menindih tubuh gadis itu di ranjang.

Rani tidak peduli. Ia menginginkan Rei.

Namun, tiba-tiba Rei menghentikan ciumannya, pria itu menarik wajahnya dan menatap Rani sendu. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, menerima tatapan yang seperti itu dari Rani, membuatnya bingung.

Rei membantu Rani menegakkan badan dan mereka pun duduk bersebelahan di pinggir kasur.

Rei memejamkan matanya dan menghela napas panjang. Dan tak lama kemudian, Rei membuka matanya, lalu menatap Rani dalam.

Masih dengan tatapan yang sama. Tatapan sendu yang entah apa artinya.

Tangan Rei terulur dan membelai lembut pipi Rani.

"Maafkan aku, Rani. Selama ini, pasti sangat menyakitkan untukmu!" ucap Rei pelan.

Sebisa mungkin Rani tersenyum menanggapi ucapan Rei. Setidaknya, sekarang pria tahu kebenarannya.

"Kenapa selama ini kau menahannya? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku lebih awal?"

Lagi-lagi Rani hanya bisa tersenyum getir merespon ucapan Rei.

"Aku pasti sangat menyakitimu ya?" tanya pria itu ragu.

Rani menunduk menyembunyikan air matanya yang perlahan turun membasahi pipinya. Tak lama, gadis itu terisak pelan.

"Aku tidak menyukai perempuan!" ucap Rani di sela-sela isakannya.

Rei menarik Rani dan membawa gadis itu ke pelukannya. Ia mendekap Rani dengan sangat erat.

"Maaf, Rani. Maafkan aku." lirih Rwi.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Rani, ia menunjukkan air matanya di depan orang lain.

Tapi sungguh. Ia sudah tidak kuat lagi. Ini lebih dari apa yang bisa ia terima.