"Pus!" teriak Joe saat Puspita melewati kelasnya.
Gadis itu langsung menghentikan langkahnya dan berbalik dengan kesal ke arah kakak tirinya itu.
Dengan cepat, Joe merapikan buku-bukunya dan menghampiri gadis itu.
"Apa?" tanya Puspita malas.
"Ikut aku!" Joe langsung meraih tangan Puspita dan membawanya ke suatu tempat.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" Puspita terlihat panik dan langsung memberontak mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Joe.
Joe sendiri hanya diam lalu mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya, ia lalu membuka pintu dari sebuah ruangan yang terlihat sangat tidak terawat.
"Joe, kumohon jangan, bukankah aku selalu melakukan apa pun yang kau inginkan? Joe, ingatlah, meskipun kau membenciku, aku tetaplah adikmu. Kau tidak boleh melakukan ini padaku. Kumohon ampuni aku!" celoteh Puspita saat Joe menyeretnya masuk ke dalam ruangan tersebut.
Joe langsung menghempaskan Puspita dengan kasar hingga gadis itu nyaris terjatuh.
"Dasar bodoh! Apa yang kau pikirkan? Apa kau pikir aku membawamu kemari untuk memperkosamu? Jangan bercanda!"
Joe menggelengkan kepalanya melihat wajah ketakutan Puspita.
"Bukan ya?" tanya gadis itu dengan polosnya.
"Bukan! Tapi kalau kau menginginkannya, aku tidak keberatan bermain denganmu!" gurau Joe.
Puspita langsung beringsuk mundur dan mengibas-ngibaskan tangannya dengan cepat.
"Tidak, tidak! Jangan! Tidak Joe, tidak!" serunya cepat.
Joe menahan tawanya melihat sikap gadis konyol itu.
"Cepat bersihkan tempat ini! Pel sampai mengkilap dan buat ruangan ini seharum mungkin!"
"APA?" pekik Puspita kaget setelah mendengar perintah Joe.
"Kau tidak dengar? Bersihkan gudang tua ini! Kau harus membuat ruangan ini jadi tempat yang nyaman dan wangi. Aku berencana menggunakan gudang tua ini untuk latihan band dengan teman-temanku!"
Puspita menggeleng menatap Joe tak percaya.
"Kan sudah ada ruang musik. Kenapa malah memilih gudang tua ini? Kau memang sengaja mau menyiksaku ya?"
Joe menghampiri Puspita dan menyentil dahi gadis itu dengan kesal.
"Argh!" rintih Puspita sambil mengusap kasar keningnya.
"Jangan banyak bicara dan kerjakan saja apa yang kuperintahkan!"
"Tapi Joe, aku ada kelas!"
"Aku tidak peduli, kau mau membersihkan tempat ini atau mau bersenang-senang denganku saja?" ancam Joe.
Puspira terlihat gugup dan langsung mengambil sapu di sudut ruangan.
Tanpa mengatakan apa pun, gadis itu langsung mulai membersihkan tempat itu.
Joe duduk di kursi di ujung ruangan dan terus mengawasi pergerakan Puspita. Dia terus membersihkan tempat itu tanpa suara.
Dengan wajah cemberut, Puspita mulai memindahkan bangku-bangku rusak ke sisi gudang yang lain.
Joe tersenyum melihat Puspita yang mulai terlihat lelah.
"Panas sekali." gumam Puspita lalu melepas jaketnya.
Gadis itu mengambil sebuah handuk kecil dari dalam tasnya dan menggunakanya untuk menyeka keringat di lehernya.
'Damn it!' teriak Joe dalam hati.
Puspita terlihat sangat berbeda. Dia terlihat begitu indah. Oh, apa yang terjadi pada Joe? Kenapa melihat Puspita bisa membuatnya gugup?
"Pus!" seru Joe kesal.
"Apa?" sahut gadis itu malas.
"Apa kau mau menggodaku? Kenapa kau memperlihatkan tubuhmu padaku?!" ketus Joe.
"Apa?" pekik Puspita bingung.
"Jangan lakukan itu lagi atau aku tidak akan sungkan lagi!" ancam Joe. Ia lalu menatap Puspita tajam.
Joe menggeleng pelan, ia langsung berdiri dan beranjak menuju pintu.
"Joe, mau ke mana?"
"Pergi. Kau teruskan saja. Jangan pulang sampai tempat ini bersih!" Joe langsung melangkah meninggalkan gudang.
***
"Apa yang kau lakukan? Makanlah pelan-pelan, astaga! Mana ada pria yang mau denganmu kalau kau tidak menjaga image seperti itu!"
Rei mengambil tisu dan menggunakannya untuk membersihkan sisa makanan di sudut bibir Rani. Saat ini mereka sedang berada di kafetaria kampus mereka.
Drrrt drrrt drrrt
Rani langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya dari sana saat benda itu bergetar.
Rani mengernyit bingung melihat telepon yang ternyata dari Puspita.
"Hai, Pus!" ucap Rani begitu telepon tersambung.
"Ran, tolong aku!"
"Ada apa? Terjadi sesuatu?"
"Iya, pergilah ke gudang tua! Joe menyiksaku!"
Mendengar itu, Rani langsung menutup teleponnya dan menyeret Rei pergi meninggalkan kafetaria.
"Ada apa?" seru Rei bingung.
"Pus dalam bahaya. Kelinci brengsek itu berulah lagi!" sahut Rani cepat.
Meskipun tampak bingung, Rei pasrah saja mengikuti Rani.
"Pus!" teriak Rani sambil membuka dengan kasar gudang lama yang Puspita sebutkan di telepon.
Saat dia mengatakan Joe sedang menyiksanya, Rani pikir adalah siksaan yang benar-benar siksaan. Tapi apa-apaan ini?
Hanya ada Puspita di dalam tanpa Joe.
Puspita menunjukkan cengiran anehnya sambil menggoyang-goyangkan sapu di tangannya.
"Jadi? Bahaya apa yang menimpamu?" tanya Rei tanpa basa-basi.
"Tidak ada bahaya! Hanya siksaan tanpa akhir. Lihatlah aku. Aku lelah dan tak berdaya. Hei! Kalian cepat bantu aku! Kita harus membereskan gudang ini dan menyulapnya menjadi tempat yang layak huni!" sahut Puspita.
Astaga.
Rani meninggalkan makanan lezatnya hanya untuk membantu Puspita membereskan gudang? Gadis itu langsung lemas seketika.
"Rei, tolong pindahkan bangku-bangku itu ke gudang sebelah ya!" pinta Puspita tanpa sungkan.
Rei menggelengkan kepalanya cepat.
"Apa yang kudapat jika membantumu?" seru Rei sambil melipat tangannya di dada.
"Aku akan mentraktirmu!" sahut Puspita.
"Sayang sekali aku sudah kenyang. Aku baru selesai makan saat kau menelepon Rani tadi!"
"Kalau begitu, aku akan membelikanmu komik terbaru. Rani bilang, kau suka baca komik!"
"Tidak terima kasih. Aku bisa membelinya sendiri."
"Rani akan memberimu hadiah kalau kau membantuku!" celetuk Puspita tiba-tiba.
Rani langsung membulatkan matanya mendengar tawaran Puspita. Astaga gadis itu memang tak bisa dipercaya. Apa yang dia pikirkan??
"Oke!" sahut Rei cepat.
Tanpa menoleh ke arah Rani, Rei pun langsung beranjak menuju tumpukan bangku di ujung ruangan dan langsung mulai memindahkannya ke gudang sebelah.
"Kau pasti sudah gila! Kenapa melibatkan aku?" seru Rani kesal.
Rani menghampiri Puspita dan melepas jaketnya. Ia lalu melingkarkannya ke pinggangnya dan mengikatnya erat.
"Sudahlah, aku butuh tenaga pria! Tidak mungkinkan kita para perempuan cantik ini mampu memindahkan itu semua hari ini? Ini, tolong sapu yang sebelah sana!" Puspita menyodorkan sapu yang ia pegang kepada Rani. Ia lalu beralih mengambil sapu lainnya di sudut ruangan.
"Hei, aku punya ide tentang si saudara tiri menyebalkanmu itu!" seru Rani yang langsung membuat Puspita berlari menghampirinya.
"Katakan!" desak Puspita.
"Kalau kau tidak bisa menolaknya, kenapa tidak mencoba mengambil hatinya saja? Dengan begitu, dia tidak akan memperlakukanmu dengan buruk lagi!"
"Apa itu mungkin?" tanya Puspita ragu.
"Kenapa tidak? Demi Tuhan, Pus! Turunkan sedikit egomu, dan coba dekati dia. Coba mencari tahu apa yang dia suka dan tidak suka, jadilah adik tiri yang manis dan baik. Mungkin dia tidak akan membencimu dan mengganggumu lagi!"
Puspita memutar matanya malas dan kembali menyapu lantai.
"Jadi adik tiri yang baik ya? Ehm, setauku tidak ada yang dia suka, tapi aku tahu apa yang tidak dia suka! Aku!" seru Puspita frustrasi.
Entah Rani harus kasihan atau tertawa mendengar jawaban Puspita. Oh, sahabatnya yang malang.
"Kau hanya belum mengenalnya! Pasti ada alasan kenapa dia tidak menyukaimu!" samber Rei.
Rei kembali mengambil beberapa buah bangku dan memindahkannya.
"Alasan ya? Ran, menurutmu kenapa dia membenciku?"
Sekeras apa pun Rani berpikir, ia tidak tahu jawabannya, jadi ia menyerah saja.
"Bagaimana jika kau tanyakan langsung pada kakak tirimu yang tampan itu?"
"Begitukah?"
"Entahlah. Coba saja. Hei! Bagaimana jika kau minta bantuan Yudha? Suruh Yudha menyewa bodyguard untukmu, jadi Joe tidak akan bisa mendekat dan mengganggumu lagi!" seru Rani.
"Oh, my Rani! Kau terlalu banyak menonton drama. Apa tidak ada ide lain yang lebih konyol? Bodyguard itu mungkin saja bisa melindungiku di luar! Tapi bagaimana di rumah? Kelinci itu akan langsung membunuhku di rumah! Kalau kau lupa, kamarnya tepat di sebelah kamarku! Bisa saja dia mencekikku saat bodyguard itu tidak ada!"
Rani terkekeh geli mendengar ocehan Puspita. Dia itu, kasihan sekali.