Rei terdiam, batinnya langsung bergejolak, mengumpat, dan memaki dalam diamnya.
Siapa yang tidak akan merasa marah, sedih, dan kecewa saat seseorang yang kita hormati, kita kasihi, membuat kesalahan yang fatal dan memuakkan seperti yang dirinya alami sekarang?
"Ma, apa yang kau lakukan?" Rei menatap ibu dan simpanannya itu, tak percaya.
Sekarang, ibunya bahkan berani membawa selingkuhannya ke rumah. Setelah kemarin ayahnya membawa wanitanya, sekarang ibunya melakukan hal yang sama?
Apa mereka sudah tidak waras? Kenapa tidak sekalian bercerai saja?
"Rei?" Bu Rina membenarkan posisi duduknya sambil mengancingkan kembali kancing bajunya yang terlepas.
Rei langsung berjalan cepat meninggalkan mereka, dan menuju kamarnya.
Namun, ibunya menyusul dan menghentikan langkahnya.
"Rei," panggil Bu Rina dengan begitu lirih.
"Kenapa kalian tidak bercerai saja? Kalian bisa menikah lagi dengan pilihan kalian masing-masing. Kenapa melakukan ini?" ketus Rei.
"Rei!" sentak sang ibu
"Apa? Kenapa? Kalau kau tidak bisa menghargai suamimu, bisakah kau menghargaiku? Aku masih anakmu, 'kan? Menurutmu, bagaimana rasanya menjadi aku? Saat melihat ibuku disentuh pria lain yang bukan ayahku!" Rei tidak bisa mengendalikan amarahnya lagi.
"Rei, maafkan mama, Nak."
"Aku sudah sering mendengarmu meminta maaf. Tapi kau masih saja mengulangi kesalahan yang sama. Jika kau sudah tidak mencintai suamimu, ceraikan saja dia!"
Plak!
Rasanya perih. Hati Rei terasa perih, saat tangan wanita itu terangkat dan menamparnya. Selama ini, ia selalu memimpikan tangan itu untuk membelai pipinya, mengusap kepalanya, dan menghapus semua air matanya. Tapi yang ia dapat hanyalah tamparan yang cukup keras.
"Aku masih ibumu! Jaga bicaramu!" sentak Bu Rina.
Rei terdiam, ia lalu tersenyum getir menatap wanita yang tengah terisak pelan di hadapannya itu.
"Tanyakan pada dirimu sendiri, masih pantaskah kau di panggil ibu? Apa kau sudah melakukan peranmu sebagai seorang ibu dengan baik? Apa yang sudah kau lakukan untuk anakmu? Sudahkah kau memasakkan makanan untuknya? Merawatnya saat ia sakit, dan menghapus air mata yang mengalir dari matanya? Katakan apa yang sudah kau lakukan untuk anakmu hingga kau pantas dipanggil ibu!" Rei benar-benar sudah tidak tahan lagi untuk menyimpan keluh kesahnya selama ini.
Bu Rina hanya terdiam dan terisak pelan sambil memandangi telapak tangan yang baru ia gunakan untuk menampar anaknya.
"Hentikan tangisanmu itu! Aku tidak tahan mendengarnya! Kembalilah ke pelukan priamu itu!" ucap Rei dengan suara berat.
Bu Rina langsung terduduk lemas di lantai dengan isakan yang semakin menjadi-jadi.
Rei sendiri langsung masuk ke dalam kamarnya, mengambil tasnya, dan memasukkan beberapa potong baju dan dokumen penting lainnya ke dalam tas.
"Aku pergi. Panggil aku kembali jika kau sudah siap untuk menjadi ibu yang baik untukku!" serunya dengan ekspresi datar.
Rei langsung beranjak meninggalkan ibunya yang terus memanggil nama Rei dalam tangisnya.
***
"Rei?" pekik Rani kaget, saat gadis itu baru saja masuk ke dalam kamarnya.
Ia begitu terkejut melihat Rei yang terlihat sangat kacau di sana.
Rei menoleh sekilas ke arah Rani dan tersenyum getir. Ia lalu duduk di lantai dan menyandarkan kepalanya pada tepian kasur.
Rani melempar tasnya, dan langsung menghampiri Rei, lalu duduk di sebelah pria itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Rani khawatir.
Rei menengadahkan wajahnya menatap langit-langit kamar. Ia lalu menghela napas berat yang sangat panjang.
"Rei?"
Rei menegakkan badannya dan menatap gadis di sebelahnya itu dengan mata sayunya.
"Ran, maukah kau memelukku? Aku sangat kacau!" lirih Rei.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Rani pun langsung menarik tubuh Rei, dan memeluknya erat.
"Rasanya sakit sekali, Ran!" racau Rei.
Rani terdiam dan hanya memeluk Rei dengan erat. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada pria itu. Dan ini pertama kalinya ia melihat Rei sekacau ini. Rani benar-benar tidak menyukainya.
"Hei, apa yang terjadi?" tanya Rani pelan.
"Jangan bertanya, kumohon!" sahut Rei pelan.
Rani terdiam, ia memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun sampai Rei merasa lebih baik.
Pria tengil, menyebalkan, jarang berpikir, dan jago bela diri seperti dia, bisa terluka karena apa memangnya?
Rani menghela napas panjang. Karena sama-sama terdiam, mereka pun merasa lelah dan tertidur di sana.
Saat Rei bangun, ia melihat wajah lelap Rani yang begitu damai. Gadis itu masih memeluknya meski pelukannya sudah begitu lemah.
Rei pun melepaskan pelukan Rani darinya, lalu mengangkat tubuh gadis itu dan menidurkannya di tempat tidur. Setelah membenahi selimut Rani, Rei langsung keluar dari kamar gadis itu, dan menuju ruang tamu untuk mengobrol dengan Bibi Hana.
"Sudah bangun?" tanya Bibi Hana tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
"Bibi tahu kami tertidur? Kenapa tidak membangunkan kami?" Rei mengusap tengkuknya dengan bingung. Ia lalu duduk di samping Bi Hana dan menyandarkan punggungnya pada sofa.
"Kalian terlihat sangat manis saat bersama. Bibi tidak mau merusak suasana. Ah, bibi mengambil foto kalian tadi, mau lihat?" Bi Hana menoleh ke arah Rei dengan cengiran lebar yang sangat aneh.
"Tidak! Oh, itu pasti menggelikan! Bibi bisa menyimpannya untuk diri Bibi sendiri!" seru Rei yang merasa ngeri.
"Katakan saja kalau berubah pikiran, bibi akan menyimpannya!" sahut Bi Hana, lalu kembali memfokuskan diri pada sinetron yang sedang ditayangkan di televisi.
"Bi," panggil Rei pelan.
"Ha?"
"Bibi tahu kalau Rani tidak lesbi?" tanya Rei penasaran.
Mendengar pertanyaan tersebut, membuat fokus Bi Hana pada sinetron di hadapannya langsung buyar begitu saja. Terasa ada yang menggelitik di dalam perutnya.
"Kau pikir keponakanku lesbi?" pekik Bi Hana sambil menahan tawanya.
"Bibi pikir, kau selalu datang kemari karena menyukai Rani. Tapi kau menganggap dia lesbi? Nak, apa kau buta? Rani itu perempuan normal! Dia menyukai pria!"
Rei langsung merengut. Rei langsung merasa bahwa dirinya itu memang buta.
Mereka sering menghabiskan waktu bersama, bagaimana ia tidak menyadarinya?
Rei menghela napas berat dan menepuk keras keningnya.
"Hei, bagaimana menurutmu? Rani itu cantik, pintar, dan sexy! Kau tidak ingin berkencan dengannya? Ayolah, kenapa kalian terus berteman? Kalian membuat Bibi gemas tahu tidak?"
"Masalahnya adalah, Rani itu masih tidak tersentuh, dan aku sudah menyentuh banyak gadis!" sahut Rei asal.
"Jika kalian saling suka, sesuatu seperti itu bukanlah masalah besar. Tidak ada manusia yang suci di dunia ini, Nak! Dan Rani adalah gadis dengan pemikiran yang dewasa. Dia tidak akan mempermasalahkan hal itu!"
"Begitukah?"
"Ya!"
Rei tersenyum tipis. Jika dipikir-pikir, dirinya merasa sangat nyaman berada di dekat gadis itu, dan benar kata Bi Hana, bahwa Rani itu cantik, pintar, dan sexy. Tapi, masalahnya adalah, mereka sudah sangat dekat sebagai teman. Bagaimana cara merubah status itu? Bagaimana cara memulainya?
Rei kembali menghela napas panjang.