Saat ini, Naya tengah berada di depan gedung MNU. Ya, ia masih di Indonesia. Gadis itu memutuskan untuk tinggal, setelah melihat betapa buruk kondisi Maya.
Naya melangkah turun dari mobil, yang sebenarnya adalah salah satu mobil milik ayah Maya. Oh, apa yang gadis itu pikirkan? Ayah Maya adalah ayahnya juga, 'kan?
Naya sudah mengurus kepindahannya seminggu yang lalu. Dan ya, ia putuskan untuk melanjutkan kuliahnya di sini, di Medan National University. Mereka bilang, ini adalah salah satu universitas terbaik di Indonesia. Jadi, bagus juga jika ia kuliah di sana.
Saat Naya melangkah pergi meninggalkan parkiran, tiba-tiba saja seseorang datang dari arah belakangnya, dan berhambur merangkul pundak gadis itu. Tentu saja gadis itu terkejut. Ia berada di tempat yang masih asing baginya, sangat tidak wajar jika ada seseorang yang melakukan ini padanya.
"Ganti warna rambut, huh?" serunya dengan santai.
'Apa-apaan pria ini?' batin Naya.
Naya menghentikan langkahnya dan melepaskan rangkulan pria itu dengan paksa dari pundaknya. Tanpa mengatakan apa pun, ia langsung memukul kepala pria itu dengan segepok buku yang sedari tadi ia dekap di dadanya.
"Woi!?! Sakit, bego!" sentak pria itu sambil mengusap-usap kepalanya.
"Bagaimana kau bisa merangkul perempuan yang tidak kau kenal? Dan kau memakiku? Kau bercanda, huh?" balas Naya tak kalah kesal.
"Apanya yang tidak kenal? Wah, bagus sekali. Aku baru pergi beberapa minggu dan kau sudah langsung melupakanku? Keterlaluan!" pria itu menatap tajam manik mata Naya.
"Dasar tidak waras," gumam Naya.
Pria itu berkacak pinggang, tatapan tajamnya tak pernah teralih dari manik mata Naya. Tiba-tiba, terdengar suara cekikikan dari arah belakang mereka.
Dua gadis datang dengan kekehan pelan dan tatapan heran yang tertuju pada si pria. Ah, Rani dan Puspita. Mereka sudah pernah bertemu dengan Naya sebelumnya, di rumah sakit saat mereka mengunjungi Maya.
Mereka menggeleng pelan. Siapa sangka bahwa Yudha tidak bisa mengenali Naya? Ayolah, gadis itu mungkin terlihat sangat mirip dengan Maya. Namun, dari penampilan dan segalanya, mereka benar-benar berbeda. Tidakkah Yudha menyadarinya?
"Yudha itu memang bodoh," gumam Pus sambil menahan tawanya.
Yudha? Ah, sekarang Naya mengerti, ia pernah mendengar nama itu dari Maya sebelumnya.
'Astaga, apa tadi aku memukulnya?'
"Kenapa dengan kalian?" ketus Yudha saat melihat gelagat aneh dari Rani dan Puspita.
"Hei! Kau lihat gadis ini baik-baik!" kata Rani sambil merangkul pundak Naya.
Pria bernama Yudha itu, langsung menatap Naya lurus-lurus.
Ia menyelidik menatap gadis itu dari atas sampai bawah.
"Apa kalian melakukan make over pada Maya? Well, ya. Dia sedikit berubah," gumam Yudha pelan.
"Sudah kubilang, 'kan? Yudha itu memang bodoh!" kata Puspita sambil menatap ke arah Naya dan Rani bergantian.
"Memangnya Maya akan mau dirubah penampilannya?!" sloroh Rani kesal.
"Ah, benar juga. Meskipun kau memaksanya, dia tidak akan mau." Yudha mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Namun tiba-tiba, matanya terbuka lebar dan ia mendekat ke arah Naya.
"Jangan-jangan ... Kau itu, Naya?" ucap Yudha penuh selidik.
"Dia memang bodoh!" seru Rani yang tengah melirik Naya, sambil menunjuk ke arah Yudha.
***
Maya, merengut melihat pantulan wajahnya di cermin. Tidak tahu mengapa, tubuh gadis itu terasa begitu lemah. Tidak seperti biasanya.
Dan, wajahnya begitu pucat. Sangat mengerikan.
Maya melirik sekilas jam dinding di dekat jendela, sebentar lagi Ken pasti datang. Ia tidak mau terlihat sekacau ini di depan pria itu.
Perlahan, Maya turun dari kasur, dan mengambil tasnya di almari. Ia lalu mengambil tas make up-nya.
Perlahan, gadis itu memoleskan bedak tipis, dan juga sedikit blush on pada wajahnya, untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat sangat pucat. Tak lupa, ia juga memakai lipstik warna pink untuk membuatnya terlihat lebih segar.
'Nah, begini baru cantik!' batin riang gadis itu.
"Mau ke mana? Kenapa berdandan?"
Suara Ken terdengar dari arah pintu.
Maya tersenyum lebar, ia langsung menoleh ke arah pemilik suara tersebut. Ken yang baru saja masuk, langsung menatap Maya bingung, pria itu langsung menghampiri Maya.
"Aku hanya ingin terlihat cantik di depanmu!" sahut Maya apa adanya.
Ken tersenyum, ia lalu mengusap lembut puncak kepala gadisnya itu. Dengan hati-hati, Ken mengangkat tubuh Maya, dan menggendong gadisnya itu untuk kembali beristirahat di atas kasur.
"Kau memang selalu terlihat cantik di mataku. Dengan atau tanpa make up!"
seru Ken pelan.
"Istirahat yang banyak, May." bisik pria itu dengan mesranya, setelah meletakkan Maya di atas kasurnya.
Maya tersipu malu mendapat tatapan hangat dari Ken. Ia menarik lengan Ken, agar pria itu duduk di tepian kasur menghadap ke arahnya.
"Ken," panggil Maya.
"Ya?"
"Aku sudah siap!"
Ken menatap Maya bingung, namun tak lama kemudian, ia langsung tersenyum sangat manis. Senyum separo yang selalu ingin Maya lihat dari wajah prianya itu.
Ken tahu benar apa yang Maya maksutkan. Ya, ciuman pertama mereka.
"Aku mencintaimu!" ucap Ken setengah berbisik.
Kalimat singkat tersebut, sukses membuat Maya menjadi gugup. Tanpa aba-aba, jantungnya langsung berdetak tak beraturan.
Perlahan, Ken mendekatkan wajahnya ke arah Maya. Dengan debaran jantung yang menggila, Maya pun memejamkan matanya, hingga ia merasakan sesuatu yang sangat lembut, menyentuh bibirnya.
Bibir Ken menyapu lembut bibir Maya, dan sapuan lembut tersebut, perlahan berubah menjadi lumatan-lumatan yang begitu lembut dan memabukkan.
Napas Maya langsung menderu menahan sensasi aneh yang menjalar di tubuhnya.
Ia meraih tengkuk Ken, dan memperdalam ciuman mereka. Ken memiringkan kepalanya dan melesakkan lidahnya masuk.
Rasanya sangat aneh saat lidah pria itu menyentuh lidahnya. Tubuh gadis itu langsung meremang.
Ken melepaskan tautan mereka saat napas Maya mulai tersengal-sengal.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Ya." sahut Maya pelan.
"Kau sesak napas?"
"Tidak, Ken. Ini bukan sesak napas. Napasku tersengal karena menahan gairah. Kenapa kau menghentikannya?"
Ken menatap Maya ragu, namun akhirnya, ia tersenyum dan kembali merengkuh tubuh Ken. Gadis itu kembali menyecap bibir Ken dengan penuh perasaan.
Cukup lama mereka berciuman, hingga ia merasa benar-benar lelah, dan mengakhiri ciumannya.
"Oh, bibirmu terkena lipstikku." seru Maya sambil menghapus noda merah di bibir Ken.
Ken menatap Maya sayu, lalu menggeleng lemah.
"Ini bukan lipstik, May. Ini darah," lirih Ken.
Maya menggeleng lemah. Ia terus menghapus noda merah di bibir Ken.
"Aku akan memanggil Dokter Heru." seru Ken pelan.
"Tidak! Ken jangan, aku baik-baik saja."
"May!"
"Kau tahu, 'kan? Darah memang sering keluar dari mulutku. Itu hal yang biasa. Jangan memanggil Dokter Heru. Aku tidak ingin melihatnya saat ini, dia akan terus mengomel, dan itu merusak mood-ku yang sudah sangat bagus hari ini.
Ken menggeleng pelan. Ia lalu menatap Maya sendu. Tangannya terulur dan menghapus bercak darah di bibir Maya dengan ibu jarinya.