Angin dingin berhembus kencang menembus sela-sela kaca jendela kamar rawat Maya yang sedikit terbuka. Maya menatap ke luar jendela dan tersenyum miris.
Sepertinya, musim penghujan akan segera tiba. Anginnya bertiup begitu sendu, menerbangkan dedaunan kering yang terlepas dari tangkainya.
Dengan menyeret tiang infus-nya, Maya meraih sebuah buku serta pena di atas meja, ia lalu melangkah perlahan menyusuri koridor rumah sakit. Gadis itu menuju taman yang tak jauh dari kamar rawatnya.
Cuaca di luar cukup cerah, meski berangin. Maya pun duduk di bangku panjang berwarna putih sambil menatap bunga-bunga indah yang bergoyang karena ditiup angin.
"Aku lelah," gumamnya sambil menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi.
Dengan gerakan pelan, Maya membuka buku kosong di pangkuannya, dan mulai menggoreskan tinta di atas lembaran kosong buku tersebut.
"Aku menyayangi kalian," gumam Maya pelan.
***
Naya mondar-mandir dengan gelisah di dekat pintu. Sekali lagi, ia melirik ke arah Maya yang tengah memakan buah dengan santainya.
"Pergilah!" Maya menatap saudara kembarnya itu kesal.
Naya menghela napas kasar, lalu menghampiri Maya.
"Aku tidak ingin meninggalkanmu!" seru Naya dengan tatapan aneh.
"Tapi kau harus pergi! Nay, ayolah, pergi sana! Kau membuatku pusing!" seru Maya lemah.
Sekali lagi, Naya menghela napas kasar dan mempoutkan bibirnya.
Ia harus pergi mengurus beberapa dokumen untuk kuliahnya, namun hati kecilnya berkata lain. Ia ingin tetap tinggal untuk menemani Maya.
"Pergi, Nay! Pergi! Sebentar lagi Ken akan datang. Dia akan menjagaku, tenang saja!"
Naya mengabaikan ucapan Maya dan malah duduk bersandar di sofa sambil memperhatikan Maya.
Cklek!
Kedua gadis tersebut langsung menoleh dengan kompak saat pintu terbuka. Ken muncul dari balik pintu, dan sedikit terkejut melihat kedua gadis yang berada di dalam sana menatapnya begitu tajam.
"Apa aku datang di saat yang tidak tepat? Oke aku pergi!" Ken hendak berbalik menuju pintu, namun kedua gadis tersebut berseru dengan kompaknya.
"Tidak!"
"Ken, sini!" panggil Maya lemah.
Mendengar suara kekasihnya yang terdengar begitu lemah, Ken langsung memutar tubuhnya dengan cepat dan menghampiri Maya.
"Sini." rengek Maya, lalu berhambur memeluk Ken.
"Hei! Jangan bermesraan di depanku!" seloroh Naya sambil menatap kesal ke arah Maya dan Ken
"Kalau begitu, cepat pergi!" usir Maya.
Dengan sangat amat terpaksa, Naya pun mengalah dan pergi meninggalkan kamar Maya. Yah, lebih baik pergi secepat mungkin, jika harus melihat mereka bermesraan.
"Kalian kenapa sih?" tanya Ken bingung.
Maya hanya menggeleng pelan dan mempererat pelukannya.
"I love you," gumam gadis itu lemah.
Mendengar pernyataan cinta dari gadisnya itu, Ken tersenyum dan membalas pelukan Maya dengan dekapan yang sangat hangat.
"Love you more." balas Ken pelan.
Ken mengendurkan dekapannya dan mengecup bibir Maya lembut.
"Ken, ayo kita pergi!"
"Pergi? Ke mana?"
"Aku ingin pergi melihat bunga-bunga yang bermekaran di taman. Ayo kita pergi ke tempat aku bisa melihat mereka!"
Dengan ragu, Ken melepaskan pelukan Maya, ia lalu menatap gadisnya itu lekat-lekat.
"Cuacanya sedang tidak bagus, kau harus istirahat! Bagaimana jika kau kelelahan nanti? Itu tidak baik untuk kesehatanmu!"
"Bukankah kau bersamaku? Apa yang akan kutakutkan? Ayolah!" desak Maya.
Meski Ken terus menolak, Maya terus saja merengek dan mendesak pria itu agar mau menurutinya.
Akhirnya, setelah perjuangan keras, Ken pun bersedia membawa Maya ke luar ke taman yang berada tak jauh dari rumah sakit.
Dan, di sinilah sepasang kekasih itu berada, berjalan menyusuri jalan setapak di sebuah taman dengan pohon-pohon rindang di kanan kiri mereka.
"Indah," gumam Maya pelan.
Ia berjalan beriringan dengan Ken sambil menikmati pemandangan bunga-bunga matahari yang sedang bermekaran.
"Tidak seindah dirimu." sahut Ken datar.
Mendengar pujian dari sang kekasih, Maya langsung tersipu malu dan menghentikan langkahnya, membuat Ken ikut menghentikan langkahnya juga.
"Ken?"
"Hum?"
"Kau tahu? Aku sudah cukup bahagia saat ini. Aku benar-benar sangat bahagia!"
Ken menatap gadis itu dengan perasaan campur aduk. Entah mengapa, ucapan Maya terdengar menakutkan.
"Tidak. Belum cukup, jangan mengatakan itu! Jangan! Kau belum cukup bahagia! Aku akan membuatmu lebih bahagia lagi nanti!" seru Ken cepat.
Mendengar ucapan Ken, membuat Maya tersenyum lebar, ia langsung beringsuk memeluk kekasihnya itu.
"Aku suka parfume-mu! Aroma Ken. Aku menyukainya," gumam gadis itu pelan.
"Kau menyukai parfume-ku atau menyukaiku?"
"Keduanya!" sahut Maya sambil melepaskan pelukannya.
"Mau jalan lagi?" Ken menatap Maya lembut.
Maya mengangguk pelan sambil tersenyum.
"Tapi aku lelah." lirih Maya.
Tanpa mengatakan apa pun, Ken langsung mengambil posisi di depan Maya dan berjongkok.
"Naiklah ke punggungku!" kata Ken pelan.
Dengan senyum merekah, Maya langsung berhambur ke punggung Ken, dan mengalungkan tangannya di leher pria itu.
Ken pun kembali melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak.
"Ken, aku mencintaimu." ucap Maya tiba-tiba.
Begitu banyak kata cinta yang Maya ucapkan hari ini. Dan itu membuat Ken merasa takut.
Maya memeluknya, menciumnya, mengatakan hal-hal manis, tidak seperti biasanya. Seolah, gadis itu ingin berpamitan padanya.
"Ken, katakan bagaimana perasaanmu saat ini padaku," ujar Maya lemah.
"Aku mencintaimu. Aku ingin selalu berada di sisimu. Aku ingin menjagamu, memberikan banyak cinta padamu. Aku ingin selalu mendengar suaramu, aku ingin selalu melihat senyummu." sahut Ken masih sambil terus melangkah pelan.
"Terima kasih," bisiknya lemah.
"Ini cinta pertamaku, May! Kau tahu? Kau sudah mengambil seluruh hatiku. Jadi, mari kita hidup bersama setelah ini." imbuh Ken.
Maya tidak lagi menyahut, namun Ken masih terus berbicara sambil terus melangkah.
"Mari kita buat kisah cinta yang indah bersama. Hidup bahagia bersama, kita bisa punya dua atau tiga anak yang mirip denganmu, kita bisa tinggal di rumah yang sederhana tapi dipenuhi kehangatan. Aku akan membuat ayunan untuk anak kita di halaman depan rumah kita nanti. Jadi saat anak kita bermain, kita bisa mengawasi mereka dari teras rumah sambil menggenggam tangan satu sama lain." Ken mengatakan semua yang ada di kepalanya.
"Menikahlah denganku, Maya." pinta Ken dengan sungguh-sungguh.
Langkah pria itu tiba-tiba terhenti saat tangan Maya yang semula melingkar di lehernya, tiba-tiba terjatuh terjuntai ke dadanya.
"May?" panggil Ken panik.
"Maya!" panggilnya sekali lagi.
Namun, tak ada sahutan dari gadis itu.
Ken mencoba menggoyangkan pundaknya untuk melihat respon Maya, namun tak ada yang terjadi, tubuh Maya menempel lemas di punggungnya.
Tidak!
Ken langsung berlari berlawanan arah menuju mobilnya.
"May!" teriak Ken sekali lagi.
"Tidak, kau tidak bisa melakukan ini padaku! Bangunlah!" seru Ken panik.
Pria itu terus berlari sekencang yang ia bisa sambil menahan tubuh Maya agar tidak jatuh. Gadis itu benar-benar tidak bergerak.