Maya menatap Dokter Heru dengan tatapan sendu.
Ia tidak menyukai ini, benar-benar tidak suka. Karena kondisinya yang semakin memburuk, Dokter Heru melarangnya pergi kuliah. Ia harus benar-benar meninggalkan kuliahnya dan tinggal di rumah sakit.
Sekali lagi, tinggal di rumah sakit.
"Ikuti saja apa kata dokter, May. Jangan sedih. Lagipula aku akan selalu ada di sini menemanimu!" Ken menggenggam lembut tangan Maya.
"Aku benci rumah sakit. Di mana-mana bau obat. Membuatku ingin muntah!" gerutu Maya.
"Ayolah, May! Jangan manja!" samber Dokter Heru sambil menghampiri Maya, dan memberikan baju pasien kepadanya.
"Ken, lihat! Aku bahkan harus memakai piyama setiap hari! Aku tidak suka!"
"Kau akan tetap terlihat cantik dengan piyama itu. Pakailah, Atau kau ingin aku yang memakaikannya?"
Buru-buru Maya menggeleng dan meraih baju itu. Ia lalu berlari menuju ruang ganti.
Sejak mengetahui kondisi Maya yang sebenarnya, Ken benar-benar menjaga gadis itu. Bahkan pria itu, menjadi over protektif. Dia tidak pernah membiarkan Maya sendiri. Kecuali jika ada Rani, Puspita, atau Yudha yang menjaganya.
Bahkan beberapa hari belakangan, Ken selalu menginap di rumah Maya karena tidak ingin meninggalkan gadis itu sendirian.
"May, kenapa lama sekali? Kau tidak pingsan di dalam kan?" seru Ken dari luar ruang ganti.
"Aku baik-baik saja!" sahut Maya pelan.
***
Naya telah sampai di medan. Ia baru saja keluar dari bandara, gadis itu bergegas mencari taxi, dan pergi ke sebuah alamat yang Pak Rahmat berikan padanya melalui telepon.
Maya cukup kaget melihat tempat di mana taxi yang ia naiki berhenti. Ayolah, rumah sakit?
Baiklah, mungkin Maya memang sedang sakit hingga mengharuskan ia dirawat di sana.
Naya langsung menuju meja resepsionis untuk meminta informasi di mana Maya dirawat. Setelah itu, ia segera pergi menuju kamar rawat Maya.
Sesampainya di kamar tersebut, Naya langsung lemas seketika. Ia berusaha keras untuk berjalan menghampiri Maya yang sedang tertidur.
Matanya, hidungnya, bibirnya, Naya tidak bisa mempercayai ini. Tapi sungguh, mereka memang benar-benar mirip.
Dengan hati-hati, Naya duduk di sofa mini di dekat ranjang Maya, dan menatap gadis yang tengah tertidur itu lurus-lurus.
Dengan balutan baju pasien, juga wajah pucatnya, dia terlihat tidak baik.
Naya pun dengan sabar menunggu kembarannya itu membuka mata.
"Istirahatlah dulu," seru Dokter Heru saat ia masuk.
Dokter Heru membawa beberapa botol obat dan menyimpannya di lemari kecil atas meja.
"Apa dia baik-baik saja? Dia tidur cukup lama! Dia belum mati kan?"
Dokter Heru terkekeh pelan sambil melirik sekilas ke arah Naya.
"Tentu saja belum. Asal tahu saja, kembaranmu itu memang kalau tidur sangat lama. Jadi istirahat dulu saja!"
Naya mendengkus pelan dan menyandarkan punggungnya pada sofa.
Krrrkkk ...
Perut sialan. Haruskah disaat seperti ini?
"Kau belum makan? Pergilah ke kafetaria!"
Naya meringis malu ke arah Dokter Heru. Sepertinya ia memang butuh sedikit makanan.
Naya pun menuju kafetaria dan memesan makanan di sana.
"Kenapa kau di sini? Baru juga ditinggal sebentar, kau sudah melepasnya lagi."
Seorang pria tiba-tiba menghampiri Naya dan duduk di sebelah gadis itu. Ia membelai lembut, pucuk kepala Naya, dan menatapnya sendu.
Dengan kesal, Naya menepis tangan pria itu.
"How you dare to touch me that way?!" seru gadis itu kesal.
Pria itu terbelalak kaget dan menatap Naya bingung.
"May?" gumamnya bingung.
May?
Ah. Sekarang Naya mengerti. Pria itu pasti salah mengira kalau Naya adalah Maya.
"Aku bukan Maya."
"Bukan?"
Naya menggeleng pelan.
"Aku saudara kembarnya! Aku baru datang dari LA, kau sendiri siapa? Pacarnya?" tebak Naya.
Pria itu masih menatap Naya bingung. Dia tidak mengatakan apa pun dan langsung beranjak pergi meninggalkan Naya begitu saja. Sungguh, pria itu dingin sekali.
Naya tidak mengambil pusing tentang pria dingin itu, ia buru-buru makan, dan kembali beranjak menuju kamar Maya.
Setelah sampai di kamar Maya, ternyata pria yang ia temui di kafetaria, telah berada di sana.
"Maaf. Aku baru tahu kalau kau datang," kata pria itu saat Naya masuk ke dalam.
"Tentu." sahut gadis itu datar.
Naya langsung duduk di sofa dan memperhatikan Maya. Dia masih belum bangun juga.
"Jadi, kau pacarnya? Pacar Maya?"
Naya melirik sekilas pria itu. Ia tengah membetulkan letak selimut Maya yang sedikit berantakan.
"Ya. Aku Ken, pacar Maya," gumamnya pelan.
'Jadi, Maya menyukai pria tampan yang tidak banyak bicara? Baiklah.'
Rasa kantuk mulai menyerang Naya, ia sangat lelah setelah perjalanan panjang yang ia lalui.
"Bangunkan aku saat gadis itu bangun!" Naya langsung merebahkan dirinya di sofa dan memejamkan matanya.
***
'Mimpi macam apa ini? Apa itu aku? Atau tidak? Apa aku boleh menyentuhnya? Bagaimana jika dia langsung menghilang saat aku menyentuhnya?' Maya terlalu disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya, tanpa berani membuka suara sedikit pun.
'Dia cantik. Dia sepertiku, tapi tidak. Aku tidak suka punya rambut hitam.
Siapa dia?'
"Oh? May? Kau sudah bangun?"
Maya menoleh dengan cepat ke arah pintu saat Ken masuk ke dalam kamarnya.
"Ken, ini bukan mimpi? Dia siapa?" tanya Maya sambil menunjuk ke arah Naya.
"Naya, kembaranmu! Ngomong-ngomong, dia tadi minta dibangunkan saat kau bangun!"
'Tidak mungkin!'
Mata Maya membulat sempurna, ia lalu berjongkok di dekat sofa tepat di hadapan Naya.
'Akhirnya, aku menemukanmu, Nay!
Kau di sini. Kau di hadapanku'
"Huaaa!" teriak Naya begitu ia membuka matanya.
Naya langsung terlonjak kaget, karena wajah Maya berada terlalu dekat dengannya.
"Aku mengagetkanmu?" tanya Maya bingung.
Naya terlihat kebingungan.
"Kenapa kau melihatku sedekat itu? Tentu saja aku kaget!" dengkusnya.
Maya tersenyum lebar, ia lalu duduk di sebelah Naya.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Maya ragu.
Naya menatap kembarannya itu dengan tatapan yang tak bisa Maya mengerti.
"Malah jadi aneh jika kau menanyakan itu. Harusnya kau langsung memelukku tanpa bertanya, bodoh! Jangan canggung begitu!" omel Naya sambil berhambur memeluk Maya.
Maya tersenyum dalam pelukan Naya. Rasanya hangat, ia merasa benar-benar bahagia. Ia bisa memeluk Naya sekarang.
Tak lama, Naya melepaskan pelukannya.
"Aku datang untuk merawatmu. Karena aku di sini, semua akan baik-baik saja, May! Kau tidak perlu takut!" ucap Naya sambil mantap manik mata Maya lurus-lurus.
Maya hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
"Oh iya, bagaimana keadaan ibu?"
Naya merengut dan menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Dia akan segera menyusul." dusta Naya.
'Berarti ibu masih hidup. Tidak apa. Aku akan segera bertemu dengannya nanti.' batin Maya.
"Nay, bagaimana hidupmu? Apa kau hidup dengan baik di sana?"
"Kenapa bertanya seperti itu? Tentu saja aku hidup dengan baik." Naya menoleh ke arah Maya dan menatap gadis itu hangat.
"Aku juga. Aku hidup dengan sangat baik di sini. Meskipun ayah sudah tidak ada, masih ada Pak Rahmat dan Bi Surti. Aku juga punya tiga teman yang sangat menyayangiku. Mereka itu berisik tapi sangat baik. Dan sekarang, aku bahkan punya pacar. Pacarku sangat tampan kan? Aku menyukainya. Sangat!"
Naya tersenyum simpul.
"Pacarmu tampan, tapi sangat dingin. Apa dia memperlakukanmu dengan baik?"
Maya mengangguk pelan.
"Dia tidak sedingin itu. Dia itu sangat cerewet dan ribet!"
"Akhem!"
Maya langsung menoleh ke arah suara dehaman itu. Ia lupa jika Ken masih di sini.
"Maaf." Maya menunjukkan cengiran bodohnya pada Ken.
Dan pria itu hanya menghela napas pendek, kemudian berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Nay, bagaimana denganmu? Apa kau punya pacar?"
Naya menggeleng lemah.
"Aku pernah pacaran dulu. Tapi tidak bertahan lama. Aku langsung memutuskannya setelah satu jam!"
"Kenapa?"
"Kau tahu? Pergaulan di LA sangat mengerikan. Pria itu berani menyentuh tubuhku. Padahal saat itu kami baru SMA. Aku langsung menamparnya dan memutuskannya saat itu juga!"
Maya terkekeh geli mendengar cerita Naya.
"Aku jadi lebih berhati-hati dalam berteman, setelahnya."
Maya mengangguk pelan.
"Itu bagus."
"Aku akan mencari pacar yang mirip dengan xiumin EXO. Lalu kami akan hidup bahagia bersama!" bisik Naya, yang langsung membuat Maya terkekeh pelan
"Kau tahu EXO?"
"Tentu saja. Mereka cukup terkenal di sana!"
Dan begitulah seterusnya. Mereka asik mengobrol hingga larut malam. Mereka menceritakan semua hal yang telah mereka lalui dalam hidup mereka.
Tentang bagaimana ayah mereka meninggal meninggal, bagaimana kerasnya usaha ibu untuk menghidupi Naya, Maya juga menceritakan padanya tentang Rani, Pus, dan Yudha. Tak lupa juga bagaimana pertemuan pertama Maya dengan Ken.