Maya melangkahkan kakinya dengan ragu masuk ke dalam rumah Ken. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi sangat amat rapi.
Rumahnya juga sangat wangi dan hangat.
"Kalau butuh sesuatu, dapur di sebelah sana!" kata Ken sambil menunjuk dapur yang berada di dekat tangga.
"Sepi sekali?"
"Aku tinggal sendirian. Orang tuaku di Pekanbaru."
Ah, benar juga. Ken kan orang Pekanbaru, kenapa Maya bisa sampai lupa?
'Ah, tubuhku. Rasanya lelah sekali. Jika aku tidak segera istirahat, aku pasti mimisan lagi.' batin Maya.
Ia langsung berhambur ke arah sofa dan duduk dengan lemas di sana. Untung saja Ken tidak melihatnya.
Maya menyandarkan kepalanya dan mencoba mengatur napasnya.
"May? Kau baik-baik saja?"
Eh?
Maya terkejut mendengar pertanyaan Ken. Pria itu menghampirinya dan langsung duduk di sebelahnya.
Maya mencoba tersenyum sebisanya.
"Hanya sedikit lelah." ucap Maya pelan.
"Kau yakin?"
"Tentu saja!"
Ken tersenyum, lalu mengusap lembut pucuk kepala Maya.
"Ken?"
"Ya?"
"Boleh aku memelukmu?"
Ken terkekeh dan menggeleng pelan.
"Tidak boleh!"
Maya tidak tahu apa Ken sedang bercanda atau tidak. Tapi rasanya sedih sekali mendengar jawabannya itu.
"Aku ingin bersandar padamu!" lirih Maya.
"Astaga, gadis ini benar-benar membuatku gila!" gumam Ken lalu menarik Maya ke pelukannya.
Maya langsung tersenyum dalam dekapan pria yang selama ini ia impikan itu. Rasanya benar-benar nyaman dan menenangkan.
"Jangan meminta izin seperti itu! Itu tidak perlu. Kau bisa memelukku kapan pun kau mau. Kau itu benar-benar polos. Astaga!" seru Ken gemas.
Maya kembali mengulum senyum dan mempererat pelukannya. Nyaman dan hangat.
"Kau memakai parfume apa?" tanya Maya tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Ken bingung.
"Aku menyukainya. Aromamu. Aku menyukainya. Jangan ganti parfume!" racau Maya.
Ken tidak menyahut dan hanya membelai rambut panjang gadis itu dengan lembut.
Tak lama, ia pun mengendurkan dekapannya, ia pun menarik diri dan menatap Maya dalam-dalam.
Maya tidak akan menyesalinya. Meskipun ia tahu bahwa Ken memiliki tunangan. Ia tidak peduli. Toh di antara Ken dan Lisa tidak ada perasaan apa pun. Tidak masalah jika akhirnya Ken menikah dengan Lisa. Karena saat itu terjadi, mungkin dirinya sudah mati.
Maya merasa, tidak apa jika dirinya sedikit egois. Ia benar-benar mencintai Ken. Ia ingin Ken ada di sampingnya disisa hidupnya.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Ken ragu.
Maya hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
"May?"
"Iya?"
"Aku butuh penjelasan!"
"Tentang?"
"Tentang kondisimu. Kau mudah lelah, kau mudah terluka, kau sering mimisan dan masih banyak lagi kondisi buruk yang sering kau alami. Apa yang terjadi?"
Maya menimbang-nimbang, haruskah ia menceritakan tentang penyakitnya pada Ken?
"Tidak!" seru Maya panik.
"Ada apa?"
"Jika kau tahu, kau pasti akan langsung memutuskanku!" lirih Maya.
Ken menghela napas panjang dan menggenggam tangan Maya dengan lembut.
"Tidak akan. Percayalah!"
"Kau bersumpah? Kau tidak akan memutuskanku? Kita bahkan baru jadian. Kita belum melakukan banyak hal. Aku tidak mau putus!"
Maya menatap Ken dengan kesal. Kenapa pria itu harus menanyakan itu?
"Aku bersumpah tidak akan memutuskanmu hanya karena kondisimu. Jadi katakan padaku apa yang terjadi padamu!"
Maya menatap Ken ragu, namun Ken berusaha meyakinkannya dengan mengusap punggung tangan gadis itu di genggamannya.
"Aku sakit Ken. " lirih Maya.
Ken menatap Maya dalam.
"Sakit apa?"
"Leukimia." lidah Maya terasa kelu. Tenggorokannya seperti tercekat, namun dengan susah payah, ia berhasil mengatakan itu pada Ken.
Maya menatap dalam-dalam mata Ken, mencoba mencari tahu apa yang ada dipikiran pria itu. Namun ia tidak menemukan apa pun. Tatapan mata Krn berubah menjadi datar.
Cukup lama pria itu terdiam dan menatap Maya seperti itu. Hingga akhirnya, Ken kembali menarik gadis itu ke dalam pelukkannya. Ia memeluk Maya dengan sangat hati-hati.
"Tidak apa, semua akan baik-baik saja!" bisik Ken, lalu mengecup pucuk kepala Maya dengan penuh perasaan.
"Maafkan aku, Ken." lirih Maya.
"Kenapa kau meminta maaf?"
"Aku membuatmu terjebak dengan perempuan penyakitan seperti aku. Maaf!" lirih Maya.
Ken menggeleng pelan, ia lalu membelai lembut rambut Maya.
"Jangan mengatakan itu! Aku tidak suka!" ucap Ken pelan.
Tak lama, Ken melepas pelukkannya dan menatap Maya intens.
Dia mulai mencondongkan wajahnya ke wajah gadis itu.
But, wait!
Jantung Maya!
Jantung gadis itu berdetak dengan sangat kencang. Ia tidak tahu apa ini karena penyakitnya, atau karena gugup.
Tepat saat bibir Ken nyaris saja menyentuh bibirnya, ia langsung mendorong Ken menjauh.
Ken mentap Maya bingung.
"Maaf, Ken. Aku belum siap!" kata Maya cepat.
Maya masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang terus berdetak begitu kencangnya.
Maya mendongak menatap Ken ragu, dan Ken hanya tersenyum lalu membelai lembut pipi gadis itu.
"Apa ini yang pertama?" tanyanya sambil tersenyum menggoda Maya.
Gadis itu mengangguk pelan dan menunduk malu.
"Ah, astaga!" Ken terkekeh geli menatap gadisnya itu.
"Kenapa?!" dengus Maya kesal.
"Tidak, hanya saja kau benar-benar lucu!"
'Apa dia sedang meledekku? Karena aku belum pernah ciuman sebelumnya? Apa yang lucu dari itu? Seharusnya dia merasa tersanjung karena dia jadi yang pertama. Dia itu menyebalkan. Sangat!' Maya menggerutu dalam hati.
"Hei, jangan cemberut seperti itu!" Ken mengusap pucuk kepala Maya lagi, namun masih dengan terkekeh geli.
"Seharusnya kau tersanjung karena kau akan jadi yang pertama. Kenapa kau menertawakanku?"
Ken menghentikan kekehan menyebalkannya dan menatap Maya lembut.
"Maaf!" serunya pelan.
"Maaf diterima!" sahut Maya dengan riangnya.
Sekali lagi, Ken terkekeh geli. Ia lalu beranjak berdiri untuk mengambil laptopnya.
Mereka berencana menonton film, tapi dengan kondisi Maya, tidak memungkinkan bagi mereka untuk menonton di bioskop, karena itu, Ken mengajak gadis itu untuk menonton di rumahnya saja karena ia memiliki home theater di rumah.
Ken menunjukkan beberapa rekomendasi film pada Maya. Tapi Maya langsung menggeleng cepat saat melihat film pilihan Ken.
"Aku tidak suka film action!" seru Maya cepat.
"Kenapa?"
"Terlalu banyak darah, dan kekerasan!"
"Baiklah, tapi jangan paksa aku menonton film romance, atau aku benar-benar akan muntah!" sergah Ken.
"Kenapa? Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari film romansa!" protes Maya.
"No, itu sangat menggelikan!" seru Ken.
"Bagaimana kalau film komedi?" tanya Maya.
"Aku tidak punya!"
"Film horor?"
"Aku takut hantu!"
Maya menganga tak percaya mendengar jawaban Ken. Ia langsung tertawa dengan kerasnya. Oke, Ken adalah pria dewasa yang tampan nan gagah. Bagaimana ia bisa takut pada hantu?
"Hei, kenapa tertawa? Lebih baik melawan preman, atau apa pun itu yang bisa dilawan daripada hantu! Bagaimana kau melawan hantu? Coba katakan!" kilah Ken.
"Dengan doa, tentu saja! Lagipula, aku cukup ragu bahwa hantu benar-benar bisa menyakiti manusia! Kita beda dunia, Ken!"
"Oh, terserah!"