Joe tersenyum miris, ia menatap sendu batu nisan milik Ema, Kakak perempuannya. Joe begitu merindukan Ema hingga ia mau jauh-jauh datang ke makam sang kakak untuk melepas rindunya.
"Apa kau merindukanku? Aku sangat merindukanmu! Kau pasti sedang tersenyum puas di sana! Aku sudah memenuhi semua permintaanmu! Aku bertahan di rumah itu menemani ibu kesayanganmu itu! Ah, benar-benar memuakkan! Dia dan keluarga barunya itu membuatku gerah!" Joe bermonolog.
Ia menghela napas berat saat angin yang cukup kencang menerpa wajahnya.
"Tapi kau tau? Mereka punya anak perempuan yang cantik. Aku ingin bersikap baik padanya karena dia juga orang yang baik. Tapi setiap kali melihat wajahnya, aku langsung teringat ibu dan ayahnya! Dan itu membuat hatiku hancur. Jika saja kau tidak mengejar mereka saat itu, kau tidak akan pergi meninggalkanku!"
Dada Joe langsung terasa sesak saat mengatakan itu. Ia kembali harus mengingat kenangan yang sangat menyakitkan baginya itu.
"Aku tahu, jika kau ada di sini, kau pasti mengatakan, 'tidak Joe, ini bukan salahnya, jangan menyalahkan mereka untuk apa yang terjadi padaku'. Kau pasti mengatakan itu kan?" seru Joe kesal.
Beruntung makam hari itu terbilang sepi, atau mereka akan mengira Joe gila, kesurupan, atau entahlah. Tidak normal bagi seseorang untuk berbicara sendiri.
"Iya, aku tahu. Aku tahu ini bukan salah gadis itu! Ini salah ibumu dan kekasihnya itu! Ah, atau aku harus memanggilnya ayah sekarang?
Kau tahu? Lubang di hatiku masih belum bisa menutup. Sudahlah, kau pasti tidak akan mengerti apa yang kurasakan!"
Joe mengambil air yang ia bawa, dan menyiramkannya di makam Ema.
"Beristirahatlah dengan tenang, Ema!" seru Joe pelan.
"Joe?"
Joe terlonjak kaget saat senbuah suara memanggil suaranya. Ema tidak bangkit dari kubur, kan? Joe menoleh dengan cepat untuk melihat pemilik suara yang barusaja memanggil namanya itu. Ia pun langsung bernapas lega melihat bukan Ema yang berdiri di belakangnya.
Gadis cantik bersurai hitam yang tengah berjalan menghampirinya itu tersenyum begitu manis.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Joe bingung.
Sekali lagi gadis itu tersenyum dan mendekat ke arah Joe. Ia berdiri di sebelah Joe dan berdoa sejenak untuk Ema.
"Aku sedang mengunjungi makam kerabatku. Kau mengunjungi makam Kak Ema? Hei, bagaimana keadaanmu?" ucap gadis itu setelah selesai berdoa.
"Seperti biasa." sahut Joe datar.
Gadis itu bernama Fani, dia adalah mantan kekasih Joe. Meski sudah menjadi mantan, mereka masih saling mengasihi dalam diam.
Karena sudah Sore, mereka pun memutuskan untuk pulang. Kedua insan tersebut berjalan beriringan menuju gerbang makam.
"Bagaimana keluarga barumu?" tanya Fani pelan. Ia mendengar bahwa ibu Joe menikah lagi dengan seorang duda yang mempunyai anak satu.
"Baik." sahut Joe sekenanya. Rasanya canggung bertemu dan berbicara dengan Fani setelah sekian lama.
Fani tersenyum kecut menanggapi jawaban pria itu. Entah pria itu tidak ingin membicarakan keluarganya, atau pria itu masih marah padanya hingga ia tidak ingin mengatakan banyak hal tentang hidupnya yang sekarang. Apa pun itu, sungguh itu membuat Fani merasa buruk.
"Kau sendiri bagaimana keadaanmu?" tanya Joe sambil melirik sekilas ke arah Fani.
"Aku baik." jawab gadis itu singkat.
Suasana menjadi sangat canggung, mereka pun sama-sama terdiam hingga tiba di gerbang.
"Kau sendirian?" tanya Joe yang tidak melihat ada kendaraan lain di parkiran kecuali mobilnya.
Fani mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Joe.
"Naik apa?"
"Taxi." jawab Fani singkat.
"Aku akan mengantarmu!"
Joe berjalan terlebih dulu ke arah mobil, ia lalu membukakan pintu untuk Fani. Gadis itu tersenyum dan langsung masuk ke dalam mobil Joe tanpa banyak berpikir.
Selama di mobil, mereka sama-sama terdiam. Joe sendiri hanya fokus pada jalanan di depannya, sementara Fani hanya terdiam sambil menatap ke luar jendela. Hingga tak lama kemudian, mereka pun sampai di depan rumah Fani.
"Maafkan aku, Joe." lirih Fani sambil menatap sendu pria itu.
Joe menoleh dan menatap sinis gadis itu.
Maaf?
"Sudahlah!" seru Joe pada akhirnya.
Fani mulai menatap dalam ke arah Joe. Ia sungguh menyesal atas apa yang ia lakukan pada pria yang ia cintai itu.
"Seharusnya aku tidak meninggalkanmu saat itu. Tapi sekarang aku di sini, Joe. Aku kembali untukmu!"
Ingin sekali Joe tertawa keras di hadapan gadis itu.
"Sudahlah, Fan. Semua sudah baik-baik saja sekarang! Lakukan saja apa yang kau inginkan! Jangan jadikan aku sebagai alasan untukmu kembali!"
"Joe, aku benar-benar kembali untukmu. Aku tidak bisa melupakanmu, Joe. Aku masih mencintaimu!" setetes air mata Fani menetes mengalir di pipinya.
Dengan mata berkaca-kaca, Fani menatap dalam-dalam manik mata Joe.
Joe sendiri memang sangat lemah dengan air mata, apalagi dari perempuan yang pernah sangat ia cintai itu.
Joe menyeka air mata di wajah Fani dengan jemarinya. Ia menatap lembut gadis itu.
"Apa kau sudah melupakanku? Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Fani lirih.
Sejujurnya, perasaan itu memang masih ada. Tapi Joe sendiri tidak yakin seberapa dominan rasa itu.
"Joe..." panggil Fani.
Joe kembali menatap mata gadis itu.
"Katakan kalau kau masih mencintaiku!" lirih gadis itu.
Mereka saling menatap dalam diam. Fani masih terlihat sama. Tatapan itu, wajah itu, suara itu. Ya, gadis itu adalah Faninya. Fani yang ia cinta.
"Iya, aku masih mencintaimu!" ucap Joe pada akhirnya.
Mendengar Joe mengatakan itu, senyum Fani langsung mengembang di wajah cantik gadis itu.
"Aku sangat mencintaimu, Joe!"
Fani langsung mendekatkan wajahnya ke wajah Joe, dan menyapu lembut bibir pria itu. Tentu saja Joe menyambutnya, karena sejujurnya, ia sangat merindukan gadis itu.
Namun tiba-tiba, Joe menarik dirinya, membuat Fani merasa kecewa.
"Kenapa?" tanya Fani bingung.
Joe menggeleng pelan.
"Kita baru saja dari makam. Tidak baik melakukan sesuatu seperti ini!" seru Joe pelan.
Fani terkekeh pelan, ia lalu mengangguk mengiyakan ucapan Joe.
"Baiklah. Aku akan masuk, sampai jumpa sayang!" Fani mengecup bibir Joe sekilas sebelum akhirnya ia turun dari mobil Joe dan masuk ke dalam rumahnya.
Selepas kepergian Fani, Joe langsung merasa gelisah.
Apakah keputusan yang ia ambil tepat? Apakah menerimanya kembali adalah sesuatu yang memang ia inginkan?
Tapi, saat gadis itu mencium Joe, kenapa yang terlintas di benak pria itu adalah Puspita dan bukannya Fani?
Joe menggeleng pelan, ia tidak mau lagi memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan Puspita maupun keluarganya.
Joe bergegas mengemudikan mobilnya menuju rumah salah seorang temannya. Ia harus mencari pengalihan atau pikirannya akan terus tertuju pada gadis cantik yang sayangnya ia benci itu. Lagipula ia kini sudah memiliki Fani.