Dengan perasaan yang campur aduk, Ken duduk dengan sabar menunggu Dokter Heru selesai menangangani pasiennya. Susah payah ia mencari tahu di mana dan dokter mana yang menangani penyakit Maya.
Berkali-kali Ken menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan dari mulut. Jantungnya berdegub begitu kencang. Ia gugup.
Siapkah ia mendengar kebenarannya? Tentang kondisi Maya, siapkah ia? Ken merasa, dirinya harus tahu sejauh apa sakit yang di derita kekasihnya itu, agar dia tahu bagaimana cara memperlakukan Maya dengan lebih baik lagi.
"Ken?"
Ken terlonjak kaget mendengar seseorang memanggil namanya. Seorang pria dengan jas dokter, datang menghampirinya
"Apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Ken cepat.
Dokter Heru hanya mengangguk pelan. Ia bisa tahu bahwa pria yang menungguinya sedari tadi itu adalah Ken, karena Maya pernah menunjukkan foto Ken kepadanya.
"Mari." Dokter Heru pun mengajak Ken menuju ruangannya.
Sesampainya mereka di ruangan Dokter Heru, sang dokter langsung melepas jasnya dan menggantungnya di gantungan baju yang berdiri di belakang mejanya.
Ia mempersilakan Heru untuk duduk dengan santai di sana.
"Jadi, pada akhirnya Maya berhasil mengambil hatimu, hum?" Dokter Heru tersenyum simpul, dan melirik sekilas ke arah Ken. Ia lalu duduk berhadapan dengan Ken dan menatap hangat pria itu.
"Dari mana Anda tahu?" Ken membalas tatapan hangat sang dokter dengan tatapan tajam penuh selidik.
"Aku menangani Maya sudah cukup lama. Aku sudah menganggapnya seperti adik ku sendiri. Dia sering menceritakan tentang dirimu padaku."
"Begitukah?"
"Ya, jadi apa yang bisa kubantu? Kau ingin konsultasi tentang kesehatanmu atau..."
"Aku ingin tahu detail kondisi Maya. Aku tahu, informasi itu hanya bisa Anda berikan kepada keluarganya, tapi saya mohon, saya peduli pada Maya. Saya ingin menjaganya, jadi saya harus tahu tentang kondisi Maya yang sebenarnya." Ken mencoba meyakinkan dokter yang ada di hadapannya itu.
Dokter Heru terkekeh pelan dan menatap Ken tak percaya. Dan tentu saja hal tersebut langsung membuat Ken bertanya-tanya.
"Ken, sepertinya kau itu tidak mengetahui apa pun mengenai kondisi Maya, ya? Dia itu sebatang kara sekarang. Tidak ada satu pun keluarga yang bisa kuberitahu tentang kondisinya. Akan sangat baik jika kau mau memahami kondisi gadis itu dan merawatnya."
Sebatang kara? Di mana orang tuanya? Kena merengut mendapati fakta yang baru saja ia ketahui tersebut. Tidak masalah, toh mereka memang baru saja bersama, tidak banyak yang mereka ketahui tentang satu sama lain.
"Aku akan menjelaskan kondisinya kepadamu. Tidak apa, aku senang jika ada seseorang yang mau mengerti dengan baik kondisinya, jadi ia tidak perlu menanggung semuanya sendiri."
Dokter Heru berdiri dan beranjak menuju lemari kaca yang terletak di sudut ruangannya. Ia mengambil beberapa dokumen dari sana dan memberikannya pada Ken.
"Sejauh apa yang kau ketahui tentang kondisinya?" tanya Dokter Heru.
Ken menggeleng lemah. Karena jujur dia memang tidak tahu banyak.
"Aku hanya tahu dia terkena leukimia stadium akhir."
Dokter Heru mengulum senyum dan kembali duduk di tempatnya.
"Itu adalah daftar riwayat medis Maya. Seperti yang kau lihat, kondisinya sangat buruk. Sangat! Yang sebenarnya adalah, kami tidak akan bisa menyembuhkannya. Dia sudah tidak bisa disembuhkan, Ken. Semua langkah medis yang kami lakukan, tidak lagi bisa menolongnya."
Ken meremas dokumen yang saat ini tengah ia baca dengan perasaan kacau.
Oh Tuhan.
"Kau adalah dokter! Dan bukankah peralatan medis sekarang ini sudah sangat canggih?" Ken menatap tajam mata sayu Dokter Heru.
Sang dokter tersenyum miris. Terlihat sekalu bahwa ia sangat menyesal dengan kondisi Maya saat ini.
"Ada hal yang tidak bisa kami tangani, Ken. Kami sudah melakukan semua yang terbaik yang kami mampu, untuk Maya." lirih Dokter Heru.
Ya, Ken menyadari sepenuhnya bahwa Dokter Heru hanyalah manusia biasa. Dan semua peralatan medis itu, mereka tidak akan bisa melawan kehendak Tuhan.
"Tapi tenang saja, kami tidak menyerah. Selama Maya masih bernapas, kami akan melakukan semua yang kami bisa untuk membuat gadis itu merasa lebih baik. Seharusnya, ia sudah harus di rawat inap, tapi gadis itu selalu menolak untuk kami rawat di sini."
"Kenapa dia menolak?" tanya Ken bingung.
"Gadis itu sudah terlalu pasrah dengan takdirnya. Selagi ia mampu berdiri, ia akan terus menjalani aktivitasnya. Bertemu kau, teman-temannya, dan melakukan hal lainnya. Gadis itu pernah mengatakan bahwa jika memang dia akan pergi, dia ingin pergi tanpa membawa penyesalan apa pun. Jadi dia memanfaatkan semua waktu yang ia punya untuk bersama kalian!"
Batin Ken menjerit pilu mendengar cerita Dokter Heru. Ia kembali teringat saat-saat Maya terus mendekatinya meskipun ia selalu mengacuhkan dan memakinya.
Dan semua perkataan Maya yang sempat membuat pikirannya kacau, kini Ken memahami apa arti dari ucapan gadis itu.
Maya mengatakan, ia tidak memiliki banyak waktu, gadis itu memberinya pilihan untuk pacaran atau tinggalkan.
Ken menghela napas berat dan kembali membaca kata demi kata yang tertulis dalam lembaran kertas yang tersusun rapi tersebut.
Ia bukan anak kedokteran, ia tidak tahu secara detail apa yang dialami Maya. Hanya saja, ia kini benar-benar paham bahwa kondisi gadis itu sangatlah buruk.
"Jika mungkin, bawalah gadis itu kemari. Bahkan jika kami tidak bisa menyembuhkannya, kami berharap bisa merawatnya dan membuatnya merasa lebih baik saat sakit itu datang." pinta Dokter Heru dengan suara yang begitu lirih, dan juga tatapan yang begitu sendu.
Ken memejamkan matanya dan memijit pelipis matanya yang berdenyut sendu memikirkan apa yang harus ia lakukan ke depannya.
"Jika yang terbaik baginya adalah berada di sini, saya akan membujuknya. Saya pernah melihat ia begitu kesakitan, saya harap kalian bisa mengurangi rasa sakitnya." Ken berujar pelan.
Dokter Heru tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
Ia juga berharap seperti itu. Jika bisa, ia ingin setidaknya sedikit saja mengurangi rasa sakit gadis itu.
"Terima kasih sudah memperbolehkan saya untuk mengetahui kondisi Maya yang sebenarnya." seru Ken sambil mendorong dokumen tersebut ke arah Dokter Heru.
"Sama-sama. Bersikap baiklah padanya. Bahkan jika kamu tidak benar-benar menyukainya, berbohonglah sedikit untuk menyenangkannya. Kita tidak tahu kapan dia akan pergi."
Kalimat yang Dokter Heru ucapkan barusan benar-benar menyayat batin Ken.
Maya tidak bisa pergi begitu saja. Tidak boleh.
"Saya pergi, sekali lagi terima kasih!" ucap Ken lalu berdiri dan beranjak pergi meninggalkan ruangan Dokter Heru.
Ken berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit. Andai ia tahu lebih awal, ia tentu tidak akan bersikap dingin dan kasar pada gadis itu.
Ken menghela napas berat, entah sudah kali keberapa ia melakukan hal tersebut hari ini.
Langkah Ken terasa begitu berat, dadanya begitu sesak, dan pikirannya begitu kacau.