Joe langsung menarik foto yang Puspita pegang dengan kasar, hingga gadis itu tersentak dan menabrak almari di belakangnya.
"Siapa yang memberimu izin untuk menyenntuh barangku?" sentak Joe.
Puspita menatap Joe bingung.
"Aku hanya ingin mengembalikan laptopmu!" sahut Puspita pelan.
"Lalu kenapa kau menyentuh barang-barangku?"
"Joe, apa yang kau lakukan? Kenapa membentak Puspita seperti itu!" Bu Widia berlari masuk ke kamar Joe dengan panik.
"Puspita, pergilah ke kamarmu!" perintah Bu Widia dengan lembut.
Puspita tidak menyahut, dan malah menatap Joe ragu.
"Kau tuli? Kau tidak dengar dia bilang apa? Pergilah!" sinis Joe dengan tatapan yang begitu tajam pada Puspita.
Gadis itu menelan ludah dan beranjak pergi dari kamar Joe. Mengetahui akan ada pertengkaran keluarga yang akan terjadi, ia menutup pintunya sebelum pergi.
"Joe, ada apa denganmu? Kenapa kau marah hanya karena dia menyentuh fotomu?"
"Dia menyentuh foto kakak!" ralat Joe dengan tidak santainya.
Bu Widia mengusap pelan lengan Joe dan menatap anak kandunganya itu dengan tatapan sayu. Bu Widia tahu betapa sayangnya Joe pada mendiang kakaknya, hanya saja, Puspita tidak sebersalah itu hingga pantas dibentak seperti tadi.
"Mama tahu itu sangat berharga untukmu, tapi Puspita kan tidak tahu apa-apa! Jangan bersikap seperti itu padanya!"
"Kenapa? Kau takut anak barumu itu terluka?" sinis Joe.
Plak!
Reflek, tangan Bu Widia terangkat untuk menampar wajah Joe.
Joe sendiri langsung tersenyum sinis menatap ibunya yang tengah memegangi tangan yang baru ia gunakan untuk menamparnya itu.
"Tidak ada anak baru atau anak lama! Kalian sama-sama anakku. Jadi jaga sikapmu!" sentak Bu Widia.
"Terserah kau saja!" Joe menatap ibunya datar. Rasa hormat dan sayang pada ibunya itu telah lama menghilang, jadi ucapan Bu Widia tidaklah lebih dari angin lalu untuk Joe.
Tatapan Bu Widia kembali melembut. Ia menatap penuh kasih anaknya itu.
"Joe, aku tahu kau membenci mama, tapi tolong, bersikap baiklah pada Puspita." pinta Bu Widia dengan penuh harap.
Namun Joe langsung tersenyum sinis ketika mendengar permohonan ibunya itu.
"Jangan meminta sesuatu seperti itu dariku! Asal kau tahu, jika bukan karena permintaan terakhir kakak, aku tidak akan sudi berada di sini bersamamu juga keluarga barumu itu!" sentak Joe.
Joe meletakkan kembali foto kakak perempuannya itu di atas nakas. Pria itu berbalik menatap ibunya yang tengah terisak pelan.
"Pergilah! Melihatmu hanya membuat dadaku terasa semakin sesak!" seru Joe dengan ekspresi datar.
Sementara di luar kamar, Puspita tengah mematung dengan perasaan kacau dan bingung. Ia tidak begitu mengerti dengan pembicaraan mereka. Tapi satu hal yang ia tahu sekarang. Kebencian Joe pada keluarganya, bukanlah lelucon. Bahkan kepada ibunya sendiri, dia bisa bersikap begitu kasar.
"Pergilah! Melihatmu hanya membuat dadaku semakin sesak!" itu kalimat terakhir yang Puspita ingat.
Puspita buru-buru pergi meninggalkan kamar Joe saat ia dengar suara langkah kaki mendekat.
Tak lama kemudian, Bu Widia keluar dari dalam sana dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.
Joe... sebenarnya, apa masalahnya?
***
Puspita menenteng tasnya dan menyemprotkan parfume ke bajunya, ia melangkahkan kakinya gontai menuruni tangga.
"Mau ke mana? Tidak makan dulu?" seru Pak Bian dari meja makan saat Puspita melewati ruang makan.
"Tidak. Aku akan makan malam di luar dengan teman-temanku!" Puspita menghampiri ayahnya dan duduk sebentar di meja makan.
Puspita mencuri-curi pandang ke arah Joe. Tidak seperti biasanya, ia tengah menatap Puspita dengan sinis. Padahal biasanya, ia hanya fokus pada makanannya tanpa mempedulikan sekitarnya.
"Pacar kayamu itu?" sindir Joe.
Pacar kaya?
"Kau punya pacar?" tanya Pak Bian dan Bu Widia dengan kompaknya.
Dengan cepat, Puspita menggelengkan kepalanya. Pacar? Yang benar saja!
"Aku akan pergi dengan Rani dan Maya, Ayah!" kilah Puspita.
"Lalu siapa yang dimaksut Joe? Puspita, siapa pacar kamu itu?" desak Pak Bian.
Puspita langsung melayangkan death glare-nya pada Joe, dan pria itu hanya membalas tatapan Puspita dengan santainya.
Serius, ada apa dengan si tengil Joe?
"Ayah kenal Yudha, kan? Temanku SMA?"
"Ah, si pria blasteran itu? Bukankah dia di LA?"
"Dia kembali ke Medan dan melanjutkan kuliahnya di sini."
"Jadi kalian berpacaran?"
Puspita menghela napas kasar dan mempoutkan bibirnya kesal.
Apanya yang pacaran?
"Ajak si Yudha itu makan malam di sini kapan-kapan! Dia anak yang baik dan masa depannya sangat cerah. Ayaj tidak keberatan jika kau bersamanya. Masa depanmu akan terjamin bersamanya!"
Tentu saja! Pak Bian sangat tahu betapa kayanya orang tua Yudha. Tentu akan sangat baik jika Puspita bisa bersama anak itu.
"Lami hanya berteman!" ralat Puspita.
"Jangan hanya berteman! Kau tidak akan mendapatkan pria yang lebih baik darinya! Jangan lewatkan dia!" seru Pak Bian.
"Dia sudah punya pacar!" dusta Puspita. Dia pikir, ayahnya akan berhenti membahas ini jika tahu Yudha memiliki kekasih.
"Berdandanlah jauh lebih menarik dari pacarnya! Bersikap baiklah padanya. Dia pasti akan meninggalkan pacarnya untukmu!"
Mata Puspita membulat sempurna mendengar ucapan ayahnya. Ia tidak percaya apa yang ia dengar barusan. Bagaimana ayahnya bisa mempunyai pikiran seperti itu?
Puspita melirik sekilas ke arah Joe. Pria itu tengah tersenyum sinis ke arahnya. Tatapannya menunjukkan seolah ia sedang menertawakan gadis itu.
"Sudahlah, Puspita kan masih sangat muda. Siapa yang tahu jika ia akan menemukan pria yang lebih baik dari si Yudha itu?" Bu Widia membela Puspita.
Mendengar itu, Pak Bian langsung menggeleng dengan cepat. Matanya melotot tajam ke arah istrinya.
"Jangan bercanda! Kau tahu siapa keluarga si Yudha itu? Ayahnya adalah pemilik Golden Company. Kau tahu apa artinya?" pekik Pak Bian dengan semangatnya.
Puspita terdiam, ia merasa ini mulai memuakkan.
"Aku pergi!" Puspita langsung mencium pipi Bu Widia dan segera berlalu meninggalkan ruang makan, sebelum ayahnya mulai berceloteh ria tentang betapa kayanya keluarga Yudha.
Puspita sendiri memang sudah menganggap ibu tirinya itu seperti ibu kandungnya sendiri.
Bu Widia sangat baik dan lembut. Berbeda dengan ayahnya, dan juga saudara tirinya, si kelinci menyebalkan itu.
Puspita segera masuk ke dalam mobilnya, dan melajukannya dengan sangat cepat menuju tempat Rani.
Terkadang, ia ingin mengistirahatkan hatinya yang begitu kacau karena sikap ayahnya yang begitu kaku dan suka mengatur, juga kakak tirinya yang begitu semena-mena pada dirinya.
Hanya di depan teman-temannyalah ia bisa menjadi dirinya sendiri. Menjadi Puspita yang konyol, yang berisik, ceroboh, ia bisa melakukan apa pun sesuka hatinya tanpa takut teman-temannya akan menghakiminya.
Bukankah itu memang tugas seorang teman? Menerima dan mendengarkan, tanpa menghakimi?
Puspita mencoba memfokuskan pandangannya pada jalanan kota medan yang cukup ramai di depan sana.