"Dok, aku mau berhenti saja melakukan kemo! Rasanya sakit sekali. Aku sangat lelah! " rengek Maya pada Dokter Heru.
Mereka sudah sangat dekat. Karena itulah Maya biasa berbicara dengan santai pada Dokter Heru. Karena memang dia masih muda juga.
"Kau mau mati ya?!?" pekik Dokter Heru. Dokter muda nan tampan itu langsung menatap Maya tajam.
"Kau sendiri yang bilang kalau kemungkinan sembuh sangatlah sedikit! Aku sudah menerima takdirku! Tidak masalah jika aku mati!" racau Maya.
Sungguh, dia benar-benar lelah menjalani ini semua.
Dokter Heru pun duduk di hadapan Maya, ia meraih kedua tangan gadis itu, lalu menggenggamnya dengan erat.
"Aku akan melakukan semua yang terbaik untukmu! Jika kau memang tidak bisa sembuh, setidaknya kau bisa hidup lebih lama, May!" kata Dokter Heru dengan lembut.
Ya tentu saja. Memang itu yang Maya perlukan. Tambahan waktu. Pak Rahmat, tangan kanan mendiang ayah Maya, juga belum bisa menemukan Naya. Jadi Maya berusaha semampunya untuk terus bertahan.
"Tapi aku lelah." lirih gadis itu.
"Bertahanlah. Kau itu gadis yang kuat kan? Bertahanlah agar kau bisa bertemu dengan kembaranmu!"
Maya tersenyum tipis, ia pun mengangguk lemah.
"Tapi kumohon, beri saja aku obat lain. Obat yang kau berikan tidak berfungi sama sekali. Saat rasa sakit itu datang, sakit sekali. Rasanya lebih baik mati saja!"
Dokter Heru hanya tersenyum dan mengusap pelan pucuk kepala Maya.
***
@MNU 09.00 WIB.
Seperti biasa, Maya berlari menghampiri Ken. Mungkin saja ini hari keberuntungannya. Mungkin saja hari ini pria itu sedang dalam mood yang baik.
Semoga saja.
"Hai, Ken!" sapa Maya seperti biasa, ceria dan penuh semangat.
Ken menutup buku di pangkuanya dan mendongak menatap gadis itu.
Tatapannya datar.
Tentu saja, dia adalah Ken! Justru akan sangat aneh jika dia tidak menunjukan tatapan datarnya itu pada Maya.
"Boleh aku duduk?" tanya Maya ragu.
Maya menunggu Ken mengatakan sesuatu, tapi dia malah menatap Maya tanpa mengatakan apa pun. Jadi, Maya putuskan untuk langsung duduk saja di sebelah Ken.
Mereka sedang berada di kafetaria sekarang. Ken memang suka membaca bukunya di sana. Padahal tempat itu sangat ramai, bagaimana pria itu bisa membaca di tempat seperti ini?
"Maaf!" kata Ken tiba-tiba.
Maaf?
"Untuk apa?" tanya Maya bingung.
"Aku sudah melukaimu saat itu. Aku tidak bermaksud menyakitimu." Ken berujar pelan.
'Melukaiku? Kapan?' batin Maya.
Gadis itu berpikir cukup keras, kapan sekiranya Ken telah melukai dirinya?
Tiba-tiba saja, Maya mengingat sesuatu. Tidak salah lagi, pasti saat pria itu menepis tangan Maya tempo hari.
Tangan Maya memang mudah memar dan terluka. Bahkan oleh sentuhan yang sama sekali tidak keras. Tentu saja karena penyakit gadis itu. Jadi sebenarnya, ini bukanlah kesalahan Ken.
"Sudahlah. Itu bukan salahmu. Aku baik-baik saja." Maya menatap Ken lurus-lurus.
"Pesanlah sesuatu. Aku akan mentraktirmu!"
Maya melongo tak percaya, benarkah apa yang di dengarnya ini? Tidakkah telinganya itu sedang menggodanya?
Maya menggeleng pelan, yang sakit itu bukan telinganya, jadi tentu saja dia tidak salah dengar. Maya tidak bisa menahan senyumnya. Dengan semangat, ia memesan begitu banyak makanan dan minuman. Bukan karena ia lapar atau apa, tapi karena dirinya ingin berlama-lama bersama Ken.
Ken kembali membuka bukunya.
"Akan sangat baik jika kau tidak berisik!" kata Ken pelan.
Maya mengangguk pelan, tidak masalah. Asal ia bisa memandangi pria itu dari dekat, ia akan menutup mulutnya rapat-rapat.
Ken sangat indah. Dia tampan dan berkharisma. Cukup lama Maya memandangi pria itu.
"Jangan menatapku seperti itu!" ucap Ken datar.
Maya hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Bagaimana ia bisa tidak memandangi Ken seperti itu? Jarang-jarang dirinya bisa duduk sedekat ini dengan Ken.
"Kau tampan!" puji Maya.
"Aku tahu." sahut Ken tanpa menoleh ke arah gadis yang duduk di sebelahnya itu.
Tak lama, makanan yang Maya pesan datang. Gadis itu cukup terkejut melihat begitu banyak makanan berada di mejanya saat ini.
Sungguh, ia tidak bisa mempercayai matanya, apa tadi dirinya memesan makanan sebanyak ini?
Astaga.
"Ken!" teriak seseorang.
Kontan Maya langsung menoleh ke arah suara tersebut. Seorang perempuan berjalan menghampiri mereka, atau lebih tepatnya, menghampiri Ken.
Maya terdiam melihata betapa cantik dan sexy gadis itu.
Tapi, apa yang perempuan itu pikirkan? Kenapa dia memakai pakaian yang cuku ketat seperti itu di kampus?
"Aku pinjam mobil ya, mobilku mogok!" kata permpuan tersebut setelah ia duduk di sisi lain samping Ken.
Tanpa mengatakan apa pun, Ken langsung menyerahkan kunci mobilnya. Pria itu benar-benar sedang fokus pada buku yang dibacanya.
"Makasih. Aku ke rumah nanti malam ya!" seru perempuan itu lalu mendekat ke arah Ken dan mengecup pipi pria itu.
"Aku pergi!" perempuan itu langsung beranjak meninggalkan Ken tanpa menoleh sedikit pun ke arah Maya, seolah gadis itu tidak ada di sana.
Dada Maya langsung berdenyut nyeri. Sakit sekali. Matanya terasa panas, sebisa mungkin, ia menahan air matanya.
Dan tiba-tiba saja, kepala Maya terasa sakit sekali. Ia langsung menggenggam erat tasnya dan berdiri.
"Terima kasih untuk traktirannya!" ucap Maya dengan suara parau. Setelah mengatakan itu, ia lalu berlari meninggalkan Ken.
Air mata gadis itu, perlahan mengalir dari mata sayunya. Dadanya benar-benar terasa sesak, panas, dan pedih. Maya tidak habis pikir, Ken seharusnya tahu kalau Maya menyukainya, dan kalau Ken sudah memiliki kekasih, kenapa dia tidak mengatakannya dari dulu?
Maya memukul pelan dadanya yang terasa begitu sesak hingga sulit bagi gadis itu untuk bernapas.
Maya segera berlari menuju taman dan duduk di bawah pohon besar.
Nyeri itu datang lagi, ia pun langsung meminum obat yang ia simpan di dalam tasnya.
Setelah menelan kasar obat-obatan itu, Maya mengumpat kasar. Obat itu tidak berguna, lengan dan kepalanya terasa sangat sakit.
Darah?
Maya panik saat ia merasakan sebuah cairan kental yang mengalir dari hidungnya. Tidak lagi, mengapa ini selalu terjadi padanya? Sangat melelahkan.
Dengan panik, Maya mencari tisu dan menyumbat hidungnya.
'Apa aku akan mati sekarang? Tidak, jangan!' batin Maya menjerit pilu.
Uhuk!
Gadis itu terbatuk, dan banyak sekali darah yang keluar dari mulutnya.
"Astaga, May!"
Samar-samar Maya melihat bayangan seseorang yang tengah berlari ke arahnya.
'Tuhan, aku ingin mati dengan bahagia. Jangan ambil nyawaku dulu.' teriak Maya dalam hati.
Uhuk!
Yudha berteriak sambil berlari sekencang yang ia bisa menuju ke arah Maya.
Maya terlihat sangat kesakitan. Ia terus mencengkram lengannya, napasnya terlihat tersengal-sengal, dan saat ia batuk, darah segar keluar dari mulutnya.
"May, kau mendengarku?" Yudha menangkap tubuh Maya yang hendak terjatuh.
Maya seperti sedang sesak napas. Ia tidak menyahut, segera saja Yudha mengangkat tubuh gadis itu, ia lalu menggendongnya berlari menuju parkiran.
"Yudha, ada apa?" pekik Puspita panik, kebetulan ia juga sedang berada di parkiran.
"Ambilkan kunci mobil di sakuku!" perintah Yudha.
Puspita langsung merogoh saku celana Yudha dan mengambilkan kunci mobil pria itu.
"Bukakan pintunya!"
Secepat mungkin, Puspita membukanya dan membantu Yudha menaikkan Maya ke dalam mobil.