Chereads / MENGEJAR CINTA YANG SEDERHANA / Chapter 5 - Tentang Rei

Chapter 5 - Tentang Rei

Rei berlari dengan tergesa masuk ke dalam rumah Rani, ia langsung merinding saat para cabe di gang selalu merayunya setiap kali ia datang.

Rei melewati ruang tamu dan berhenti sejenak di depan kamar bibi Rani yang terbuka.

"Malam bi!" seru Rei sambil bersandar di ambang pintu. Bibi Hana yang sedang menonton tv langsung menoleh ke arah pria itu.

"Bibi menyisihkan ayam goreng untukmu di dapur!" setelah mengatakan itu, Bibi Hana kembali mengalihkan pandangannya ke arah tv. Ah, ada sinetron favoritnya di sana, jangan ganggu atau tanduknya akan keluar.

"Akan kumakan!" sahut Rei sambil berlalu.

Setelah memakan ayam goreng di dapur, Rei langsung menaiki tangga dan menuju kamar Rani.

Seperti biasa, kamar gadis itu tidak di kunci, karena kalau dikunci, tentu saja Rei akan mendobraknya lagi.

Rani masih menyayangi pintu kamarnya, akan sangat merepotkan jika pintu itu rusak lagi.

Rei langsung melompat ke kasur dan beringsuk menggeser Rani yang tengah tertidur dengan pulasnya ke tepi.

"Argh! Tidur di luar sana!" teriak Rani kesal.

"Kau saja yang tidur di luar. Geser dikit! Sempit tahu!" Rei terus bergerak mencoba menggeser Rani.

Rani langsung bangkit duduk dan memukul Rei menggunakan gulingnya.

"Udah tahu sempit ngapain malah nyempil di sini?" amuk Rani.

"Ribet amat sih, Ran? Kan tinggal geser saja!"

Akhirnya Rani mengalah, ia pun menggeser tubuhnya ke tepi.

"Anak pintar!" kata Rei pelan.

Rei menarik selimut menutupi setengah badannya, ia lalu merengkuh guling yang dipakai Rani untuk memukulnya tadi, dan memeluknya erat.

"Rei, apa kau baru makan ayam? Napasmu bau ayam goreng!" seru Rani tiba-tiba.

"Iya. Emang bau ya?"

"Tentu saja! Sana sikat gigi dulu!"

"Cerewet! Aku ngantuk! Aku mau tidur!"

Rei mengeratkan pelukannya pada guling dan memejamkan matanya rapat-rapat.

Rai mengambil guling lain di bawahnya dan menaruhnya di tengah sebagai sekat antara dia dan Rei.

Bagi Rei, ini adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa nyaman. Di rumah Rani.

Ia terlahir di dalam keluarga yang berantakan, setiap kali pria itu berada di rumah, ia merasa tertekan. Dadanya terasa begitu sesak, sulit sekali untuknya bernapas di sana. Karena itu, Rei slalu pergi ke sini setiap kali ia merasa frustrasi.

Rei suka berada di sini. Tidak ada orang yang memakai topeng di sini. Mereka semua baik dan sederhana. Bibi Hana memperlakukannya seperti anaknya sendiri, dan Rani? Rei merasa sangat nyaman dan tenang berada di dekat gadis itu.

Sayang sekali, setahu Rei, Rani itu menyukai perempuan, kalau tidak, mungkin ia akan menjadikan gadis itu sebagai pacarnya.

Tapi jika Rei pikir-pikir, mungkin memang lebih baik seperti ini. Jika Rani menyukai pria, dan terbawa perasaan terhadapnya, itu tidak akan baik untuk gadis itu. Rani tidak boleh berakhir dengan pria seburuk dirinya.

Yah, setidaknya begitu menurut Rei.

"Rei, apa kau sudah tidur?" tanya Rani yang langsung membuyarkan lamunan Rei.

"Belum. Kenapa?" Rei pun membuka matanya dan menoleh ke arah gadis itu.

"Kemarin aku melihatmu bersama seorang gadis!" kata Rani dengan ekspresi datar.

"Lalu?"

"Siapa gadis itu?"

"Gadis itu? Kau tertarik denganya? Lupakan saja, dia itu murahan. Dia sudah disentuh banyak pria. Cari saja gadis lain!" sahut Rei datar.

Sungguh, mendengar Rei mengatakan itu, membuat tangan Rani terasa gatal ingin memelintir mulut sialan Rei.

Rei langsung merasa kasihan pada Rani. Kenapa Rani itu harus tertarik pada perempuan? Dia cantik, pintar dan baik. Jika dia normal, pasti banyak pria yang menyukainya.

Tapi, jika memang perempuan yang bisa membuatnya bahagia, ya sudah. Yang terpenting bagi Rei, adalah kebahagiaan gadis itu. Hanya itu.

"Kalau dia murahan, kenapa kau bersamanya?" Rani merasa kesal.

"Aku ini pria normal, Ran! Saat ada gadis sexy yang menggodaku, tentu saja aku akan tergoda. Tapi tenang saja, semua sudah berakhir kok. Setelah melakukannya, kami tidak akan berhubungan lagi!"

Jisoo melongo tak percaya dengan apa yang ia dengar. Well, dia memang tahu, Rei itu playboy dan suka gonta-ganti pasangan. Hanya saja, menyebalkan membayangkan apa saja yang Rei lakukan dengan para gadis di luaran sana. Rani lalu merengut kesal dan langsung turun dari kasur.

'Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?' batin Rei.

"Hei, Ran! Kau kenapa?" tanya Rei bingung.

"Tidak apa-apa. Kau bilang ngantuk kan? Cepat tidur!" sahut gadis itu lalu beranjak keluar dari kamarnya.

'Dasar aneh. Terserah saja.'

Rei kembali merengkuh guling dan memeluknya erat. Kali ini ia benar-benar mengantuk. Ia langsung memejamkan matanya rapat-rapat.

Sementara Rani langsung menuju dapur dan mengambil botol berisi air dingin di kulkas. Ia langsung meneguk air tersebut hingga lebih dari setengah botol.

Dengan Rei selalu saja menguras emosinya. Serius, bagaimana caranya ia bisa memberitahu Rei tentang dia yang sebenarnya?

Rani keluar dari dapur dan menyusul bibinya yang sedang asik nonon sinetron di kamarnya.

"Kenapa itu mulutmu manyun seperti itu?" tanya Bi Hana saat Rani duduk di sampingnya.

"Bi, bisa belikan aku pintu besi yang tidak bisa di dobrak? Ini melelahkan! Rei selalu saja tidur di kamarku! Aku butuh privasi!" seru Rani jengkel.

Bi Hana hanya tertawa pelan merespon ucapan Rani. Baginya, Rei itu sudah di anggap sebagai anak sendiri, begitu pun dengan Rani. Jadi, wajar baginya jika Rei datang dan mengacau kamar keponakannya itu.

"Rei tampan kan? Tidak tertarik padanya?"

"Tertarik pun percuma! Bibi kan tahu dia menganggapku menyukai perempuan!"

Sekali lagi Bi Hana tertawa renyah. Entah sejak kapan kesalah pahaman itu terjadi, tapi itu bukan masalah besar. Bi Hana yakin, bahwa lama-lama, Rei akan menyadarinya. Serahkan semuanya pada waktu.

"Sabar!" Bi Hana berujar pelan.

"Oh iya, Bi. Boleh aku ngekos atau mengontrak rumah saja di dekat kampus?" Rani menatap Bi Hana dengan penuh harap. Ia pikir, jika ia tinggal di kos-kosan, ia bisa sedikit mengurangi rasa sukanya pada Rei.

"Tidak! Kau mau meninggalkan bibi sendirian di sini?"

Ah, benar juga. Rani langsung meringis dan memeluk bibinya itu erat-erat.

Apa yang dia pikirkan? Meninggalkan bibinya tinggal di lingkungan seperti ini sendirian? Yah, meskipun orang-orang di tempat ini cukup menyegani bibinya, Rani tetap saja merasa khawatir.

"Cepat atau lambat, Rei akan menyadarinya. Jadi, bersabarlah terlebih dulu! Jangan dikit-dikit mau kabur!"

"Iya, iya, Bi! Aku cantik, aku sabar!" Rani menggumam pelan sambil mengelus dadanya.

Mungkin saja, Rei akan segera menyadarinya karena mereka menghabiskan banyak waktu bersama.

"Bagaimana kabar Maya?"

"Belum ada kemajuan." sahut Rani pelan.

"Malang sekali dia, cantik dan kaya tapi cobaannya sebesar itu." gumam Bi Hana pelan.