Menangisi goresan takdir hidupnya yang mengenaskan semalaman suntuk membuat Arlet perlahan menjadi lebih baik.
Dadanya sudah tidak sesak lagi, di dekat tungku Arlet duduk sambil mengulurkan kedua tangannya agar dapat merasakan hangatnya api itu.
"Ibu melihat ku dari surga? Apakah ibu mengetahui apa yang sudah ayah lakukan hingga menyebabkan diriku menjadi wanita sehina ini?"
Dagu yang sedikit runcing itu mendarat di kedua lututnya, "Mengapa Tuhan menghukum ayah melalui diriku, Bu?"
"Cucuku?" seru nenek Nity dengan langkah pelannya, dia membawakan selimut tebal agar Arlet tidak kedinginan, "Pakailah selimut ini sayang agar tubuhmu menjadi lebih hangat..."
"Terima kasih, nek..." tutur Arlet dengan senyuman yang ramah, manik cokelat itu sudah tak terlihat sayu bersedih lagi.
Malam pun semakin larut dan salju masih turun memenuhi bumi bagian Italia.
Nenek Nity dan Arlet tidur di atas satu tilam kapuk, tangan keriput itu mencoba memeluk tubuh Arlet agar lebih hangat lagi.
"Selamat malam, sayang..."
***
Di kediaman tuan muda Alexander Gong, dirinya tengah duduk menonton tv dan di ruangan itu juga ada tungku api yang sedang menyala.
Sandal berbulu halus lembut itu menghiasai kedua kakinya, Alexander memakai piyama biru bintik cokelat yang cukup tebal.
Tak seberapa lama kemudian kakek Gong meneleponnya dari Negeri tirai bambu—China.
"Halo, kek?"
"Alex apakah kau masih hidup, apakah kau juga masih menganggap aku ini kakek mu?!" teriak kakek Gong dengan ketus di ujung telepon itu.
Membuat Alexander mengernyit sebal sambil menjauhkan hp itu dari telinganya, "Kenapa kakek bertanya seperti itu? Tentu saja aku ini masih cucu semata wayang keluarga Gong."
"Jika kau menganggapnya demikian, kakek ingin saat tahun baru nanti kau pulang untuk menikah!" dan secara sepihak kakek Gong mematikan teleponnya.
"Hm... lagi-lagi seperti ini," geram Alexander lalu meletakan ponselnya tepat di sebelah kanan ia duduk.
"Tuan muda?"
Alexander menoleh pada Bob yang berdiri di sisi kirinya, dia menjawab sapaan kepala pelayan itu dengan menaikkan satu alisnya.
"Tuan Ken ada di depan, tuan, dan ingin bertemu dengan tuan muda."
"Suruh saja masuk aku menunggu di ruangan kerja," Alexander pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi ke tempat ia maksud.
"Baik tuan muda, saya mengerti."
Bob pun segera menghampiri Ken yang sedang menunggu di ruang tamu, "Tuan Ken, tuan muda sudah menunggu di ruangan kerja beliau... silakan," imbuh Bob yang langsung di jawab Ken.
"Baiklah jika begitu, ah Bob bisakah kau membuatkan ku teh lemon?"
"Bisa tuan akan segera saya bawakan."
"Dan, jangan lupa berikan tiga sendok teh madu, ya?"
Bob mengangguk pelan, "Akan saya tambahkan, tuan."
***
Di dalam ruangan kerja Alexander dan Ken tengah duduk di sofa yang bersebrangan, di atas meja itu sudah tersaji dua cangkir sedang minuman teh lemon madu, dan juga minuman whiskey kesukaan sang tuan muda.
"Ada perlu apa kau datang malam-malam?"
"Begini tuan, anak buah saya A dan B menginfokan jika nona Scarlet mereka buang di tempat pembuangan sampah, dan saat saya mengeceknya tadi ... ternyata nona Scarlet sudah tidak ada di tempat itu, saya khawatir jika ada orang lain yang membantunya—"
"Hmph!"
Ken terdiam saat Alexander memotong ucapannya dengan menyeringai jahat.
"Biarkan saja gadis itu, bukankah itu malah semakin bagus untuk menghancurkannya?"
Ken terlihat mengerutkan kening, "Tuan?"
"Minumlah minuman mu selagi hangat, Ken," seru Alexander sambil meraih cangkirnya yang berisi whiskey kemudian meneguknya.
Begitupun juga dengan Ken yang ikut meneguk minuman tehnya.
"Penderitaan yang di alami oleh gadis itu hanyalah sebuah DP, karena hukuman rimba ku yang sebenarnya baru saja akan di mulai!"
Alexander menatap tajam pada objek di tangannya, kedua matanya menyipit lalu meletakkan cangkir itu kembali di atas meja.
"Tuan melakukannya untuk memancing Aldrich keluar?" pertanyaan Ken itu membuat Alexander mengangguk pelan, "Bagaimana jika pria paru baya itu tidak muncul juga, tuan?"
"Mudah! Aku hanya perlu memenggal kepala gadis itu di hadapan media!"
Glek!
Singa jantan itu sedang berada dalam mode emosi, sedikit lagi pemicu yang di butuhkan untuk mengeluarkan aksinya.
"Ken, terima kasih atas laporan mu barusan dan sekarang ... " Ken menatap pintu ruangan kerja yang baru saja di tunjuk oleh kelima jari tuannya, "Pulanglah, kita lanjutkan lagi pekerjaan kita besok!"
Ken beranjak bangun dari duduknya bersamaan dengan Alexander, "Jika begitu saya pergi dulu, karena besok pagi masih ada beberapa proposal yang perlu di tinjau."
"Lakukan pekerjaan mu dengan baik."
***
Malam larut hampir melewati puncaknya di mana semua para penghuni bumi telah terlelap di dalam tidurnya masing-masing.
Begitupun juga dengan tuan muda kita yang satu ini, dia tertidur dengan lelap sambil memeluk guling.
Di dalam mimpi bahkan dirinya malah bertemu dengan sosok Arlet yang sedang bermain dengan anak kecil—perempuan.
Keringat mulai muncul di area pelipis dan keningnya, 'Siapa anak itu?' gumamnya dari alam mimpi, sungguh mimpi yang terlihat begitu nyata.
"Mama, mama," seru anak perempuan itu, dia tersenyum dan menunjuk ke arah Alexander berdiri, "Itu papa, ma... papa... papa..." seru anak kecil itu sambil dada-dada yang juga di angguki Arlet sambil tersenyum.
"Bukan!" pekik Alexander yang tersadar dari alam mimpinya, dia terduduk sambil mengusap keningnya yang basah, "Sialan! Untung saja hanya mimpi!" tandasnya sambil menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari.
Masih mengantuk akhirnya dia pun kembali tertidur, sementara Ken yang ternyata di apartemennya masih terjaga di hadapan sebuah laptop, dia meneguk air mineral botolnya berulang kali.
"Aldrich, di mana kau bersembunyi? Apakah aku akan membiarkan putrimu sendiri terbunuh karena menanggung kesalahan yang telah kau perbuat?"
Jemarinya masih berselancar di papan keyboard itu dan terus mencari keberadaan pria paru baya dengan menggunakan semua pendukung yang ia miliki.
Lima belas menit kemudian Ken akhirnya berhasil menemukan sebuah alamat yang di duga menjadi tempat persembunyian Aldrich.
"Dapat! Mau lari kemana lagi kau setelah ini?" tutur Ken dengan menyeringai, akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak juga.
Di usapnya layar hp yang menunjukan pukul 03.20 dini hari, "Ini pun cukup untuk aku tidur hingga matahari pagi terbit," Ken mematikan laptopnya dan beranjak naik ke atas ranjang untuk tidur.
***
Sekitar pukul 06.54 matahari terbit di ufuk timur Italia, hari ini adalah menjadi hari terakhir di bulan Februari.
"Engh..." Arlet terbangun sedikit terlambat dari nenek Nity, nenek sudah pergi sejak tadi untuk memulung.
Di atas meja kecil itu sudah tersaji sarapan pagi untuknya, juga segelas susu hangat.
Salju di luar masih setia menghujani membuat kulit mulus Arlet meremang dingin.