Mobil mereka pun melaju menuju kantor, setibanya di kantor Alexander turun dari mobil hitamnya yang di sopiri oleh Ken, rahangnya mengeras dengan dagu yang terangkat congkak.
Napasnya berembus panas dengan kedua tangannya yang terkepal erat penuh emosi, bagaimana bisa ia tak marah saat proyek yang di gadang-gadang akan menjadi sebuah tempat investasi malah jadi seperti ini.
Foto-foto proyek pembangunan itu berjejer di atas meja kerjanya, bara api memenuhi dadanya.
Yang tadinya Alexander bisa membayangkan pekerjaan ini telah mencapai 75%, namun yang terjadi malah sebaliknya.
25%, hanya pondasinya saja yang sudah di kerjakan, 1 Juta Yuan yang bila di rupiahkan adalah Rp.2,222,222,200; dan di konveksi kan ke mata uang Italia—adalah 128,800 Euro.
Alexander duduk di kursi kerjanya dengan melonggarkan dasi, selain foto di atas meja itu juga terdapat lembaran kertas berisikan data dan informasi mengenai proyeknya.
"Ah, sialan! Tidak ada gunanya semua data-data ini! Untuk apa semua ini, shit!"
dengan penuh emosi Alexander merobek lembaran kertas tersebut lalu membuangnya ke sembarang arah.
***
Monaco University
Di jam istirahat Arlet seperti biasa selalu menghabiskan waktunya dengan membaca buku di perpustakaan.
Dia tidak tahu jika hari ini akan menjadi hari terakhirnya berada di universitas ternama Italia, akibat ulah sang ayah yang membawa kabur uang senilai 1 juta Yuan.
Di lorong yang menghubungkan langsung ke perpustakaan itu para penjaga pria berseragam hitam-hitam berjalan teratur di belakang Ken.
Semua mata mahasiswa dan mahasiswi menatap satu arah pada rombongan mereka, tampan dan sangar.
Klek!
Seorang penjaga bernama A membukakan pintu untuk tuannya—Ken.
"Silakan masuk tuan, kami akan berjaga di luar."
"Hm," Ken pun masuk ke dalam perpustakaan, dia mengedarkan pandangannya pada mahasiswa dan mahasiswi lalu bertanya, "Siapa di antara kalian yang bernama Scarlet?" suaranya tegas dan lantang.
Mata mereka tidak memandang pada Scarlet tetapi telunjuk mereka mengarah pada gadis yang bernama Scarlet, gadis itu tak mendengar suara Ken yang baru saja menanyakan namanya dikarenakan kedua telinganya di tempeli earphone.
"Selain nona Scarlet, yang lainnya silakan keluar!"
Hawanya mulai dingin dan tentu saja mereka mau menurutinya dari pada harus terlibat masalah.
Setelah suasananya sepi dan hanya ada mereka berdua saja di dalam perpustakaan itu—Scarlet dan Ken.
Ken mendekati mejanya lalu mengetukkan telunjuknya di atas meja, "Nona Scarlet?!"
"Hm?" Scarlet mengerjap-ngerjapkan mata saat melihat tangan kekar mengetuk tepat di hadapannya, "I—iya?" lalu dia mengangkat wajahnya untuk melihat siapakah gerangan pria itu, mulutnya pun sedikit terbuka karena kaget, "Si—siapa anda, tuan?"
"Ikutlah bersama saya untuk menemui tuan muda di kantor dengan tenang, dan tanpa memberikan penolakan sekecil apa pun."
Kening gadis itu berkerut dengan pangkal alis yang hampir menyatu, di wajahnya terdapat bercak cokelat kecil yang melintas di jembatan hidungnya.
Mata sipit yang di tumbuhi bulu mata lentik, hidung mancung dan bibir yang tipis kemerah-merahan, dagunya sedikit runcing, Arlet memiliki manik cokelat yang indah.
"Kenapa saya harus ikut dengan anda, tuan? Saya tidak mau!" tegas Arlet menolak, dia menutup buku bacaannya dan hendak menaruh kembali buku tersebut di rak namun Ken dengan segera meraih tangan kiri gadis itu.
"Sudah saya katakan, bukan? Untuk ikut tanpa memberikan perlawanan sekecil apa pun!" balas Ken dengan nada tinggi sambil menarik tangan itu membuat tubuh Arlet mendekat sempurna lalu Ken melayangkan tangannya tepat di tengkuk Arlet.
Dan gadis itu pun pingsan seketika, sebelum tubuhnya benar-benar jatuh ke lantai, Ken segera menarik pinggang itu merapat pada tubuhnya.
Rambut ikal panjang sebahu itu terurai, poni itu hampir menutupi kelopak matanya, Scarlet Aldrich nama lengkapnya.
"Karena perbuatan ayahmu, maka tuan muda akan menuntut hak nya padamu, nona Scarlet!"
Tak seberapa lama pun pintu perpustakaan kembali terbuka, Ken melangkah keluar dengan menggendong Arlet ala bridal style.
"Kita kembali ke kantor."
"Baik, tuan!" jawab para penjaga itu dengan serentak menegapkan dada.
***
"Engh..." perlahan Arlet mengerjapkan kedua matanya dengan pelan, ia berusaha untuk bangun namun masih terasa pusing.
Begitu ia menggerakkan tangannya, "Hah?" alisnya menukik dengan kerutan di keningnya, dia menatap pergelangan tangannya yang sudah di borgol rantai panjang, dia terbaring di atas ranjang dengan posisi terlentang.
Gadis itu masih berusaha untuk melepaskan diri bahkan kedua kakinya pun dalam kondisi yang sama dengan tangannya, di borgol rantai.
"Ada orang? Tolong siapa pun tolong lepaskan aku... aku—" Arlet menatap pintu kamar mandi yang terbuka lebar, manik cokelatnya bergetar saat melihat sosok pria bertubuh kekar yang hanya mengenakan sehelai handuk.
Handuk itu melilit sempurna di pinggangnya, pandangan dari manik cokelat Arlet naik ke ABS hingga ke dada bidangnya, tatapan matanya belum sampai pada wajah sang tuan muda.
"Sudah sadar?" suara bariton itu membuat manik cokelatnya langsung menatap wajah tampan tak berekspresi itu.
"Si—siapa anda, tuan? Tolong lepaskan saya... saya tidak pernah menyakiti anda atau menyakiti orang lain—"
"Yeah, aku tahu itu nona Scarlet..." kemudian Alexander menyeringai sambil melangkahkan kedua kakinya mendekati ranjang, lalu dia duduk di tepi ranjang itu.
Tangan kekarnya ingin mengelus pipi mulus Arlet namun dia menolak, dengan memalingkan wajahnya ke kiri, "Jangan sentuh saya, tuan... saya mohon tolong lepaskan saya!"
Melihat reaksi Arlet yang seperti itu benar-benar membuatnya tak senang, "Bodoh! Dengan reaksi mu yang seperti itu kau sudah membangunkan singa yang tidur di dalam diriku!"
Lalu Alexander berpindah posisi dari duduknya dan kini dirinya berada di antara kaki Arlet, tangan kirinya meraba paha kanan sang gadis.
"Jangan sentuh saya!" pekik Arlet dengan mata yang berkaca-kaca, bibir yang bergetar itu pun ia gigit dengan kuat.
Dengan menggeleng cepat Arlet kembali meronta memohon untuk di lepaskan, dia menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, semua perlawanan ia lakukan namun bukan Alexander namanya jika tidak bisa melumpuhkan lawan jenisnya.
Satu kali gerakan membuat tubuh Arlet melemah, tangan kekar itu mengangkat kedua kaki Arlet sejajar dengan panggul tubuh kekarnya.
"Ini adalah ganjaran yang harus kau terima karena telah menjadi bagian dari Aldrich," Alexander mendekatkan wajahnya pada wajah pucat Arlet, lalu menggigit bibir gadis itu.
Bibir Alexander itu pun mulai mengecup bibir Arlet, dari pelan lalu melahapnya dengan rakus bahkan ia mengerutkan giginya pada bibir Arlet membuat gadis itu meringis kesakitan.
Arlet merasa bibirnya bengkak akibat lahapan seorang tuan muda Alexander, puas pada bibir dia pun beranjak menurunkan bibirnya di ceruk leher Arlet.
Menghisap dan menggigitnya berulang kali, memberikan sentuhan sensasional hingga akhirnya Arlet benar-benar tak bisa mengontrol dirinya.
Vaginanya berkedut-kedut dan basah, foreplay yang lumayan bisa membantu Alexander untuk merenggut keperawanannya.
Tangannya mulai bermain di buah dada Arlet, dari pelan lalu meremasnya dengan sangat kuat hingga membuat Arlet menjerit kesakitan.
"Ah!"