"Ya udah lo hidup aja di Negeri dongeng. Jangan di Bumi!" Ucap Kiya ketus. Dia makin geram dengan Cowok yang duduk dibangku kemudi.
"Terus kelanjutannya gimana?" Raka makin penasaran.
"Gak tau! Gue gak inget lagi. Tiba-tiba udah pagi aja." Kiya menjawab dengan sedikit ragu. "Lagian lo banyak nanya amat sih. Kaya wartawan."
"Aku cuma mau memastikan aja."
Kiya menatap Raka curiga. "Memastikan apa?"
"Kamu enggak apa-apa kan?" Ucapan Raka membuat Kiya menyiptkan matanya, "Maksudnya, gak ada yang sakit apanya gitu?" Lanjutnya kembali memastikan.
"Apanya?"
"Ya apa gitu."
"AH IYA!" Kiya memukul paha Raka membuat Cowok itu terkejut.
"Inget? Apa?"
"Ini nih ..." Kiya menunjuk kepalanya. "Kepala gue sakit. Lo nanya-nanya mulu bikin kepala gue pusing tau gak?! Cepetan anterin gue balik, jangan banyak bacot!" Ucap Kiya final.
Raka menghela napas pasrah dan langsung memasang seatbeltnya lagi. Dia mencoba mengendarai mobilnya dengan tenang walaupun hati dan pikirannya sekarang benar-benar sedang gelisah. Dia merasa penjelasan Kiya belum cukup untuknya. Sedangkan Kiya juga merasa bingung apa yang sebenarnya terjadi. Sambil melihat jalan yang sebenarnya tidak berubah, pikiran gadis itu berkelana lebih jauh, tentang lelaki itu, Raka dan dirinya yang bisa berada di sana semalaman.
Perajalanan tiga puluh menit akhirnya mereka sampai ke tujuan. Mobil Raka masuk ke perkarangan rumah Kiya. Memberhentikan mobilnya tepat di halaman rumah bernuansa putih itu.
"Thanks, ya."
Kiya membuka seatbeltnya. Bersiap untuk keluar dari mobil. Namun, Raka dengan cepat menahan lengan Kiya. Meminta kepada Cewek itu untuk tinggal lebih lama di dalam mobil.
"Kenapa lagi?"
Raka menatap kedua mata Kiya. Kali ini Raka benar-benar akan serius. "Setelah ini apa masih ada kesempatan?"
"Lo ngajakin gue ngobrol serius atau bercanda nih?" Kiya berupaya memastikan. Karena Raka adalah type cowok yang tidak bisa di ajak serius.
"Aku gak pernah bercanda kalau masalah hati, Kiya."
Kiya tertegun mendengarnya. Dengan mantap hati akhirnya Kiya menjawab. "Sebenarnya pertanyaan lo ini udah salah sih. Karena dari awal, enggak ada kesempatan buat lo. Kenapa? Ya karena dari cara lo deketin gue aja itu udah salah. Jadi, lo bisa menyimpulkan sendiri lah ya jawaban gue selanjutnya apa."
"Kalau gitu, kali ini—" Perkataan Raka menggantung. Dia melepas seatbeltnya dan mencoba mengatur posisi duduknya agar sebisa mungkin menghadap ke arah Kiya. Raka ingin menatap manik mata Cewek itu.
"Jangan menjauh ataupun menghindar kalau aku kasih perhatian. Aku mau serius sama kamu. kalau memang itu engga membuat kamu melihat aku sedikit aja, aku yang akan pergi."
Kiya menyentuh kening Raka dengan punggung tangannya. "Lo gak sakit ah. Atau salah minum obat kali ya?"
"Kiyaaa ... aku serius!"
"Kata lo hidup jangan terlalu di bawa serius. Plin plan banget!"
Raka mendengus kesal mendengar jawaban Kiya. "Semenjak kenal kamu, aku sadar. Dalam hidup harus ada keseriusan di setiap prosesnya."
"Yaudah, Bye."
"Please, Kiya." Mata Raka berbinar menatap mata Kiya. "Kasih aku waktu satu bulan deh. Kalau aku bener-bener gak dapat kesempatan itu dari kamu. aku mundur gak akan ganggu kamu lagi."
Kiya memprotes. "Tapi kan lo udah gangguin hampir satu semester ini, Raka. Apa itu belum cukup membuktikan bahwa gue gak suka sama lo?"
Bukannya marah, Raka malah tertawa geli mendengarnya. "Emang iya? Waktu terasa begitu singkat banget sih pas aku ketemu kamu. kamu itu adalah bentuk cinta yang paling sempurna."
Kiya memandang Cowok itu dengan jijik. "Cinta bertepuk sebelah tangan lo bilang sempurna? Ck, Jijik banget gue denger lo ngomong dari tadi."
"Jadi gimana kesempatan satu bulannya? Deal ya?" tangan Raka terangkat, mencoba untuk membuat kesepakatan dengan Cewek yang di cintainya itu.
Sambil menepis tangan Raka, dengan malas Kiya menjawab, "Iya deh. Setelah itu lo bener-bener harus enyah dari planet Bumi ini."
Raka bergidik ngeri. "Serem amat sih."
Kiya tertawa kecil, membuat matanya ikut menyipit. Raka tersenyum bangga melihat Kiya yang kali pertama bisa tertawa karena dirinya. Raka membiarkan Kiya keluar dari dalam mobil miliknya, meninggalkan Raka dengan wajah sumringah.
Sebenarnya Kiya tertawa karena merasa sedikit lega pada keputusan Raka kali ini. Dia sangat optimis bahwa Raka tidak akan berhasil dalam proses memikat hatinya, karena sepenuh hatinya tidak akan pernah terbagi kepada siapapun. Hanya untuk mantan kekasihnya yang Dia sendiri tidak tau apakah masih dipikirkan atau tidak.
"Jangankan satu bulan, satu tahun aja gue ogah."
Kali ini Kiya benar-benar kejam. Dia mencoba bermain pada perasaan, padahal dulu dia pernah sakit karena sebuah rasa. Cewek dengan rambut dicepol itu masuk ke dalam rumah. Di ikuti dengan suara mobil Raka yang menjauh dari halaman rumahnya.
Kiya jalan mengendap saat melihat ada Bima yang terlihat sedang mondar-mandir sampai tidak sadar akan kehadirannya.
"WOYYYYYY!" Kiya berteriak tepat di daun telinga Bima seraya tangannya menepuk pundak Kakaknya itu.
"Astaghfirullah. Copot jantung gue." Bima mengelus-elus dadanya. Dia semakin terkejut ketika melihat wajah adik bungsunya sekarang ada di hadapannya. Dengan begitu cepat, Bima memeluk Kiya, membuat adiknya keheranan.
"Kenapa sih lo, Kak?" Kiya bertanya, enggan membalas pelukan.
Bima melepas pelukannya. Kedua tangannya memegang pundak adiknya itu. "Akhirnya lo balik, de. Gue kira udah mati ketabrak sama kucing di jalan."
Kiya mencubit dada Bima, biasa di bilang cute. "Garing!"
Bima terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Sebenarnya rasa senang sedang meliputi hatinya saat ini saat mengetahui tidak ada yang berubah dari diri Kiya. Kiya baik-baik saja. Padahal baru saja dia menelepon Alan dan hingga saat ini Alan belum memberikan kabar apapun itu setelah sebelumnya memberitahu bahwa Kiya tidak menginap bersama teman-temannya semalam. Dalam hati Bima masih bertanya kemanakah adiknya semalaman tidak pulang? Namun, melihat adiknya sudah kembali ke rumah dengan sehat dan tak lecet sedikitpun membuatnya mencoba mengenyahkan begitu banyak pertanyaan yang bertengger pada otaknya.
"Lo udah makan?" tanya Bima sedikit khawatir.
"Belum. Ada makanan kan? Lapeeeeerrrrr, nih." Ucap Kiya dengan wajah memelas.
"Ada tuh makanan semalam. Tapi gak tau sih udah basi atau belum. Cobain aja. Kalo udah basi nanti gue anterin elo ke rumah sakit. Yang penting kan makan, biar kenyang, engga laper lagi." Dengan tampang tanpa dosa Bima menjawab. Lagi dan lagi membuat Kiya kesal dengan jawaban Kakaknya itu.
"Iiiihhhhh, jahat banget, ah! Males gue!" Ucap Kiya final.
Kiya berjalan dengan kaki dihentakan kesal. Dia menaiki anak tangga untuk mencapai kamarnya yang berada di lantai dua.
Dari bawah, Bima kembali bersuara. "Mandi dulu sana, bau busuk lo! Nanti gue pesenin go-food."
Kiya tidak terima karena perkataan Bima. Dia mencebikkan bibirnya.
Bima bernapas lega. Tidak di pungkiri, Bima yang selalu jahil dengan kata-katanya dan berujung membuat adiknya merajuk. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, Kiya adalah sebagian dari hidupnya, cintanya. Dia sangat peduli kepada Kiya, tidak akan membiarkan adik kecilnya di sakiti oleh orang lain. Di tinggal oleh Kiya seharian tanpa kabar saja membuatnya pusing tujuh keliling. Bagaimana jadinya jika di tinggal satu bulan. Bisa pusing tujuh turunan dan tujuh tanjakan.
Di dalam kamar, sambil menanggalkan pakaiannya satu-satu dan bergegas untuk mandi. Kiya malah kembali memikirkan Raka dengan segala ucapannya dan bayangan seseorang dalam masa lalunya yang kembali muncul.
~~~~