****
Dengan ekspresi ngeri, Raka menempelkan plester dipelipis Kiya dengan hati-hati. Kiya bercermin pada kamera diponselnya, memastikan wajahnya masih cantik. Dia menyentuh plester tu, menyipitkan matanya dan menggeram saat melihat sosok Cinderella dan gaun berwarna birunya.
Raka tersenyum lebar, "Biar orang tahu kalau kamu perempuan." Tangannya terangkat menyentuh puncak kepala Kiya. "Harus dijaga dan dilestarikan."
"Dilestarikan? Emangnya gue flora?"
Raka terkekeh. Melihat wajah Raka yang kembali ceria justru membuatnya malu. Kontan Kiya langsung menundukkan kepalanya. Bisa-bisanya Dia menjadikan pundak lelaki itu untuk mencurahkan isi hatinya. Menyadari sikap Kiya yang berubah, Raka menyentuh kedua tangan Kiya, membawanya ke atas paha cowok itu.
Refleks Kiya menepis genggaman tangan Raka yang berada ditangannya. Padahal Dia merasakan kehangatan dari genggaman yang Raka ciptakan. Kiya terlalu gengsi untuk menyadari hatinya. Dari Jemari Raka seakan ada energi yang ditransfer dan membuat dirinya tenang. Kiya kembali menepis Raka dari pikirannya.
"Modus lagi?"
"Tu-lus!"
Raka menatap mata hazel Kiya, mencoba mencari tahu perasaan Kiya dari matanya. Mata yang biasanya memancarkan permusuhan, kini seperti tercipta perdamaian.
"Betewe, itu ponsel baru?"
"Ini?" Kiya menganggkat ponselnya. "Ponsel lama gue kok. Mungkin lebih tepatnya jadul ya karena dipakai waktu SMA."
"Yang biasanya kamu pake mana?"
"Di Apartement kemarin lah." Kiya spontan menutup mulutnya, karena keceplosan, justru menimbulkan kecurigaan dalam diri Raka.
Kiya mengalihkan pembicaraan. "Lo tau nggak sih tadi gue hampir mau mati rasanya. Dalam hati gue lebih baik dibunuh aja daripada gue dilecehkan."
Raka terdiam. Merasa bersalah karena membawa Kiya dalam masalah.
"Gue mau lo pergi aja. Hidup gue selalu baik-baik aja sebelumnya."
Raka mencoba mencairkan suasana, "Tapi hati kamu enggak baik-baik aja kan?" Katanya sambil menaik-turunkan alisnya.
Kiya tertawa miris. "Semua yang ada didalam diri gue baik-baik aja kok. Justru karena kedatangan lo, gue jadi manusia yang paling sial di muka bumi," ucap Kiya sarkastik.
Raka menelan salivanya dengan susah payah karena penjelasan Kiya. "Aku janji akan merubah kesialan kamu jadi kebahagiaan." Menatap dalam manis mata gadis itu. "Apa aku harus menjadi orang di masa lalu kamu, biar kamu bisa cinta sama aku?"
Kiya menghela napas panjang. Bahkan Dia sendiri tidak bisa menentukan jawaban dari pertanyaan Raka dan hatinya sendiri. "Lo cukup jadi diri lo sendiri. Gue mau tau apa lo bisa bikin gue jatuh cinta tanpa harus menjadi orang yang berbeda."
Akhirnya Raka bisa tersenyum puas mendapatkan jawaban sekaligus lampu hijau untuk hubungannya bersama Kiya. Kepalanya diangguk-anggukan lalu menyeruput es teh manis dihadapannya hingga setengah. Ucapan Kiya membuat tubuhnya panas dan membutuhkan lebih banyak cairan untuk tubuh.
"Gue mau balik."
"Aku anter. Sebentar."
Kiya memandang heran Raka yang keluar dari caffe. Biasanya cowok itu selalu bertanya terlebih dahulu, sekarang malah mengambil keputusan sendiri. Namun, anehnya hati Kiya tidak keberatan atas sikap Raka kali ini, tidak seperti biasanya. Mungkin Kiya agak takut gara-gara melihat Raka yang tadi diliputi amarah.
Suara klakson terdengar dari depan Caffe, Kiya segera membawa tasnya dan bergegas berjalan menuju ke luar. Pandangan Kiya terkejut melihat Raka yang duduk di atas motor antik hitamnya yang classic, biasa disebut dengan istilah Moge atau motor gede.
"Kemana mobil lo?"
"Di Rumah." Raka menyerahkan helm berwana hitam kepada Kiya. "Bisa pakainya?"
"Bisalah. Lagian tumben naik motor."
"Katanya imam kan adanya di depan, bukan di samping."
Kiya terperangah mendengar pernyataan Raka. Melihat itu, tanpa permisi Raka langsung memakaikan Helm ke kepala Kiya. Mengaitkannya hingga terdengar bunyi klik.
Suara dari kaitan helm itu membuat Kiya tersadar dari keterpesonaan sesaatnya kepada Raka. Dengan terburu Dia menaiki motor Raka.
"Emangnya lo mau sholat di atas motor?"
Raka terkekeh mendengar lelucon yang Kiya lontarkan. Tanpa aba-aba Raka langsung menarik gas motornya dan membuat tubuh Kiya hampir terjungkal ke belakang. Kiya memegang jok motor belakangnya erat-erat.
"Sayang nih ada pegangan dianggurin."
Kiya sedikit tersindir mendengarnya, segera Dia menyentuh pundak Raka, berpegangan pada kedua pundak gagah itu.
Raka mendesah kecewa. "Emangnya tukang ojek," dumelnya dalam hati.
Cowok itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang, bahkan hampir di bawah rata-rata. Dia sengaja ingin berlama-lama di atas motor bersama Kiya dengan jarak yang begitu dekat. Karena sifat bawaan oroknya yang sangat jail, ide modus terbesit dikepala Raka, membuatnya menyeringai. Saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, Raka menarik rem secara mendadak membuat tubuh kiya terhuyung ke depan lalu menyentuh punggung belakangnya. Tangan kecil Kiya refleks melingkar pada pinggang Raka.
Raka tersenyum puas, bangga dengan dirinya sendiri. Sebelum Kiya menarik tangannya kembali, Raka sudah lebih dulu menahan tangan gadis itu dengan tangan kirinya. Menyuruh gadis itu tetap berada pada posisinya, tidak berubah sedikitpun.
Bagai terkena hipnotis, Kiya menuruti perlakuan Raka yang begitu manis. Jantungnya berdetak begitu cepat dengan ritme yang tidak beraturan. Namun karena kenyamanan yang tercipta, Kiya juga ingin berlama-lama dengan sisa waktu yang ada bersama Raka.
****
Dengan setelan serba berwarna hitam dan topinya. Orang itu menatap dari kejauhan. Memperhatikan setiap gerakan dan langkah seseorang. Gadis dengan kaos putih dan celana jeans diatas lutut berdiri tidak jauh dari pandangannya, sedang menunggu pesanan nasi goreng yang sedang dibuat penjual. Dia berharap gadis itu selesai dengan urusannya, agar tidak butuh waktu lama lagi untuk menghampirinya.
"Makasih, Bang."
Kiya berjalan dengan kantong kresek hitam digenggamannya. Dia baru saja membeli nasi goreng di taman dekat rumah. Nasi goreng paling dekat dan paling enak. Rasanya mengalahkan nasi goreng yang biasa gadis itu makan di restoran.
Di jalanan perumahan yang sepi, Kiya melangkah pergi meninggalkan taman segera menuju rumahnya. Namun, bayangan seseorang muncul dari pantulan cahaya lampu jalan, terdengar langkah kaki lain yang semakin mendekat ke arahnya. Spontan Kiya memutar tubuhnya, mencari seseorang yang mungkin berjalan bersamanya. Matanya menatap kesekitar dengan perasaan sedikit takut, hening. Tidak ada orang lain yang bersamanya dan langkah kaki itupun ikut menghilang. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang terdengar dari balik rerumputan.
Kiya bergidik ngeri dan memutuskan untuk kembali melangkah dengan tempo yang lebih cepat dari sebelumnya, bahkan sedikit berlari kecil.
Disaat kepanikan melanda, suara motor perlahan mendekat. Motor ninja besar menghadang langkahnya, membuat Kiya terlonjak kaget. Dalam hati Kiya mengucap syukur karena ada orang lain disini. Hawa merinding hilang seketika.
Kiya berjingkrak girang saat motor di hadapannya sudah dipastikan milik Kakaknya, Bima.
"Kak Bima, lo beli motor baru?" Kiya bertanya keheranan.
Lelaki itu tidak bergeming, dia segera turun dari motornya langsung menghampiri Kiya. Namun, Kiya malah melangkah mundur. Dia terlalu percaya diri, padahal lelaki dihadapannya belum juga membuka helm hitamnya.
Perasaan tidak enak kembali meliputi hatinya.
DEG!
Lelaki itu membuka helmetnya, menampilkan sesosok wajah yang sudah lama tidak dilihatnya. Kiya terdiam, memperhatikan dengan seksama wajah itu. Bulu halus yang tumbuh di sekitar wajahnya membuat lelaki itu tampak lebih dewasa dari kali terakhir Kiya melihatnya.
****