Di basemant Apartement, Raka merogoh kantong celana, mengambil kunci mobilnya. Dia menekan tombol lalu segera masuk ke dalam mobil, meletakkan tas Kiya di jok sebelahnya.
Dia mengemudikan mobilnya meninggalkan gedung yang menjulang tinggi.
Wuzzzz...
Mercy slk putih melaju dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan Ibu Kota yang sangat ramai kala malam. Di balik kemudi, Raka terlihat keren dengan penampilannya yang sederhana, mengendarai mobilnya dengan santai. Raka membawa rambutnya ke belakang, terlihat lebih rapi, simetris dengan wajahnya yang panjang. Badannya yang meski tidak tergolong atletis tapi berpostur ideal terasa sangat cocok berada di balik kemudi mobil mewah itu.
Dari penampilannya, jelas sekali kalau status sosial Raka lebih dari sekadar kelas menengah atas. Dia sangat menikmati hidup mewah dan glamor bak selebriti.
Beberapa saat kemudian, mercy slk putih itu berhenti di vallet parking sebuah klub yang cukup ternama di Jakarta.
"Selamat malam..." Seorang petugas vallet menyambut Raka sembari membukakan pintu untuknya.
"Selamat malam..." balas Raka. Dia keluar dari dalam mobil dan bergegas menuju ke dalam klub.
Dari dalam klub sudah terdengar suara hentakan musik klub yang membahana seperti menyambut kehadiran Raka. Saat sudah di dalam klub, Rak memerhatikan kerumunan manusia yang sudah membaur di dance floor, tenggelam dalam euforia pesta Musik yang dimainkan DJ, menyentak terdengar semakin menjadi. Mata Raka bertualang di seluruh area klub, mencari kumpulan teman-temannya.
Pencarian berhenti. Dia berhasil menandai sekelompok orang di salah satu spot di klub.
Raka langsung menghampiri teman-temannya. Dia menepuk pundak Aji dan Aji menoleh. "Rakaaanjay..." serunya. Dia lalu memberikan sebuah salam high five.
"Gue kira lo nggak dateng, Man!" ujar Alan.
"Lagi mumet gue."
"Kirain cabut ke rumah Kiya," Aji menimpali.
Alan ikut menjawab. "Kasih napas lah anak orang."
"Setau gue, lo itu cowok brengsek, Rak. Karena perempuan adalah objek pemuas nafsu doang. Apakah seorang Kiya akan menadi pemuas nafsu Raka pada akhirnya?" ceracau Aji yang mulai tidak jelas karena pengaruh dari alkohol.
"Gue nggak bisa bilang nggak juga, sih. Nggak bisa dipungkiri kalau nanti setelah gue nikah sama dia, otomatis nafsu gue tersalurkan hanya untuk dia." Raka menawab seraya tertawa karena merasa aneh dengan jawabannya sendiri, lebih aneh lagi mau-maunya menjawab pertanyaan orang yang sedang mabuk.
"Wah Raka kita sudah dewasa sekarang, sampai mikirin pernikahan segala." Aji berdecak kagum.
"Ya iyalah. Emangnya lo mau jomblo seumur hidup?" Raka bertanya keheranan.
Alan yang sedari tadi hanya memerhatikan kedua sahabatnya yang berbincang akhirnya ikut angkat bicara. "Wait, wait. Ji, selama ini kita temenan, gue nggak pernah ngeliat lo punya pacar." Alan mulai bergidik ngeri, "Jangan-jangan....lo gay, ya?"
Aji tersentak mendengarnya, "Anjir! Nggak lah. Status itu nggak penting, yang penting bisa senang-senang. Yoi nggak, Rak?"
Raka menggeleng. "Nggak yoi."
Alan menunjuk Aji. "Sekarang predikat cowok brengsek ada pada lo."
"Tapi gue kan nggak sampai hamilin anak orang." Aji semakin ngelantur.
Perkataannya justru dengan telak menyudutkan Raka. Raka merasakan panas di sekujur tubuhnya, padahal ruangan di klub terasa dingin karena pendingin ruangan.
Dia kembali teringat kepada Mira. "Lo nggak percaya sama gue, Ji?"
Alan mendelik kesal menatap Aji, lalu beralih kembali pada Raka, "Santai, bro. dia lagi mabuk."
Aji kembali bersuara, "Biasanya kan lo cerita sama kita. Sekarang diem-diem aja!"
"Kalau menurut lo itu privasi yang kita nggak harus tau, nggak apa-apa simpen aja buat diri lo sendiri. Kita percaya sama lo kok." Alan menimpali, mencoba mencairkan suasana yang menjadi tegang karena ulah Aji.
Raka tampak berpikir lalu bergeleng. "Aji bener. Gue bahkan nggak cerita sama Kiya alasannya dan bisa aja nanti dia jadi salah paham sama gue kan?"
"Anjir! Malah Kiya yang di pikirin." Alan mengumpat.
Sedangkan Aji malah tertawa kegirangan mendengarnya. "Benar-benar bucin lo!"
Raka mulai serius menatap kedua temannya. "Kalian inget waktu malam tahun baru di klub?"
Alan tampak berpikir, "Iya, Kenapa?"
Aji berteriak, "Gue inget. Dia nyamperin lo kan? Si sexy yang bikin berdiri."
Alan memukul pundak Aji, menyuruhnya berhenti bersuara.
"Nah itu. Gue nggak pernah ngajak dia waktu itu."
"Terus?"
"Dia dateng sama siapa? Gue penasaran apa cowok itu juga yang udah hamilin Mira?"
Alan semakin bingung, "Apa lo yakin?" Dia mencondongkan tubuhnya ke Raka agar pembicaraannya tidak ada yang mendengar. "Mira hamil bukan urusan kita loh."
"Gue harus ungkap ini untuk memperbaiki reputasi gue!"
"Gua udah peringatin untuk jangan terlalu kasih php ke cewek-ceweklah."
"Emang gue salah kalau mau bikin senang hati cewek?"
"Nggak gitu juga, cumi. Cewek digombalin ya klepek-klepek."
"Tapi, Kiya kok nggak ya?"
"Bagus lah. Lo jatuh cinta sama orang yang nggak bisa lo takhlukkan."
Raka tidak terima mendengar perkataan Alan. "Kita lihat rekaman cctv di malam itu."
Alan terbelalak, "Sure?"
Raka mengangguk perlahan sembari menyeringai lebar.
Pernyataan Raka langsung diangguki oleh kedua sahabatnya. Demi mengembalikan reputasinya yang sempat jadi bahan gosip kampus. Raka juga perlu membuktikan kepada Kiya bahwa Dia benar-benar serius ingin menjalani hubungan dengannya. Dia tidak berengsek seperti yang Ardan katakan.
Raka mengusap wajahnya gusar. "Jujur gue nggak tau kalau ujungnya akan begini. Mulai bermain sama perasaan justru gue yang terjebak di dalam rasa itu sendiri." Batinnya berucap.
****
Sudah dua hari setelah kejadian di dekat Caffe Shop tempo hari. Luka memar di wajahnya sudah berangsur menghilang. Situasi keluarganya semakin merenggang dan membuat Kiya kehilangan perhatian. Hari ini Kiya akan menghabiskan waktu seharian suntuk di dalam rumah. Setelah selesai dengan laptopnya, Kiya meletakkannya di nakas samping kasur. Membiarkan tubuhnya relaks dan melanjutkan ritual tidurnya kembali karena cuaca hari ini yang sangat mendukung agar seseorang kembali ke atas kasur, bergelut dengan selimutnya.
Baru saja Kiya terpejam dan merasakan sedang masuk ke alam mimpi. Namun, harus di hancurkan oleh kenyataan sewaktu mendengar teriakan berasal dari depan kamarnya, diikuti gedoran keras menggebu-gebu seperti tenaga kepala banteng berukuran besar. Kiya mengambil bantal, menutupi kupingnya. Namun, suara itu semakin menggila.
"Kiya woy!! Buka!!"
Dengan langkah gontai, Kiya tersuruk-suruk bangun sambil membuka pintu.
Wajah Bima menyeringai lebar. "Halo, adikku sayang."
Kiya menatap Bima geli. "Apa sih? Ganggu aja tau nggak!" ujar Kiya galak.
"Gue seneng banget akhirnya lo bisa move on."
"Ha?"
"Hah, Hah. Maen keong lo?"
"Sumpah ya, lo itu Kakak yang paling laknat."
"Cuci muka sono, iler lo kering tuh." Bima hendak berlari, "Oh iya, ditungguin Raka di bawah." Dia kembali melanjutkan langkahnya dengan buru-buru karena sedang bermain Play Station dengan Reyhan.
Mata Kiya yang kantuk kini membulat sempurna. Bima sudah menghilang dibalik dinding rumahnya, meninggalkannya yang mematung bak prasasti. Pikirannya kembali berkelana, tentang kedatangan Raka yang terkesan mendadak.