Chereads / Dekat Tak Tergenggam / Chapter 31 - Hujan

Chapter 31 - Hujan

Langit berubah kelabu namun Raka tetap melajukan motornya dan sesampainya Raka berhenti ditempat parkir, memarkirkan motornya disana.

Semilir angin yang sejuk menerpa wajah Kiya, rambut kecilnya tertiup angin membuat Kiya semakin terlihat cantik untuk Raka.

"Beli cemilan dulu disana yuk."

Tanpa jawaban, Raka menarik pergelangan tangan Kiya dan berjalan lebih dulu dengan kiya dibelakangnya. Kiya tercengang melihat pantai dengan airnya yang tenang dan hamparan pasir yang kini dipijak.

Raka memesan sosis bakar dan mengambil minuman bersoda. Menyodorkannya pada Kiya.

"Thanks." Karena haus, Kiya langsung menenggaknya. "Nontonnya di sini?"

"Nonton senja."

"Ha?"

Raka duduk dihamparan pasir putih. Kiya mengikuti.

"Aku mau cerita." Raka menatap langit biru dihadapannya yang terasa lebih dekat, wajahnya berubah sendu.

"Iya cerita aja."

"Aku dijauhin temen gara2 gak konsisten sama cita-cita."

"Hanya karena itu?" Gadis itu menanggapi sembari membuka botol minum, lagi.

"Iya. Dulu cita-cita aku jadi arsitektur." Raka berkata lirih.

"Kalo sekarang?" Kiya bertanya heran sembari meminum soda yang tadi dibelikan Raka.

"Jadi suami kamu."

Uhuk....

Kiya tersedak. Dia melotot ke arah Raka tidak habis fikir, sudah menanggapinya dengan serius tapi ternyata berujung dengan gombalan maut. Rasanya ingin pura-pura mati saja Kiya.

"Kayaknya gue butuh pasokan mineral lebih banyak."

Raka terkekeh mendengarnya. Dia juga menjadi lebih peka jika bersama dengan Kiya. "Sebentar ya, aku beliin minum lagi. Yang banyak. Sekalian ambil sosisnya siapa tau udah siap."

"Iya. Sana...sana..."

Kiya memandangi punggung Raka yang menjauh dari pandangan matanya. Sekarang matanya kembali terarah ke depan, menatap gelombang lautan yang tenang diiringi semilir angin menyejukkan.

Dia terkekeh ketika Raka mengajaknya kesini, terasa aneh. Tapi, jika dipikir lagi, Kiya memang belum terlalu mengenal Raka, jadi tidak bisa langsung memberi kesimpulannya sendiri.

Karena suasana pantai yang sepi membuat pikirannya tanpa sadar mulai berilusi. Sekelibat kenangan tanpa diundang kembali datang, kenangan bahagia yang kembali merobek hati.

Kiya yang tertawa bahagia bersama seseorang disebelahnya yang menggenggam erat jemari Kiya, seolah tidak akan melepasnya. Halusinasi mulai mengganggu dunia nyatanya. Bagaimana Kiya bisa melupakan seseorang yang pernah membuatnya bahagia. Namun, mengingatnya kembali juga bukan sesuatu hal yang baik, sekarang kenangan itu hanya akan membuat hatinya kembali seperti dicabik. Tanpa sadar air matanya berlinang, keluar membasahi pipi.

Raka mengajaknya kesini untuk membuat pikirannya tenang dan relaks, tapi kenapa malah sebaliknya. Lagi dan lagi Raka menjadi bahan pelampiasan segala amarahnya yang terpendam. Padahal Raka tidak salah, hanya saja Kiya yang tidak mau menerima kenyataan.

"Kiya,"

Suara Raka membuat kiya tersentak, dia menghapus air mata yang sudah turun hingga dagunya. Mengembalikan suasana hatinya seperti awal lagi.

Raka bingung menatap Kiya yang memalingkan pandangannya, membelakanginya. Raka mencondongkan tubuhnya melihat wajah Kiya. Sedikit tercengang ketika sudut mata gadis itu basah dan mata yang ikut memerah.

Raka menarik paksa pundak Kiya, menyuruh gadis itu menghadapnya. "Kenapa?"

"Kelilipan." Kiya mengucek-ngucek matanya yang tidak gatal sama sekali.

"Kenapa?"

Raka masih bertanya sambil menatap Kiya yang enggan menjawab.

"Nggak!" Sentak Kiya.

"Kenapa Kiya?"

Bukan Raka namanya jika tidak keras kepala. Raka hanya terlalu paham situasi.

Lidah Kiya kelu untuk membuka suara. Dadanya terasa begitu sesak hanya karena kenangan yang numpang lewat. Kiya tidak ingin ditanya, tidak ingin menjawab. Dia menggeleng, memberikan isyarat agar Raka berhenti bersuara. Tatapan mata Raka menunjukkan bahwa dia begitu khawatir.

"Aku bersedia pinjamkan peluk untuk kamu."

Kiya terkesima mendengarnya. Sesosok yang Kiya dambakan mengapa harus berada pada Raka. Kiya bukannya tidak ingin membuka hati, dia hanya tidak ingin terluka kembali.

Air mata Kiya entah kenapa menetes, dalam sunyi yang mencekik, akhirnya Kiya harus mengaku kalah bila sudah demikian.

"Gue benci jika harus selalu ditinggalkan."

Air dipelupuk matanya mengalir kian deras, dia cepat-cepat seka walaupun hatinya sudah terlalu banyak luka.

"Gue mau pulang aja."

"Kamu cerita dulu, jangan bawa pulang rasa sedihnya."

Kiya kembali terdiam. Hanya suara ombak dan angin yang terdengar. Isakan yang tertahan membuat Raka ikut merasakan sakit ketika mendengarnya.

"Lo nggak akan ngerti, karena lo nggak punya hati yang tulus untuk seseorang." Kiya terdengar sedikit sinis.

Trisula penjaga sepertinya baru menancap dalam dada Raka. Raka menatapnya cukup lama.

"Gue seharusnya nggak biarin kakak gue untuk pergi dari rumah. Gue terlalu ngebiarin masalah di keluarga gue semakin berlarit-larut. Rasanya setelah gue ditinggalkan dengan banyak luka, gue harus ditemani sama keadaan yang memaksa gue untuk tetap tegar."

Raka seketika hanya menatapnya penuh kekhawatiran. Apa yang baru saja diucapkannya terdengar sangat tidak baik.

"Setelah banyak pengorbanan, gue akhirnya ditinggalkan. Gue pikir dengan menjadi cuek akan ngebuat gue melupakan semuanya, tapi gue sadar kalau hati gue semakin sakit jika semakin dipaksa untuk melupa."

Raka masih menatap Kiya. Dengan ceritanya yang sepertinya berat untuk dibagikan.

"Dengan segala kesibukkan yang gue ciptakan sendiri ternyata nggak mgebuat gue lupa sama sosoknya. Gue bukan cewek yang lo kenal selama ini, gue lemah, gue rapuh, gue penuh luka, dan gue nggak pernah tau caranya untuk keluar dari ruang yang terasa menyesakkan."

Ingin sekali rasanya Raka memeluk Kiya. Namun, sepertinya Raka sangat tidak pantas memeluk gadis itu. Kerapuhan begitu terpancar dari air matanya yang kini menodai pipinya. Dibasahi semua luka.

"Kiya,"

Raka ingin sekali memeluknya.

"Jangan pernah sentuh hati gue kalau lo nggak sanggup buat tinggal dengan waktu yang sangat lama."

Kiya menatapnya dengan mata yang dihiasi gerimis yang enggan untuk berhenti. Luka yang sedang mekar terlihat dari pipinya yang semakin merah merekah penuh amarah.

Terkadang, saat malam sudah semakin tua, dan disaat semua orang sudah lelap dalam tidurnya, Kiya diam-diam menangis bahkan hingga sesenggukan. Ya, menangis adalah satu-satunya cara yang ditempat untuk melepas semua penat. Sebab dengan tangisan, tak perlu ada yang direpotkan. Kiya terbiasa untuk menyimpan segala sesuatunya sendirian. Bukannya ingin terlihat kuat. Toh, dunia akan tetap berputar meski Kiya tidak mengutarakan apa-apa yang sedang dirasa.

"Kamu yang nggak tau gimana aku ngejalanin ini semua." Raka membatin dibawah rintik yang mulai jatuh.

Kiya beranjak dari duduknya, ketika hendak melangkah, Raka menahan tangannya. Ia ikut beranjak dari posisinya, kini menghadap ke arah Kiya.

Mereka saling terdiam beberapa saat. Tatapan mereka saling melemparkan luka.

Raka mendekat, menipiskan jarak diantara keduanya. Dia meraih pinggang ramping kiya, membawa tubuh gadis itu kedalam pelukan. Kiya terdiam, namun tangannya lama-lama terangkat membalas pelukan itu. Kiya memeluk tubuh Raka lebih erat, meremas kemeja lelaki itu, seakan ingin menjerit namun masih tertahan.

Gerimis yang sedari tadi jatuh dengan mesra diatas mereka. Menyembunyikan air mata yang bergelayut sendu dipipinya. Kiya tertunduk didada bidang Raka, tak kuasa menahan kesedihan yang akhirnya pecah.

Setelah begitu banyaknya perjalanan didalam hidup, Raka juga pernah mendapatkan rasa ketulusan. Walaupun dulu, Raka tidak dapat megerti akan sebuah ketulusan. Yang dia tahu, semua yang dia lakukan sudah cukup baik untuk membuat orang lain senang berteman dan berada didekatnya.

Ternyata saat bertemu dengan Kiya, Raka merasa bahwa kelakuannya sangat buruk jika kembali diingat. Terlalu naif untuk Raka mengakuinya, yang dia punya bukan ketulusan, hanya kesenangannya sementara. Dengan mendekati para wanita, Raka hanya ingin orang lain melihat bahwa dirinya begitu didambakan.

Raka merasakan tangan Kiya yang semakin erat memeluknya. Seharusnya Raka rasa bahagia, tapi sekarang kenapa rasanya jadi tidak tega.

~To Be Continued~