****
Suara petir menggelegar di atas langit. Lautan dan hujan memperhatikan dua insan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya masing-masing.
Tanpa ada pembicaraan, hanya ada keterdiaman diantara Raka dan Kiya setelah akhirnya mereka memutuskan untuk meneduh karena hujan yang begitu deras. Raka menghela napas kecewa ketika menerima kenyataan Kiya melepaskan pelukan hangatnya. Raka mengharapkan lebih, mengharapkan pelukan bahagia, menanti hari bahagia saat Kiya dengan suka rela melebarkan kedua tangannya menunggu pelukan darinya. Kembali lagi, kenyataan menamparnya dengan begitu keras.
Kiya memeluk tubuhnya sendiri saat angin kencang bersemilir. Dinginnya menusuk hingga ke tulang. Tetapi kehangatan kembali menjalar dari telapak tangan Raka yang kini merengkuh kedua pundaknya.
"Sini."
"Apa?"
Kiya menghadap ke Raka sekarang. Tidak seperti biasanya, Raka memperhatikan Kiya yang tampak gugup sekarang.
Kiya mengalihkan pandangannya ketika mata mereka bertemu. Dengan cepat Raka menarik tubuh Kiya dan memeluknya lagi, tangannya terangkat ke rambut Kiya dan mengusapnya dengan lembut.
"Sebentar aja,"
Kiya hanya terdiam tanpa membalas. Selama dirasa perlakuan Raka tidak macam-macam, tidak ada salahnya untuk berhenti menyakiti Raka dengan kata-kata kasarnya.
"Kiya,"
"Hm,"
Masih memeluk gadis itu, Raka bersuara. Mungkin dengan cara ini Raka bisa mengungkapkan semuanya.
"Aku bisa bantu kamu melupakan semuanya. Melupakan rasa sakit, melupakan kenangan pahit."
Kiya tidak bergeming. Matanya terpejam, dia menghirup dalam-dalam aroma parfume yang dikenakan oleh cowok itu.
"Apa salah kalau aku nyaman diantara status pertemanan?"
Kiya menghela napas panjang di dalam dekapan yang membuat tubuhnya begitu hangat. Bukan lagi sekedar hangat, dia merasakan panas ditubuhnya ketika suara serak Raka mengisi keheningan diantara mereka.
"Aku sadar sama perasaan ini sekarang. Kekaguman aku berubah menjadi cinta." Detak jantung Raka berdebar tak tentu, sekarang dia tidak lagi khawatir dengan penolakan gadis itu. Dia hanya ingin menyatakan yang dia rasakan. "Aku cinta sama kamu. Tapi, kamu nggak perlu terganggu sama perasaan aku. Aku nggak akan paksa kamu lagi untuk terima aku. Aku akan menunggu kamu," jelasnya.
"Rak," Kiya mulai bersuara.
"Kalau nanti aku mulai lelah karena proses menunggu, tolong beri aku seemangat lagi, Ki, karena aku nggak mau sampai berhenti,"
Raka tidak menggubris suara Kiya yang menginterupsinya. Hanya dengan cara ini Raka bisa mengeluarkan semua keluh-kesahnya. Raka tau sekarang hati Kiya sedang hancur, tapi apa salah jika Raka berusaha untuk menjadi obat dari lukanya?
Tanpa disangka-sangka tangan Kiya terangkat lalu melingkar dipinggangnya. Kiya membalas pelukan lelaki itu, diselingi oleh suara tangis yang memecahkan keheningan mereka. Kiya melanjutkan lagi tangisannya. Kiya merasa telah jahat kepada Raka selama ini, bahkan dia menyakiti hatinya sendiri karena tetap keras kepala dengan impiannya kembali di masa lalu.
"Jangan nangis lagi, nanti aku tambah sayang."
Kiya mencubit kecil punggung Rak, membuat cowok itu meringis kesakitan sembari tertawa. Raka memang bisa selalu mencairkan suasana, bahkan suasana hati Kiya saat ini berusaha sedang Raka pulihkan.
*****
Mobil hitam terparkir dihalaman rumah Raka. Lelaki dengan tubuh tinggi keluar dari dalam mobil. Kacamata hitam membuatnya semakin berkarisma ditambah kemeja dengan dua kancing teratas dibuka. Dia berjalan ke arah pintu utama dan dengan mudah membukanya.
Suasana rumah yang sepi menjadi penyambutan kedatangannya. Dia mengelilingi pandangannya ke seluruh rumah, seakan banyak kenangan yang membuatnya sakit jika diingat.
"Tara?"
Suara barington Rafael mengejutkannya. Dia membuka kaca mata hitamnya lalu menatap mata ayahnya.
Rafael tersenyum, "Kamu sudah balik?"
Tanpa menjawab, Tara kembali melangkah ke sofa ruang tengah. Duduk disana dengan santai, "Saya nggak lama disini."
Rafael mengikuti langkah kaki anaknya, mendudukkan diri disebelah Tara. Dia memandangi wajah anaknya yang semakin dewasa, tubuhnya yang lebih berisi dari terakhir kali anak itu tinggal bersamanya.
"Saya sudah putus dengan Moza."
Rafael mengernyit bingung, "Ada apa? Bukankah kamu yang menginginkan ini?"
Tara menghembuskan napas panjang, "Dia membosankan," ucapnya sarkas. "Tidak ada Raka disini, kemana dia?"
"Katanya mau pergi kencan."
Tara mengernyit, seketika bangun dari duduknya. "Saya pulang dulu kalau begitu." Dia melangkah dengan cepat meninggalkan ruang tengah. Namun, Rafael mengejar langkahnya dibelakang.
"Ini rumahmu, kamu bebas keluar masuk ke sini. Ayah harap kamu mau kembali ke rumah ini, terlepas dari semua kesalahan Ayah yang mungkin pernah membuatmu merasa marah seperti ini."
Langkah Tara mendadak berhenti. Dia menahan diri untuk meledak di sini. Tara cukup hebat untuk mengendalikan dirinya sendiri. "Iya," jawabnya dan kembali melangkah meninggalkan Rafael dan rumahnya yang penuh kenangan dan kebahagiaan masa dulu.
Rafael berdiri di ambang pintu, memandangi punggung anaknya yang kian menjauh, Tara masuk ke dalam mobil lalu melajukannya meninggalkan halaman rumah. Air mata menetes dari sudut mata Rafael, kepalanya terasa begitu sakit saat harus memikirkan anak pertamanya. Di merasa sangat menyesal karena telat menyadari arti sebuah kebersamaan. Dia baru menyadari seharusnya dari dulu Rafael mengikuti perkataan istrinya, untuk menjadikan anak-anak mereka seperti seorang sahabat agar anak-anaknya dengan mudah memberitahu isi hatinya dan ingin menjadikannya tempat curhat dan tempat pulang disaat seluruh dunia seakan membencinya.
"Apa yang membuatmu seperti ini, Tara?" Rafael bermonolog. Dia seakan tidak berani mengucapkan kata-kata itu saat sedang bersama dengan Tara.
Begitu ajaib, ketika perkataan itu keluar dari mulut Rafael, mobil Tara kembali muncul dan berhenti di halaman rumahnya lagi. Seperti suatu kebetulan. Tara keluar dari dalam mobilnya, segera bergegas menghampiri Ayahnya yang belum pindah posisi sedari tadi.
Rafael tersenyum merekah saat Tara sudah berdiri dihadapannya sekarang. Tetapi, seyumnya kembali memudar berubah dengan raut wajahnya yang pucat pasi ketika Tara membuka suara. Hanya pernyataan pendek, tapi meruntuhkan segala semangatnya.
Tara tersenyum sinis menatapnya. Setelah itu, dia berbalik dan kembali melangkah meninggalkan Rafael yang terlihat sangat syok mendengar perkataannya. Itu memang tujuan Tara kembali ke rumahnya.
****
"Pelukan aku memang ternyaman sedunia."
Kiya refleks melepaskan pelukan eratnya. Dia seka bekas air mata disudut matanya. "Berarti pelukan lo welcome banget ya sama cewek-cewek?" Jawabnya sarkastik.
"Dih, cemburu, ya?"
"Apa sih! Enggak!" ucap Kiya dengan panik.
"Ah, yang bener?"
"Nggak!" Kiya melotot. Namun, pipinya malah merona merah karena menahan malu.
"Kok pipinya merah gitu? Ih gemoy banget sih, bidadariku."
"Geli banget sih!" Kiya memalingkah wajahnya, sudah tidak tahan jika terus digoda seperti ini. Tangannya terulur kedepan untuk memastikan tidak ada eintikan hujan yang tersisa. "Udah nggak ujan nih, balik yuk?"
"Yah, belom malem!"
"Lo gila mau sampai malem disini?"
"Kita jalan-jalan lagi."
"Dih?"
Raka menarik tangan Kiya dan menggenggamnya. Dia berjalan sambil menggandeng tangan dingin itu. Membawanya menuju parkiran motor.
"Cepat banget berubah pikirian."
Raka sudah memakai helmnya, begitupun Kiya langsung naik ke atas motor. "Kata siapa berubah pikiran?"
"Loh terus kita kemana lagi?"
"Rahasia illahi."
"Astaghfirullah,"
Raka terkekeh dibalik helmnya lalu bergegas melajukan motornya meninggalkan pantai dengan pasir sudah dibasahi oleh hujan.