*****
Suara alarm dari jam beker yang berada di atas nakas berbunyi nyaring, memaksa Kiya untuk bangun. Dia mengambil jamnya dan menekan tombol untuk mematikan, kembali melanjutkan tidur. Dalam hati berkata, "Lima menit lagi," katanya.
Kenyataannya sudah sepuluh menit Kiya tidak kunjung terbangun. Suara Bima dari luar kamar berteriak memekikan teling. "Kiya bangun! Udah jam sepuluh!" Teriaknya keras.
Mata Kiya spontan terbuka lebar dengan posisi tubuh yang langsung terduduk. Padahal dia ada kelas pagi hari ini, tapi terlalu berleha-leha karena mimpi indah yang enggan selesai, menyuruhnya setia berada di atas kasur. Dengan masih setengah sadar, Kiya meraih jam bekernya.
"KAK BIMA!!"
Bima yang berada dibalik pintu langsung berlari terbirit-birit meninggalkan pintu kamar Kiya. Bima tertawa senang sudah berhasil membuat adik bungsunya memekik kesal.
Bagaimana tidak kesal, Bima sudah mirip seperti ibu-ibu, yang membangunkan anaknya dengan berbohong soal jam. Padahal jam baru menunjukkan pukul tujuh. Kiya masih memiliki banyak waktu untuk berangkat kuliah, sebelum pukul sembilan. Namun, Bima membuatnya terbangun tanpa ada rasa kantuk lagi.
Kiya mencari ponselnya dari tumpukan bantal dengan tergesa karena semalam dia ketiduran. Saat ponsel sudah berada didalam genggaman, jemarinya membuka sebuah pesan chatting yang belum terbaca dari semalam, siapa lagi jika bukan Raka.
Jemarinya mengetik balasan, dengan sudut bibir yang ikut terangkat, membentuk sebuah senyuman.
[Modus terus deh lo!! Btw, gue ketiduran semalem, badan gue pada sakit nih gara-gara pergi sama lo!]
Dengan pipi yang merah merona, tanpa wanita itu sadari dirinya sedng merasakan kasmaran kembali. Perjuangan Raka akhirnya tidak sia-sia, tapi sayangnya sekarang lelaki itu tidak dapat melihatnya.
Dengan langkah gontai, dia akhirnya mengambil handuk yang berada di gantungan khusus handuk lalu segera masuk ke dalam kamar mandi. Pagi ini hari Kiya harus diawali dengan penuh kesabaran.
Pagi ini, Kiya juga merasa begitu bersemangat untuk buru-buru datang ke kampus. Entah apa yang telah Raka perbuat hingga seorang Kiya ingin cepat bertemu dengan dirinya.
*****
Sudah semalaman Raka tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sofa rumah sakit yang besar dan empuk tidak lagi dapat menggodanya. Dia terduduk menatap ranjang rumah sakit bersama Ayahnya yang terbaring di sana.
Raka menatapnya dengan sendu, kemeja yang dikenakannya sudah kusut bersamaan dengan rambutnya yang berantakan, tapi tidak menghilangkan sedikitpun karisma lelaki itu. Sudah terlahir tampan, mau bagaimanapun tetap akan tampan.
Melihat sang Ayah yang terbarig dengan alat-alat rumah sakit justru membuatnya kembali terluka, sebelumnya dia merasakan ini saat kematian Bundanya yang mendadak, tanpa pamit, tanpa bisa Raka mendaoatkan pelukan terakhirnya, Tuhan dengan tega mengambil Bundanya dihari kelulusannya.
Raka tidak ingin jika saat ini Tuhan juga mengambil Ayahnya, dia benar-benar belum siap jika dipaksa kembali terluka. Jemari Raka saling bergenggam, mengepalnya dengan kuat. penuh harapan, raka berharap Tara akan datang ke rumah sakit, entah apa yang Ayahnya perbuat hingga membuat Kakaknya harus bertindak hingga tidak peduli seperti ini.
Pintu terbuka, disusul oleh suster yang merawat Ayahnya masuk ke ruangan. Raka berdiri menghampirinya.
"Dokter ingin bicara, ditunggu."
"Baik, sus."
Raka melangkah pergi meninggalkan Ayahnya yang sedang ditangani oleh suster yang menjaga.
Dia berjalan melewati koridor rumah sakit, tidak jauh ruangan dokter yang dimaksud oleh suster. Spesialis Jantung, itu yang Raka baca di tag yang menggantung di pintu, Dia sedikit tertegun, terasa seperti dejavu.
Raka menarik napas lalu membuka knop pintu dan masuk ke dalam. Dia berharap tidak ada kabar buruk yang akan didengarnya lagi.
*****
Dibawah langit yang sama, sinar matahari mencolok masuk kedalam kamar bernuansa monokrom itu melalui celah jendela, membuat Tara mengerang dalam tidurnya, matanya perlahan terbuka.
Tara menyipitkan matanya saat ada wanita dengan pakaian tidur sedang menyingkap jendela kamarnya. Matanya terbelalak saat tubuh wanita itu berbalik menghadapnya.
"Moza?"
"Morning, darling."
Tara bangun tiba-tiba. menatap dengan heran wanita dihadapannya yang kini sudah terduduk ditepian ranjang.
"Kaget?" wanita itu menaikkan sebelah alisnya, membalas tatapan Tara yang tidak biasa.
"Ini benar kamu?"
Tubuh wanita itu semakin mendekat, merapatkan jaraknya dengan Tara. lelaki itu menengguk salivanya ketika wanita dihadapannya mendekatkan wajahnya, hendak menciumnya. Tanpa penolakan Tara memejamkan kedua matanya menunggu bibir kenyal memberikannya morning kiss. namun, semua berubah gelap dan diganti dengan cahaya yang menyilaukan.
Tara mengerjap, matanya terbuka sempurna lalu dengan cepat dia terbangun dari posisi tidurannya. Dia menatap sekeliling kamarnya, sepi, hanya ada dirinya seorang didalam kamar. Ternyata tadi hanyalah mimpi yang menumpang lewat. Dia menghembuskan napas kecewa.
Selama berada di Indonesia, dia belum melampiaskan hasratnya sebagai lelaki. Semalam berniat untuk bermain dengan wanita malam. Namun, berakhir dengan mabuk berat. Ditambah lagi sekarang dia mengingat kejadian kemarin sore, membuat rasa ketakutan meliputi paginya saat ini.
Ponselnya berdering. tanpa melihat nama si pemanggil, Tara dengan cepat mengangkat panggilan.
"Lo dimana tai?"
Tara tersentak mendengar ucapan pertama yang terlontarkan dari si penelpon. Dia menjauhkan ponselnya dari telinga, melihat ke layar ponsel dan tertera nama Raka disana. "Pantes, nggak ada sopan-sopannya," ujarnya bermonolog.
Tara mendekatkan kembali ponselnya ke telinga. "Apa-apaan sih lo? Pagi-pagi udah ngegas aja!" ucap Tara tidak kalah keras.
Raka berdecak diujung telepon, "Emang nggak ada pikiran lo! Percuma punya ponsel. Ayah semalam masuk rumah sakit. Gua udah hubungin lo beberapa kali tapi nggak ada jawaban, dan sekarang lo jawab kayak nggak ada rasa pedulinya banget. Ini Ayah lo juga!"
DEG!!!
Bagaikan tersambar petir, Tara mematung. Dia kembali mengingat pembicaraannya di rumah kemarin, perasaan bersalah kian meliputi dirinya. Bukan ini yang Tara inginkan, apakah perbuatannya sudah sangat keterlaluan jika penyebab Ayahnya masuk rumah sakit karena perkara dirinya?
"Lo ada masalah apa sih sama Ayah sampai nggak ada rasa simpati sama sekali?" Suara Raka diujung telepon kembali terdengar.
"Share location, now!"
Tara memutuskan sambungan telepon, lalu dengan tergesa dia turun dari atas ranjangnya, melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Raka salah besar. Tara sangat peduli kepada kedua orangtuanya. Namun, Tara hanya saja belum menerima kenyataan karena dirinya merasa selalu ditinggalkan orang-orang yang menyayanginya dengan tulus.
*****
Kejadian dihari kemarin membuat Kiya tidak lepas tersenyum sendirian. Melenggang berjalan melewati koridor kampus, bahkan membuat mahasiswa lain yang baru saja lewat berhenti sejenak dan terheran-heran melihat seorang Kiya membagikan senyuman bahagia.
Dari jarak yang lumayan jauh di depannya, Riri muncul dari segerombilan mahasiswa dan berlari sambil meneriaki namanya.
"KIYAAA!"
Kiya menatap Riri dengan bingung saat sahabatnya sudah berada tepat dihadapannya dengan napas yang tersenggal karena berlari.
"Heboh banget deh lo!"
"Iya. Emang ini berita hebring banget!"
Kiya kembali melangkah dengan santai, beriringan dengan Riri. "Berita apa?"
"Pemilik kampus ini, alias bokapnya gebetan lo, masuk rumah sakit."
Kiya mendadak menghentikan langkahnya lalu menatap Riri. "What? Kapan?"
"Kabarnya sih semalam dibawa ke rumah sakit. Emangnya Raka nggak ada kabarin lo?"Tanpa menjawab pertanyaan Riri, gadis itu sudah lebih dulu berbalik arah dan berlari, menjauhi ruangan kelasnya.
"Ih, Kiya!" Gerutu Riri kesal.