Chereads / Dekat Tak Tergenggam / Chapter 30 - Kencan Pertama

Chapter 30 - Kencan Pertama

Kiya segera bergegas berlari ke kamar mandi, mencuci muka dan menyikat giginya. Tidak lupa mengganti baju yang lebih pantas, tidak mungkin dia masih menggunakan celana pendek untuk bertemu Raka, karena dia tau lelaki mesum tidak boleh diberikan kesempatan.

Setelah dirasa cukup, Kiya melangkah keluar dari kamarnya sembari mencepol rambutnya ke belakang. Ia menuruni tangga melingkar dirumahnya penghubung ke ruang tamu. Saat menginjak anak tangga terakhir, Kiya sudah mendapati Raka yang sedang berkutat dengan ponselnya terduduk di sofa ruang tamu.

Mata Kiya menyipit, memperhatikan tas yang berada pada genggaman Raka. Dia buru-buru berlari merampasnya tanpa izin. Dengan begitu, Raka jadi keheranan melihat Kiya yang agak berlebihan. bisa-bisanya Tas lebih berharga daripada Raka. menyebalkan.

Kiya membuka resleting dan melihat ke dalam isi tasnya, semua aman. Tidak ada yang hilang.

"Akhirnya balik juga ponsel sama dompet gue." Kiya berujar sembari memeluk tas kuning itu.

Raka merentangkan kedua tangannya, berharap pelukan hangat juga dia dapatkan.

"Ngapain lo?" Tanya Kiya galak.

"Peluk juga," rengek Raka dengan suara dimanja-manjakan.

Bukannya dapat pelukan dari Kiya, Raka malah dilempar dengan bantal yang berada di sofa. Kiya melempar tepat mengenai wajah tampan itu. Dia mendudukan tubuhnya di sebelah Raka.

"Galak banget! Kan rindu." Raka mengerucutkan bibirnya, "Kamu tau nggak film yang baru banget keluar di Bioskop?"

"Apa?"

"Aku baca reviewnya bagus-bagus."

Kiya menaikkan sebelah alisnya memandang Raka, "Terus?"

Raka tergugup, "Nggak tertarik untuk nonton?"

"Lo ngajakin gue nonton?"

Raka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Padahal ini bukan kali pertama dia mengajak kencan wanita namun saat harus mengajak Kiya, entah sensasi apa dihatinya yang terasa sangat berbeda. Sensasi yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan. Dia tidak pernah merasakan takut sebelumnya, tapi kali ini Raka benar-benar takut jika Kiya menolaknya.

"Gimana? Hm,"

Kiya memandang mata Raka yang begitu dalam menatapnya, seakan meminta untuk disetujukan. "Gue ganti baju dulu."

Raka tersenyum lebar, saat Kiya hendak beranjak dari duduknya, Raka dengan cepat menahan pergelangan tangan Kiya. "Nggak usah ganti baju."

"Ha?" Kiya membelalakan matanya ketika tangannya ditarik oleh Raka, membawanya ke arah luar. "Eh lo gila ya?"

Raka tidak menggubris segala makian dari mulut Kiya yang terasa memekikkan telinga. Dia terus membawa gadis itu ke perkarangan rumah, memberikan helm kepadanya.

Kiya menepis tangan Raka saat sudah sampai di depan motor lelaki itu. "Nggak!"

"Kenapa?"

"Lo nggak liat gue pakai baju begini?" Kiya berbicara sewot. Sedangkan Raka kini memandanginya dari ujung rambut hingga kaki Kiya, menurutnya tidak ada masalah. Celana stretch hitam panjang dan dibalut baju kebesaran lengan pendek, wajahnya yang polos serta rambut yang hanya dicepol asal-asalan. Menurutnya, Kiya tetap terlihat cantik, sekalipun tidak memakai apa-apa. Loh?

"Udah cukup kok, pas!"

"Cukup apa?"

Dengan seringaian lebar, Raka berucap, "Cukup cantik."

"Iya karena lo agak sinting. Tapi kalau orang yang liat gue dikira apaan nonton pakai baju begini? Emang rumah nenek?" Kiya semakin sebal.

Raka menatap Kiya dengan serius, "Peduli banget kata orang?"

Berbicara dengan Raka tidak akan pernah ada habisnya, dia seakan selalu mengajak Kiya untuk berdebat, dia kira rapat DPR?

Tanpa pikir panjang, dia akhirnya menyutujui kemauan Raka. "Gue pakai sepatu dulu." Dia hendak menuju rak sepatu disudut garasi rumah. "Kali ini nggak usah larang!"

Raka mengangguk gemas, menunggu Kiya yang sedang sibuk mengenakan sepatu tali berwarna putih. Mata Raka tidak ingin lepas memandang Kiya, larut bersama dengan perasaannya yang ikut mendalam.

Kiya menghampiri Raka yang masih memandangnya. "Sini." Dia mengambil helm yang berada digenggam Raka. "Ini punya siapa warnanya kuning?" tanyanya heran.

"Punya kamu. Khusus dipakai buat naik motor cuma sama aku."

Kiya tercengang mendengarnya. Raka naik keatas motornya, menggunakan helmnya, tidak memperhatikan Kiya yang kini mematung. Kenapa kali ini Kiya merasa gugup, padahal Raka sudah sering melakukan gombalan seperti biasanya. Memperlakukan manis dirinya. Namun, seharusnya Kiya tidak larut ke dalam permainannya. Kiya kembali tersadar, menggubris pikiran yang menurutnya tidak masuk akal.

"Ayo."

Kiya melingkarkan tas kuningnya lalu buru-buru menaiki jok belakang motor.

Motor Raka melaju dan Kiya menuruti kemauan cowok itu untuk membawanya pergi. Entah kemana, Kiya hanya diam dalam pikiran yang berkelana liar diatas motor. Memandangi pohon-pohon menjulang tinggi, burung-burung yang berterbanganan silih berganti, ditemani udara yang dingin karena hujan semalam.

Kiya memeluk tubuhnya ketika angin terasa menyentuh kulit mulusnya. Mengiyakan ajakan Raka adalah pilihan terbodoh yang Kiya ambil, bagaimana bisa dia keluar dengan baju tipis disaat udara diluar terasa sangat dingin.

Raka memberhentikan motornya dipinggir trotoar jalanan. Kiya mengerutkan alisnya bingung, memandang punggung Raka keheranan. Kiya buru-buru turun saat Raka melepas helm yang dikenakannya.

"Udah sampe?" Kiya memandang sekeliling, hanya jalan raya dan pohon yang dilihatnya.

Raka melempaskan jaket yang dikenakannya. Dia menarik kedua bahu Kiya, memakaikannya disana.

"Dingin. Nanti sakit."

"Udah tau dingin malah ngajak keluar. Nggak ngizinin ganti baju juga."

Raka terkekeh mendengar Kiya yang menggerutu. "Refreshing dong. Biar nggak marah-marah mulu. Nggak kasian apa sama wajah tampan ini yang selalu disalahkan?"

"Yiks," Kiya berlagak seperti mau muntah. "Lo tuh tingkat kepedeannya setinggi langit banget, nggak ada obat."

Raka tertawa lagi. Rasanya hari ini adalah hari terbahagianya, walaupun seharian dapat amukan dari gadis yang susah dia takhlukkan.

"Kenapa ketawa?"

"Kamu tau? Bumi nggak akan pernah ada tanpa langit."

"Ya terus?"

"Sama kaya cinta, gak akan pernah ada tanpa kamu."

Lagi dan lagi kiya hanya memasang wajah jijiknya, "Nggak keren lo gombalin cewek di pinggir jalan."

"Ngode ya?"

"Idih. Ya enggaklah, ngapain juga gue digombalin." Kiya salah tingkah dibuatnya, tidak ingin percakapannya merembet kemana-kemana, ia segera menaiki motornya lagi. Menepuk pundak Raka agar kembali mengendarai motornya. "Cepetan lah jalan."

Raka kembali mengendarai motornya. Dia ingin membawa Kiya ke tempat yang akan membuatnya sejenak lebih relaks, agar hatinya kembali berbahagia, tidak marah-marah terus.

"Kamu tau nggak?" Raka berteriak di atas motornya agar Kiya mendengar dari balik punggung.

"Nggak tau." Kiya balas berteriak.

"Berarti kita jodoh."

"Ha?"

"Kan jodoh nggak ada yang tau."

Kiya terkekeh dibalik punggung, mumpung Raka tidak bisa melihatnya. "Bisa aja aligator."

"Nggak ada yang lebih kerenan dikit?"

"Tokek."

"Tokek?" Raka kembali mengulang ucapan Kiya, Dia bingung.

"Iya. Sama kan kaya lo! Suka nemplok dimana-mana."

"Hahahaha....."

"Kenyang nih gue."

"Loh? Kan belum makan?"

"Kenyang digombalin sama lo!!"

Raka terkekeh dibalik helmnya. Matanya melihat ke spion yang mengarah kepada wajah Kiya yang cemberut. Dia sengaja mengaturnya agar sepanjang jalan Raka tetap bisa memandangi wajah Kiya dari balik punggungnya. Dulu dia hanya ingin mengusili Kiya namun kenapa seiring berjalannya waktu perasaannya berubah menjadi ingin memilikinya. Menutup pintu ruang di masa lalunya, menempati kembali hatinya yang berdebu, memberikan lebih banyak warna didalam hidupnya. Raka ingin menjadi satu-satunya pria yang Kiya cinta.

Dijalanan yang basah dan angin yang terasa dingin, Raka menarik tangan Kiya yang berada dipaha, membawa tangan itu melingkar ke pinggangnya. Raka kegirangan dalam hati saat tidak mendapat penolakan dari gadis itu.

🌸🌸 To Be Continued🌸🌸