****
"Lo masih mau di sini?" tanya Alan yang sedang memasukkan laptopnya ke dalam tas, bersiap untuk pergi.
"Iya."
"Ya udah, Gue balik."
Dengan tas yang sudah berada di punggungnya, Alan meangkah meninggalkan Caffe dan Raka yang berkutat dengan ponselnya.
"Gue ikut." Aji berlari menyusul Alan, seperti biasa ingin meminta tebengan pada sahabatnya. Dia ingin pulang saja, dari pada sebentar lagi harus melihat kemesraan diantara dua manusia, menodai mata sucinya.
Saat tubuh Alan dan Aji sudah tidak terlihat. Seorang mahasiswa berlari dengan napas yang terengah menghampiri Raka yang sedang meresleting tasnya. "RAKA!!"
"Kenapa?" Raka bertanya bingung.
"Kiya...."
"Kiya?" Raka menuntut penjelasan dengan jelas.
Mahasiswa itu mencoba mengatur napasnya dan berbicara perlahan pada Raka. "Kiya di gangguin sama Ardan, anak kampus Merah Putih."
Sebuah laporan dari temannya membuat Raka langsung terbelalak, tangannya terkepal emosi. "Dimana?"
"Itu, di gang kecil yang buntu."
"Brengsek!" Raka menyerahkan tasnya. "Pegang tas gue."
"Oke, Rak."
Dengan begitu cepat Raka melangkah, berlari meninggalkan Coffe Shop. Langkahnya yang lebar membuatnya cepat sampai ke tempat itu. Degub jantungnya semakin kencang, matanya merah menandakan Raka benar-benar marah.
Tidak butuh waktu lama untuk ke tempat itu. Dan sekarang Dia menangkap basah Ardan yang sedang mengecup sudut bibir Kiya, gadisnya.
"BANGSAT!"
Raka berlari dan langsung menendang tubuh bagian depan Ardan hingga tersungkur ke tanah. Tangan kanannya menarik pergelangan tangan Kiya dan memberikan pukulan keras kepada dua lelaki yang sedari tadi mencengkram tangan Kiya.
Raka menyentuh kedua pundak Kiya, menatap mata Kiya yang di penuhi rasa ketakutan. "Kamu nggak apa-apa, ya?" tanyanya memastikan. "Berdarah, Kiya." Raka menyentuh sudut bibir gadis itu, membuat Kiya meringis sakit.
Di balik punggung tinggi Raka, ada Ardan dengan wajah yang merah padam. Tangan Ardan terangkat, membuat Kiya terlonjak karena melihat batu besar yang akan menghantam kepala belakang Raka. Dengan cepat Kiya menendang perut Ardan, membuat lelaki itu kembali tersungkur. Raka yang melihatnya spontan langsung memunggungi Kiya, melindunginya.
Kini arah pandang Raka berubah, Dia menatap Ardan tajam, amarah yang Dia tahan sedari tadi seakan menggebu minta untuk dilampiaskan.
Tergopoh-gopoh Ardan berdiri, memegang perutnya yang sakit akibat tendangan gadis itu. Dia membalas tatapan mata Raka dengan seringainya. "Oh, ini pacar lo?" tanya Ardan sinis, "Bajingan juga lo ternyata."
Sebelah alis Raka terangkat. "Maksud lo?" tanyanya heran.
Ardan meludah dan kembali menatap Raka. Tatapan yang berbeda dari sebelumnya. "Setelah adik gue, lo bikin nangis. Sekarang bisa-bisanya lo bahagia sama pacar baru lo!"
Raka semakin bingung mendengar pernyataan Ardan. Dia merasa tidak pernah memiliki hubungan dengan siapapun selama berkuliah. Raka memang meiliki banyak teman termasuk perempuan, tapi tidak lebih dari status itu.
"Mau enaknya doang. Habis manis, sepah dibuang."
Raka terkekeh. "Mabok ya lo?"
"Sangking banyaknya cewek yang lo pake, sampai-sampai lupa sama perbuatan bejat lo."
"Bener-bener mabok nih orang." Raka berkacak pinggang. "Gue Cuma mau—"
"Mira. Almira." Ardan mendekat, menipiskan jarak diantaranya. "Cewek yang lo tinggalin disaat hamil." Matanya menatap begitu tajam.
Dia tidak terima karena jawaban Raka yang terkesan polos. Sungguh memuakkan.
Pernyataan Ardan sontak membuat Raka dan Kiya kontan terkejut. Mata gadis itu menatap tajam Raka seolah tidak percaya dan meminta penjelasan.
Ardan melirik Kiya yang berada disebelah Raka lalu kembali menatap Raka. "Cewek ini juga udah elo unboxing?" Jemarinya menunjuk gadis itu.
Raka mengepalkan tangannya, mencoba menahan segala amarahnya yang bergejolak didada. "Jaga omongan lo ya!" Ucapnya penuh dengan penekanan.
"Kalau emang belum, biar gue aja duluan. Nanti gue review khusus buat lo."
"Bangsat!"
BUUKKK
Raka mendaratkan pukulannya diwajah Ardan. Belum sampai disitu, Dia mendorong tubuh Ardan yang tidak fokus, membuat lelaki itu terhuyung dan jatuh. Dengan emosi yang tidak dapat tertahan, Raka langsung menghajar Ardan dengan serangan yang bertubi-tubi dan membabi buta. Tidak memberikan Ardan kesempatan untuk melawan.
Sedangkan Kiya hanya mematung di tempatnya berdiri. Situasi yang mendadak ini membuatnya terkejut setengah mati, terlebih lagi melihat Raka yang diliputi amarah hingga memukul Ardan tanpa ampun. Dari arah belakang tubuhnya, Aji dan Alan berlari dengan napas yang tersenggal. Melihat Ardan yang berlumuran darah membuat mereka segera menarik lengan Raka, membawa lelaki itu berdiri menjauh.
Tangan Alan menahan Dada Raka yang masih menggebu, seakan menyuruh sahabatnya untuk mengontrol diri.
Raka masih bisa mengontrol emosinya ketika Ardan terang-terangan memfitnah didepan banyak orang. Namun dilihatnya Ardan makin kelewatan membuat dirinya semakin geram. Tidak apa-apa harga dirinya diinjak, namun tidak untuk Kiya. Siapapun yang berani menyentuh apalagi menyakitinya maka Raka tidak akan memberi ampun.
"Sabar, Rak."
Aji tampak bersusah payah menahan Raka yang emosi.
"Lo denger baik-baik ya, Anjing. Sebangsat-bangsatnya gua. Nggak ada terlintas sedikitpun untuk nidurin cewek, apalagi sampai hamil!!" kata Raka dengan emosi yang berapi-api. "Adik lo itu suka ke klub bukan sama gua aja. Terus buat apa gua tanggung jawab sama sesuatu yang nggak pernah gua lakuin. Lo harusnya ngaca! Jangan jadi brengsek kalau lo nggak mau bagian keluarga lo dibrengsekin orang juga."
Di ketidakberdayaan Ardan, pernyataan Raka menghantam hati dan pikirannya telak.
Napasnya yang memburu membuat pundaknya naik turun. Raka mencoba mengendalikan emosinya dan berangsur-angsur kembali tenang. Dia menepis tangan kedua sahabatnya.
Telunjuk Raka terangkat, menunjuk tubuh Ardan. "Sekali lagi gua liat lo ganggu Kiya. Habis lo!!" ucapnya memperingati. Matanya menatap bergantian teman-teman Ardan yang berdiri, membantu temannya.
"Peringatan ini berlaku untuk kalian juga."
Kiya teretegun sekaligus kagum mendengar perkataan Raka. Seolah Raka adalah pahlawan yang akan melindunginya, tanpa harus Dia minta. Kiya kembali tersadar dari pikirannya yang berkelana ketika tangan hangat yang sedikit berkeringat menarik pergelangan tangannya. Membawa dirinya menjauh dari kerumunan.
Kali ini tanpa ada penolakan serta sumpah-serapah, Kiya menuruti Raka, mengikuti langkahnya dan tidak memperdulikan akan dibawa kemana dirinya oleh Raka.
Perlakuan Raka tadi seakan mampu menghipnotis hatinya, tidak. Hanya menghipnotis dirinya sebentar, Kiya meralat hatinya, kembali berlogika.
Genggaman tangan Raka dipergelangan tangannya kini bergerak mundur, menggenggam jemarinya yang lentik. Perlakuan itu membuat Kiya sedikit terkejut dan menghentikan langkah kakinya, otomatis Raka ikut berhenti. Raka meraih pundak Kiya, menatapnya. Di dalam tatapan itu justru membuat Kiya hanyut di dalamnya. Tatapan yang meneduhkan, tanpa sadar air matanya menetes karena mengingat kejadian tadi yang membuat dirinya begitu takut.
Air mata Kiya kian menderas. Raka menarik tubuhnya mendekat, menarik tubuh mungil itu ke depan dada, memeluk erat, memberi ruang agar Kiya bisa menumpahkan perasaannya meskipun harus membasahi kemeja hitam pemberian mendiang Bundanya.
Raka begitu menyesali kebodohannya, seharusnya seperti biasa dia yang menghampiri Kiya, bukan Dia yang diam menunggu Kiya. Membawa gadis itu dalam bahaya. Walaupun Raka akan merasakan jatuh hingga luka, yang terpenting Kiya tidak terluka.
Dari luar Raka menilai Kiya adalah gadis yang tidak berbelas kasih. Berhati dingin, ketus, apatis, tidak peduli terhadap siapapun. Raka tidak tahu bahwa sebenarnya Kiya pernah menjadi seseorang yang begitu perhatian, hingga akhirnya dikecewakan. Gadis itu berusaha ceria, padahal dihatinya begitu banyak luka.
****