****
Di Coffe Shop bertuliskan Cata Cafe. Raka terfokus pada layar laptopnya, menampilkan deretan huruf dan skripsinya yang sedikit lagi selesai. Dia berpikir sejenak, jika saja Raka menyelesaikan skripsinya dengan cepat maka tandanya kebersamaan dengan Kiya juga semakin singkat. Dengan perasaan menggebu-gebu, Raka kembali beroptimis untuk mengambil hati gadis itu dengan lebih cepat. Raka akan memberikannya status, menandakan kepemilikannya pada Kiya. Cara itu adalah teraman baginya, dari pada Kiya akan dimiliki oleh orang lain, mungkin Raka akan mati rasa.
"Malam ke klub, yuk." Aji memecahkan keheningan, mencoba memulai pembicaraan kepada kedua sahabatnya yang sedang sibuk dengan laptopnya masing-masing.
"Sibuk gue," Sahut Raka.
"Kalo elo, Lan?"
"Banyak tugas," jawab Alan yang masih terfokus pada layar laptop.
"Lo sibuk apa, Rak? Biasanya juga elo yang ngajakin kita."
Sambil mengetik, Raka menjawab, "Malam ini gue mau ke rumah Kiya."
Aji tertawa geli. "Liat tuh, Lan! Temen lo bucin tingkat dewa 19." Dia menggelengkan kepala sambil berdecak. "Masa lebih rela di omelin sama cewek killer dari pada seneng-seneng sama kita."
"Lo aja kali, gue enggak," protes Alan, tidak terima namanya disebut.
"Iya. Gue doang." Aji meralat perkatannya. Kedua sahabatnya benar-benar tidak asik. Padahal mereka sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir dan sebentar lagi periode mereka menjabat sebagai remaja nakal akan segera selesai. Seharusnya Raka dan Alan bisa menikmati masa-masa terakhir mereka menjadi seorang pelajar.
Raka menutup laptopnya, menghadapkan tubuhnya ke dua sahabatnya kini.
"Kalau lo jatuh cinta. Lo juga akan memilih menghabiskan waktu sama orang yang lo cintai, enggak peduli seberapa buruk pasangan lo, dia tetap yang terbaik di hati lo." Raka berbicara tampak serius.
"Ya minimal harus di cintai balik juga, lah." Alan membalas ucapan Raka, dengan mata yang masih terfokus pada layar laptop.
Raka dan Aji tertegun mendengar jawaban itu. Dalam hati, Aji merutuki ucapan Alan. Sedangkan Raka merasa sangat tersudut sekarang, perkataan Alan menyadarkannya akan suatu hal. Bagaimana Kiya bisa membaca ketulusan di hati Raka kalau dari matanya saja enggan untuk mempersilahkan Raka menatap. Apakah begitu banyak luka di dalamnya, hingga Raka belum juga dapat menemukan kelembutan hati Kiya, membantunya kembali melangkah di masa depan, bersamanya.
****
"Gue mau ke cafe dulu dekat kampus."
"Oke. Gue balik duluan." Riri melangkah meninggalkan Kiya yang berada di pintu gerbang.
Dengan headset yang menggantung di telinganya, Kiya mendengarkan lagu favoritnya. Dia berjalan dengan langkah santai, jarak coffe shop sudah dekat namun matanya masih sibuk berkutat pada ponsel di genggaman, mencoba memulihkan data-data.
Langkah gadis itu mendadak berhenti saat Kiya melihat kaki jenjang yang mengenakan sepatu converse menghadang langkahnya. Kiya mengangkat pandangannya, memberikan tatapan tajam kepada cowok di hadapannya seakan memerintahkan agar cowok di depannya kini enyah.
"Oh ini cewek yang katanya galak?" Cowok itu bertanya kepada 4 temannya yang sekarang mengelilingi Kiya, tidak memberi ruang pada gadis itu. Tatapannya kembali pada Kiya seraya menaik-turunkan alisnya. "Gigit gak?"
"Mau dong di gigit." Sahut cowok di sebelah Kiya diselingi oleh tawa para kerabatnya. Perkataan itu sontak membuat Kiya menjadi geram. Tangan gadis itu mengepal dan langsung meninju perut lelaki di sebelahnya, membuat Cowok itu meringis kesakitan.
"Jangan pada sok asik deh!" Ketusnya.
"Asikin aja." Kini cowok di depannya yang menjawab.
Kiya meyakini bahwa ketua gengnya adalah lelaki yang berada di hadapannya.
"Minggir! Mata gue sakit ngeliat lo-lo pada!" Kiya mendorong tubuh lelaki itu namun tangannya justru ditepis. Lagi dan lagi lelaki di kembali menghadang, mempersempit jarak.
"Jangan di liat dong. Di sentuh." Lelaki itu tanpa izin menyentuh tangan Kiya, membawa tangan itu ke wajahnya.
Dengan begitu, Kiya langsung menampar wajah lelaki itu.
PLAK
Bukannya marah, lelaki itu justru tertawa renyah. "Kita jauh-jauh kesini tuh pengen kenalan, bukan ngajak berantem."
"Tapi gue nggak lagi membuka pendaftaran untuk pembantu di rumah!"
"Ck, cantik sih. Tapi kelakuannya enggak ada cantik-cantiknya."
"Heh! Kelakuan lo kaya gini nggak pantes untuk menilai orang lain!"
Kiya mendengus kesal. Dia sangat membuang waktu jika harus terus meladeni cowok-cowok kurang kerjaan ini.
Lutut Kiya terangkat, Dia menendang sesuatu dibalik celana cowok itu, yang tepat berada didepan lututnya. Perlakuan mendadak Kiya membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. Namun, Kiya malah menyeringai lebar. Seakan dia puas dengan perbuatannya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya perempuan, bagaimana bisa mengalahkan empat orang lelaki yang kini sudah menatapnya geram.
"ANJING!"
Lelaki yang baru saja di tendangnya menginterupsi teman-temannya untuk memberikan pembalasan pada Kiya. Dua lelaki yang berada di belakang Kiya langsung memegang lengan Kiya, mencengkeramnya dengan kuat agar gadis itu tidak lepas.
Lelaki itu menarik paksa Kiya, membawanya ke gang kecil yang tidak jauh dari caffe, tidak peduli pada pasang mata yang melihat kebrutalannya.
Kiya memberontak, mencoba melepaskan cengkraman keraa yang berada di lengannya. "Pada kurang ajar lo ya! Lepasin gue."
Saat sudah berada di gang yang sempit, Lelaki itu melangkah mendekat ke tubuh Kiya, menipiskan jarak di antara keduanya, dia senyum dengan seringai nakal. Tangan kanannya terangkat, menyentuh wajah Kiya, menyingkirkan rambut kecil di kening Kiya, jemarinya menyentuh menyusuri setiap inci wajah gadis itu. Ibu jarinya terhenti pada bibir ranum Kiya, menyentuhnya perlahan. Kiya membelalakan matanya, tidak terima atas perlakuan kurang ajar lelaki itu kepadanya.
CUIIHHHH
Kiya meludahi wajah lelaki di hadapannya. Dia semakin tidak dapat berpikir dengan jernih.
Tangan lelaki itu mengepal, emosi yang di tahannya sedari tadi meminta untuk segera di lampiaskan karena gadis itu sudah benar-benar menginjak harga dirinya.
PLAAAKKKK
Kiya di tampar dengan punggung tangannya yang besar. Meninggalkan bekas merah di pipi gadis itu. Sekarang Kiya harus menahan air matanya yang akan merosot turun, dia tidak ingin kalah. Walaupun kini pipinya terasa panas dan berdenyut.
"Dasar banci ya lo! Beraninya keroyokan. Kalau mau duel satu lawan satu!" Kiya mencoba bersuara walaupun terdengar lirig dan tubuhnya sedikit gemetar karena ketakutan.
Beberapa kali para lelaki itu memperlakukannya kasar, menjambak hingga melakukan hal yang tidak senonoh kepada dirinya. Dengan tangan yang masih di tahan dua lelaki, Kiya mencoba melawan dengan sekuat tenaga.
Alih-alih dapat membebaskan diri, justru sekarang sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah karena tamparan yang lumayan keras kembali menghantam pipi di sebelahnya.
Kiya meringis kesakitan, tubuhnya benar-benar lemas kali ini. Dia memejamkan matanya pasrah pada keadaan saat ini. Berharap ada superhero marvel yang biasa dia tonton bersama Bima dan Doni akan datang secara tiba-tiba, menyelamatkannya.
****