Chereads / Dekat Tak Tergenggam / Chapter 22 - Jatuh Hati

Chapter 22 - Jatuh Hati

Semilir angin menerpa wajah dan rambut Raka di taman belakang universitasnya. Dia membuka tutup botol dan menenggaknya hingga habis. Di sebelahnya ada Alan yang sedari tadi memandangi sahabatnya yang belum membuka suara. Raka mengajaknya ketemuan di sini, namun hanya untuk melihatnya dari tadi buka-tutup botol dan minum.

"Lo sebenernya nyuruh gue kesini ada apaan sih? Ganggu gue aja lo." Alan to the point.

"Yaelah sok sibuk amat sih ketua BEM."

"Ya engga gitu, kampret. Cepet lah ngomong gak usah banyak cing-cong." Alan tidak sabar. "Atau jangan-jangan lo mau bahas Kiya?" Alan mencoba menebak.

Raka mengusap wajahnya gusar. "Gue kurang apa sih, Lan?"

"Kurang tulus."

"Bangsat! Kurang tulus apa gue sampe harga diri gue rendah banget di mata dia?" Raka kesal jika mengingat Kiya yang semena-mena memperlakukannya.

"Tuh! Itu tandanya lo belum tulus. Masa masih mikirin harga diri."

Jawaban yang keluar dari mulut Alan justru semakin membuat temannya itu frustasi, Alan mencoba menengahi.

"Gini ya, seharusnya lo engga perlu tuh maksa dia buat suka sama lo. Jalanin aja setiap proses yang ada."

"Tapi gue udah terlanjur minta satu bulan kesempatan buat deketin dia." Ucap Raka menyesal.

"Itu mah ambisi lo aja. Gak terima kalau ada satu cewek yang nolak lo. Mikirin reputasi amat. Gak usah maksa lah, gak enak, sakit."

Raka mulai berpikir sejenak, "Denger-denger sih dia aslinya baik banget."

"Ya sama orang lain baik. Sama elo mah ngapain di baikin, nanti ngelunjak."

Raka menoyor kepala Alan. "Eh temen lo lagi minta saran, bukan minta dihujat. Kaya nettzen facebook lo."

"Iye, iye." Alan mengangguk pasrah. "Jangan-jangan lesbi kali?"

"Maksudnya?"

"Si Kiya engga suka sama cowok." Ucap Alan dengan serius.

"Anjir malah gibah lo!" Raka sewot di buatnya. Dia berdiri dari duduknya. "Denger-denger, sih. Trauma masa lalu gitu."

"Sampe segitunya?"

"Tadi lo bilang kalo cinta itu harus tulus. Ya berarti dia orangnya tulus dong, makanya sekali disakitin langsung hancur berkeping-keping." Raka berkacak pinggang, menimbang-nimbang ucapannya. "Tapi dia kan jago bela diri. Harusnya gebukin aja tuh mantannya sampe mampus. Gue aja di pukul mulu sama dia."

"Beda cerita! Elo kan kurang ajar otak mesum makanya di bogem."

Raka berdecak. "Udahlah males curhat sama lo. Gak ada solusi." Ucapnya seraya merogoh saku celananya, mengambil kunci mobilnya. "Gue balik dulu."

"Udah gitu doang?"

Tanpa menjawab Raka berjalan memasuki mobilnya. Dengan kecepatan sedang, dia melajukan mobil itu. Meninggalkan Alan yang masih terpaku menatap kepergian Raka.

Alan menggelengkan kepala. "Bener-bener temen gak ada akhlak!" gerutunya kesal.

Butuh waktu tiga puluh menit untuk Raka sampai di rumahnya. Raka menghempaskan tubuhnya ke Sofa berwarna coklat di ruang tengah. Matanya dibiarkan terpejam. Suara langkah kaki mendekat ke arahnya namun matanya masih di biarkan terpejam.

"Kirain lupa jalan pulang."

Rafael duduk di kursi kosong sebelah Raka. Suaranya membuat Raka terbangun dari posisinya saat ini.

Raka mencium punggung tangan ayahnya. "Engga lah, yah."

"Ke tempat Abangmu?"

Raka terkejut mendengar pertanyaan Ayahnya itu. "Ayah tau?"

Rafael hanya tersenyum menjawabnnya. Bagaimana dia bisa melupakan kedua anaknya? Walaupun Tara dengan sikap keras kepalanya, Rafael tidak akan lepas tangan begitu saja. Dia mengetahui setiap kabar dari anaknya, walaupun harus melalui mata-mata kepercayaannya. Rafael masih berharap anak pertamanya itu kembali kerumah. Entah kesalahan apa yang membuat Tara begitu menjauhinya. Makin tidak masuk akal saat Tara menjadi anak yang penurut. Namun justru membuat jarak diantara ayah dan anak itu.

"Maaf Raka nggak ngomong sama Ayah sebelumnya." Dengan wajah bersalah, Raka meminta maaf pada ayahnya karena berusaha menutupi kepulangan Abangnya.

"Bagaimana hubungannya dengan Moza?"

Raka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kalau itu Raka gak tau, Yah. Ayah tau sendiri kan kalau dia itu tertutup banget orangnya."

Rafael mengangguk mengiyakan perkataan Raka. "Tapi Moza ikut balik kesini?" tanyanya lagi.

"Engga, Yah."

"Kalau kamu masih sama yang namanya Tiara itu?" tanya Rafael, enggan menutup perbincangan.

Raka terkekeh. "Cuma temen kok, Yah."

Rafael menggelengkan kepalanya heran. "Semua temenmu perempuan ya? Di ajak ke rumahnya satu-satu. Ajaklah rame-rame dateng."

"Nanti di kira tawuran, Yah."

Rafael tertawa dengan renyah. Dia memiliki dua anak lelaki dengan karakter yang sangat berbeda. Tara anak pertamanya yang sangat tertutup, dan Raka anak bungsunya yang selalu berbicara dengan lantang dan jujur. Namun dengan begitu, tidak membuat rasa sayangnya berbeda. Rafael mencoba mengerti anak-anaknya, menyayangi mereka tanpa harus membeda-bedakannya. Apalagi setelah mendiang istri tercintanya meninggalkan dirinya dengan dua anak, mengharuskannya menjadi single parent yang adil dalam segala urusan. Rafael harus menjadi sosok Ayah dan Ibu secara bersamaan untuk kedua anaknya. Untuk saat ini mungkin dirinya belum begitu mengerti Tara, apalagi sebelumnya anak pertamanya itu sangat dekat dengan ibunya.

"Raka ke kamar dulu ya. Mau mandi."

Rafael hanya mengangguk-anggukan kepalanya, mengambil koran yang tergeletak dimea dan membacanya.

Raka langsung beranjak. Melangkah dengan cepat ke kamar dengan ransel dipunggungnya. Di dalam kamar, Raka melempar ranselnya asal dan langsung membaringkan tubuhnya ke kasur. Sambil memandangi langit-langit kamarnya, kedua tangan Raka terlipat di atas dada. Bayangan Kiya hadir melambaikan tangan ke arahnya, membuatnya tersenyum lebar. Dulu Raka lah yang selalu membuat cewek-cewek gila karena di tolaknya, karena Raka yang suka memberikan mereka harapan. Tapi kali ini justru dirinya yang hampir gila karena terus-terusan di tolak oleh Akhiya Nabila. Si cewek cantik berhati iblis.

Pikirannya yang di penuhi oleh Kiya membuat Raka mengantuk. Matanya di biarkan terpejam hingga bayangan Kiya menghilang. Raka terlelap dengan membawa penuh harapan kepada Kiya. Agar gadis itu datang ke mimpinya dan mengatakan cinta kepada pria yang mungkin sudah di BLACKLIST namanya dari daftar manusia di muka bumi versi Kiya.

*****

Malam hari di meja makan besar yang terdiri dari delapan kursi dengan nuansa modern dipenuhi keheningan, yang terdengar hanya suara sendok, garpu dan piring yang saling bertemu. Kiya memperhatikan semua anggota keluarganya yang tidak menanyakan keadaannya, tidak seperti Bima yang tampak khawatir.

Doni menatap Kiya yang sedang memasang raut wajah sedih. Perasaan bersalah terus menyelimuti hatinya.

"Doni kenapa kamu bisa gagal memimpin rapat?" Suara barington Adrian membuka percakapan.

"Gagal gimana ya, Pah? Aku pimpin rapat sampai selesai kok." Doni memprotes perkataan Papahnya tidak terima.

"Kamu itu tadi tidak fokus, menurut Papah itu belum sempurna. Padahal ini hari pertama kamu menjabat CEO di perusahaan."

Doni mendengus, tanpa menatap Adrian. "Doni manusia kali, Pah. Gak sempurna."