Chereads / Dekat Tak Tergenggam / Chapter 23 - Kehilangan

Chapter 23 - Kehilangan

Doni mendengus, tanpa menatap Adrian. "Doni manusia kali, Pah. Gak sempurna."

"Loh ini kan sedang membahas pekerjaan."

Doni menghentikan makannya. Tangannya mengepal, menahan amarahnya. "Enggak perlu di ungkit lagi kan, Pah. Tadi papah juga udah marahin Doni di depan karyawan yang lain."

"Kamu itu harus sering diingatkan, biar tidak lupa jalan."

"Doni sudah dewasa, Pah. Untuk jalan yang Doni ambil adalah keputusan Doni. Tanggung jawab Doni."

Kiya, Bima dan Amelia hanya diam mendengarkan perdebatan antara Ayah dan anak lelakinya. Kiya menelan makanannya dengan susah payah karena situasi tegang di meja makan.

Doni bangkit dari tempat duduknya. "Doni selesai makannya, gak nafsu!"

Saat kaki Doni hendak melangkah, suara bas Adrian menginterupsi langkahnya.

"Habiskan Doni! Makan siang di kantor pun tidak kamu makan tadi. Kamu harus mengisi energimu untuk besok kunjungan ke proyek."

Kali ini Doni benar-benar muak pada Papahnya. Urusan makan pun Papahnya selalu mnegatur, bukan takut anaknya sakit malah memikirkan untuk kesuksesan proyeknya.

"Cukup, Pah!" Kata Doni dengan amarah yang tertahan. Wajahnya sudah memerah, dengan kepalan tangan semakin kuat.

"Biarlah adik-adik kamu lihat Kakaknya yang begitu keras kepala."

Bima mengernyit, menatap bingung ke arah Doni dan Papahnya secara bergantian. Sebelumnya tidak pernah ada perdebatan di antara lelaki itu.

BRAAKKKK

Doni memukul meja makan dengan kepalan tangannya dengan sangat kuat, membuat anggota keluarga yang lain terkejut.

"DONI!!!!" teriak Adrian memperingati.

"Sudah lah Pah, biarkan Doni balik ke kamarnya." Amelia mulai menengahi.

Nasihat Amelia tidak digubrisnya. Adrian bangun langsung menghadap ke arah Doni yang kini siap bergelut.

PLAKKKK

Adrian menampar wajah Doni dengan keras. Kali ini Doni benar-benar tidak terima jika harga dirinya kembali diinjak oleh Ayahnya sendiri.

"Sebenarnya siapa yang keras kepala? Saya atau Anda?"

"BERANI KAMU, YA!"

Tangan Adrian kembali terangkat, bersiap menampar wajah putranya lagi. Sebelum itu terjadi, tangan besar Doni lebih dulu menahan pergelangan tangan itu dan menepisnya.

"UDAH CUKUP YA, PAH. DONI CAPEK JADI BONEKANYA PAPAH YANG HARUS SELALU NURUT SAMPAI LUPA SAMA KEBAHAGIAAN DONI SENDIRI!"

Kiya dan Bima terkejut mendengar Kakaknya yang berteriak lantang. Mereka tidak mengetahui masalah yang menimpa pada Doni dan Adrian. Walaupun Kiya sempat mendengar perbincangan antara Doni dengan Papahnya yang membahas Clara, kekasih Kakaknya. Kiya tidak tahu jika masalahnya lebih besar dari yang dia ketahui.

"Udah lah, Bang. Lo tuh gak perlu teriak-teriak gitu depan Papah." Bima mencoba menengahi keduanya. "Papah juga jangan ganggu selera makan kami lah."

"DIEM YA, LO!" Doni menunjuk Bima, menyuruhnya untuk tidak ikut campur. "INI KAN ANAK KESAYANGAN PAPAH?" tangannya masih menunjuk ke wajah Bima, membuat adiknya itu tertegun, menelan ludahnya dengan susah payah.

"SEMUA ANAK PAPAH ADALAH KESAYANGAN, DONI!"

Kini Doni menggeleng. Suaranya kembali mengecil. "Enggak! Dia adalah anak laki-laki keluarga ini juga, pah. Dia bisa bantu Papah juga, nggak perlu papah timpalin semuanya ke aku."

"Kamu tahu. Dia masih mengenyam pendidikan, Doni."

"Iya dia sedang belajar untuk menjadi Dokter yang hebat kan?" air mata Doni keluar begitu saja, dengan cepat Dia menepisnya. "Papah, Mamah tau! Doni juga mau jadi Dokter Spesialis, Pah, Mah. Tapi apa? Kalian memangkas mimpi aku begitu saja. Sedangkan Bima? Liat dia dengan bebas menjalani masa muda nya mengejar cita-cita."

Amelia hanya terdiam ditempatnya. Bingung harus mengatakan apa karena dirinya pun dikendali oleh Adrian.

Bima kini bangkit dari duduknya. "Lo iri sama gue bang?"

Doni terkekeh dengan kemirisannya. "Enggak! Gue gak pernah iri sama lo ataupun Kiya, karena gue sayang kalian berdua. Tapi bisa nggak Papah juga jangan menghalangi kebahagiaan aku lagi, Pah."

Bima mengernyit tidak mengerti.

"Apa yang kamu maksud?" Adrian kembali berbicara dari keterdiamannya.

"Aku udah ikutin semua kemauan Papah. Tapi kenapa Papah enggak bisa merestui hubungan aku dan Clara. Kenapa Pah? Papah seakan terus menghalangi kebahagiaan aku."

"KITA SUDAH PERNAH MEMBAHASNYA, DONI!"

"Enggak! Kali ini sudah cukup Doni di bawah kendali Papah. Doni gak butuh uang, atau posisi itu. Doni Cuma mau abhagia, Pah. Terserah Papah mau bilang apa. Aku enggak akan biarkan lagi Papah injak-injak harga diriku dan menghalangi setap jalanku."

Doni melangkah meninggalkan anggota keluarganya yang berada di ruang makan. Dia bergegas ke kamarnya dengan buru-buru mengambil pakaiannya yang berada di lemari, memasukkannya ke dalam koper besar miliknya. Dia membawa sebagian yang menurutnya penting. Doni mengambil bingkai foto di meja nakasnya, memandangi foto Kiya, Bima dan dirinya dengan senyum yang lebar di pantai. Sekarang air matanya yang jatuh dia biarkan. Dengan cepat bingkai itu di masukkan ke dalam kopernya.

Semua anggota keluarga terkejut saat melihat Doni membawa koper. Adrian mengusap wajahnya gusar, di sampingnya ada Amelia yang mengelus pundak suaminya itu. Mencoba menenangkan Adrian. Sedangkan Bima dan Kiya sudah mengejar langkah kaki Doni yang kian menjauh.

Bima memegang koper Doni, mencoba menahan langkah kaki kakaknya. "Bang, lo mau kemana?"

"Lepas, Bim!"

Kiya melangkah mendekat ke hadapan Doni. Kiya sudah tidak tahan lagi jika harus menahan air matanya, membiarkannya tumpah di hadapan Doni. "Kak," suaranya terdengar purau. "Kiya enggak tau masalah berat apa yang kakak alami. Tapi Kiya enggak mau Kak Doni pergi."

Tatapan mata Doni meredup. Dia menagkup wajah adik bungsunya menggunakan kedua tangannya. Doni mengusap wajah adiknya, menghapus air mata nya yang terjatuh. Dia benar-benar tidak mau menyakiti perasaan keluarganya. Namun sudah di rasa cukup, kini Doni sudah tidak kuat menahan batinnya yang terus menjerit. Pekerjaan kantor yang tidak ada habisnya benar-benar menyita waktunya, membuatnya mengikuti jejak papahnya yang tidak peduli kepada keluarga. Dia juga merasa jarak antara dirinya dan Kiya yang semakin menjauh.

"Nanti Kak Doni kirim pesan ya,"

Kiya menggeleng, "Enggak. Kiya butuhnya Kak Doni yang meluk Kiya saat Kiya lagi sedih dan capek. Enggak mau peluk ponsel!"

"Jarak enggak akan mengubah rasa sayang Kak Doni ke kamu, ke keluarga kita." Doni mengelus puncak kepala adiknya dengan lembut. "Selalu ingat! Kalau Kiya jatuh, Kak Doni yang terluka. Kalau Kiya sedih, Kak Doni yang menangis. Dan, Kalau Kiya bahagia, Kak Doni yang ikut tertawa."

Mendengar perkataan Doni membuat Kiya terharu. Dia langsung memeluk tubuh Doni, memeluknya dengan erat.

Bima yang sedari tadi diam hanya melihat pemandangan di depannya yang bikin haru, membuat tangannya ikut terangkat dan memeluk Kiya dan Doni. "Uuuuhhhhh, gue jadi nyamuk."

Perkataan Bima membuat Kiya dan Doni sedikit tertawa tanpa melepaskan pelukannya, tidak sedikitpun menciptakan jarak di antara mereka.

Masalah malam ini membuat ketiga kakak beradik itu menjadi lebih menghargai kebersamaan bersama anggota keluarganya. Sebesar apapun masalah yang mereka hadapi, tetap keluarga adalah tempat mereka untuk kembali pulang.

Kiya merasakan hatinya yang teramat sakit dibalik tawa. Apakah Dia akan merasakan kehilangan untuk yang ke dua kali?

*****